LIPSUS Masjid Jendral Sudirman Prof Fahruddin Faiz, Masjid Jendral Sudirman

Fahruddin Faiz: Filsafat Melatih Berpikir Benar, Itu Perintah Agama

7 Juni 2019 10:38 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Prof. Fahruddin Faiz, doktor ilmu filsafat UIN Sunan Kalijaga. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Prof. Fahruddin Faiz, doktor ilmu filsafat UIN Sunan Kalijaga. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Awal Ramadhan lalu, wartawan kumparan Rina Nurjanah menjadi peserta sebuah pengajian di Masjid Jendral Sudirman, Colombo Gejayan, Sleman, Yogyakarta. Meski kajian digelar di masjid, yang dikaji bukan kitab samawi. Yang mengkaji juga bukan kiai.
Kamis (9/5) menjelang Magrib, 100-an hadirin mengkaji perkara cinta ilahiah. Fahruddin Faiz, lelaki sederhana yang jadi pusat pandang peserta kajian malam itu, mengkajinya menggunakan Triangular Theory of Love (intimacy, passion, decision) punya Robert Sternberg, profesor departemen psikologi di Yale University, Amerika Serikat.
Faiz sendiri adalah doktor ilmu filsafat di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Ia kini menjabat sebagai Wakil Dekan I di Fakultas Ushuluddin (teologi Islam). Sudah hampir enam tahun sejak 2013, tiap malam Rabu di setiap pekannya, Faiz menjadi pengisi materi dan pemantik diskusi kajian filsafat di Masjid Jendral Sudirman.
Kali itu kajian oleh Faiz berjalan sedikit berbeda. Pada bulan puasa, agenda rutin kajian filsafat tiap Rabu diliburkan. Agenda diganti acara lepasan NgabubuRead dari tanggal 8-12 Mei. NgabubuRead—pelesetan dari ngabuburit alias menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa—meliputi bazar buku, pelatihan menulis, dan kajian artikel-artikel Islami.
Meski lain program dari Ngaji Filsafat, kajian berjalan tak jauh berbeda dari yang biasa. Peserta duduk lesehan mendengarkan, memenuhi serambi masjid hingga area parkiran. Mereka mengikuti kajian dengan santai. Peserta perempuan dan lelaki tahu etiket meski tak dipisah kain hijab atau semacamnya.
“Mau pada selonjoran atau tiduran juga bebas,” kata Faiz.
Prof. Fahruddin Faiz saat mengisi kajian di Masjid Jendral Sudirman. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Keesokan harinya, Jumat (10/5) pukul 08.00 WIB, Rina berkesempatan berbincang santai dengan Faiz. Di ruangan kantornya di UIN Sunan Kalijaga, musik instrumental klasik mengalun pelan, teduh menjadi latar sepanjang obrolan.
Untuk namanya yang telah cukup besar di kalangan pengkaji filsafat di Yogya, tubuh Faiz teramat mungil. Tata bicaranya tak mengkhianati citra akademisi Yogya-nya; penjelasan Faiz runut dan sederhana, bernas dan dibumbui guyon.
Selama lebih dari satu jam, Rina dan Faiz mengobrol soal banyak hal, dari Ngaji Filsafat yang diampu Faiz, soal hijrah, jihad, politik, hingga pengalaman lucu yang datang seiring makin terkenalnya nama Faiz.
Juga, tentu saja, soal pertanyaan klasik macam, “Apakah mengaji filsafat membuat seseorang menjadi ragu dan mempertanyakan agamanya?”
Berikut jawaban Faiz atas pertanyaan tersebut—dan pertanyaan lain di sepanjang wawancara:
Prof. Fahruddin Faiz di UIN Sunan Kalijaga. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Apakah mengaji filsafat pernah membuat Anda menjadi ragu dan mempertanyakan agama?
Ya endak. Kan dari kecil saya diajarkan (soal Islam). Yang ada, saya jadi bertanya: apakah saya sudah beragama dengan benar? Apa saya sudah berislam dengan baik? Jadi bukan (malah) meragukan agama.
Ngaji filsafat ini ada di Masjid Jendral Sudirman karena masjidnya punya sejarah paham radikal atau bagaimana? (Dulu, Masjid Jendral Sudirman lebih dikenal sebagai tempat berdirinya Darul Islam Yogyakarta yang menginginkan terbentuknya Negara Islam Indonesia)
Ndak. Yang paling awal itu karena memang saya (sebagai pengisi kajian rutin) ngertinya filsafat. Terus, di antara kajian-kajian Islam kan memang ada yang berupa falsafah (pandangan hidup)—filsafat itu.
Jadi misi kami memang nggak mendoktrin, juga nggak jadi antiradikalisme. Cuma pengin cari ilmu. Jadi niatnya itu saja: meramaikan masjid. Kalau bahasanya mereka (takmir masjid): membudayakan masjid. Slogan mereka kan gitu.
Jadi (supaya) gimana masjid ini jadi pusat budaya umat Islam, termasuk budaya keilmuannya. Kalau di sana kan macam-macam, ada grup Jawa, grup Salawatan Jawa, TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) juga ada. Jadi masjid diharapkan jadi pusat kebudayaan.
Makanya Masjid Sudirman itu dari sisi fisiknya jelek (tertawa) karena mereka (pengurusnya) nggak mikir untuk rehab, dibikin megah. Jadi mereka ingin meramaikan dari aspek kegiatannya, bukan bangunannya. Kalau dibandingkan masjid lain, ya kalah megah. Jauh.
Peserta kajian di Masjid Jendral Sudirman. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Apakah sempat ada reaksi, semisal, kajian filsafat kok di masjid?
Respons ada, cuma bukan respons yang resisten, yang menyerang. Cuma paling heran, terus excited aja, “Kok ada ya ngaji filsafat di masjid?” Mungkin kalau yang nggak suka, nggak sampai (reaksi tidak sukanya) ke saya langsung. Tapi yang sampai ke saya paling ada yang bilang ini unik, macam-macam. Respons yang gitu-gitu banyak.
Yang menyerang sampai hari ini belum ada. Paling satu, dua komentar di YouTube kalau memang ndak suka sama filsafatnya.
Jadi kajian filsafat itu tetap sesuai dengan fungsi masjid, ya?
Ya. Masjid itu, kayak zaman nabi, selain tempat beribadah kan juga pusat budaya, pusat intelektualisme. Nabi sendiri kan juga hidupnya di masjid. Ada (persoalan) apa saja dirembuk, dirundingkan, dilakukan, dengan sentralnya masjid.
Kalau bisa semacam itu kan bagus. Meramaikan masjid bisa begitu. Masjid-masjid kalau di Yogya kan macam itu. Ijtihad untuk meramaikan masjid ada yang bikin salat subuh berjamaah, makan-makan, macam-macam. Nah yang di Sudirman ini memang ingin menghidupkan keilmuannya.
Prof. Fahruddin Faiz mengisi kajian di Masjid Jendral Sudirman. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Apa sih yang menarik dari filsafat?
Kalau saya sendiri, kalau ditanya tentang filsafat, ya nasib saya memang mengarah ke filsafat. S1 S2 S3 belajar filsafat.
Dulu kenapa kok ngambil filsafat waktu S1, juga ndak sengaja (tertawa). Dulu waktu kuliah di sini, saya S1 di IAIN (Sunan Kalijaga) sini, sebenarnya bebas tes. Jadi mau ambil jurusan apa aja tinggal tunjuk, langsung masuk.
Cuma saya tuh nggak terlalu niat kuliah. Jadi waktu sama petugasnya ditanya, “Mas mau ambil jurusan apa? Terserah apa saja bisa, wong bebas tes”, saya bingung toh.
Terus (saya balik) tanya, “(Di sini) dari sekian banyak jurusan yang paling ndak laku, yang mana?” Terus dia bilang, “Paling ndak laku ya filsafat.” (Lalu saya putuskan), “Yo wis-lah aku filsafat aja.”
Dulu mikirnya (pilih jurusan) yang paling nggak laku saja, karena nggak terlalu niat kuliah. Bayangan saya, ya kuliahnya santailah kalau nggak terlalu laku. Jadi ya akhirnya gitu: saya tersesat di jalan yang benar.
Akhirnya malah menikmati filsafat?
Lama-lama kan ketemu indahnya filsafat di mana. Uniknya filsafat.
Bazar buku di Masjid Jendral Sudirman. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Dalam agama, ada urgensi untuk belajar filsafat nggak, sih?
Hakikatnya filsafat itu kan melatih kita untuk berpikir yang benar. Dan (berpikir benar) itu perintah agama. Banyak ayat kan nyuruh, a falā ta'qilūn, a falā tatafakaruun (Apakah kalian tidak menggunakan akal? Apakah engkau tidak berpikir).
Itu kan artinya menyuruh kita berpikir yang benar. Wahyu pertama yang diperintahkan pada Nabi Muhammad kan juga “Iqra.”
Iqra itu kan (artinya saat diturunkan ke Nabi) bukan “Bacalah Quran.” Wong Quran-nya saat itu belum ada. Pasti (artinya) berpikir (membaca situasi). Saya memaknainya itu. Dan disiplin ilmu yang ngajari kita berpikir yang benar itu filsafat. Makanya sebagian orang yang ndak ngerti filsafat susah untuk menjalankan perintah agama, untuk berpikir yang benar.
Bahwa orang ndak suka bidang kajian namanya filsafat, itu ndak masalah. Tapi orang ndak boleh ndak suka berpikir yang benar, karena berpikir yang benar itu kewajiban kita.
Suruh nyari ilmu itu kan di antara tugas a falā ta'qilūn, tholabul ‘ilmi (menggunakan akal, mencari ilmu). Makanya filsafat disebut induknya semua ilmu, karena ndak ada ilmu yang ndak berpikir. Semua ilmu menuntut untuk berpikir yang benar.
Buat sebagian orang kan belajar filsafat itu berat.
Berat karena bukan bidangnya. Bagi saya fisika itu berat, matematika berat, karena bukan bidang saya. Bagi orang fisika dan matematika, ya mending fisika matematika daripada biologi dan sosiologi.
Karena mereka ndak mendalami itu, rasanya memang berat. Tapi kalau nanti mendalami, concern di situ, sebenarnya ya sama saja kayak bidang keilmuan lain.
Ada saja kan yang menyebut kalau belajar filsafat bisa jadi ateis.
Ada yang belajar filsafat jadi ateis, ada yang belajar filsafat jadi religius; ada yang belajar filsafat jadi antiagama, ada yang jadi sangat beragama. Ada yang kayak Imam Ghazali (filsuf dan teolog muslim asal Persia), ada yang kayak Karl Marx, ada yang kayak Iqbal, ada yang kayak Nietzsche. Itu produknya.
Sama kayak orang belajar agama. Ada yang masuk aliran sesat, ada yang aliran lurus. Sebenarnya sama aja. Bukan salah agamanya. Dasarnya adalah berpikir yang benar. Nah, inti filsafat kan begitu.
Produk berpikirnya ya tanggung jawab masing-masing individu, dan ndak ada tuntutan kalau belajar filsafat terus harus manut sama yang anti-Tuhan, harus ikut yang sesat. Ndak begitu.
Masjid Jendral Sudirman Yogya. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Awal mula Anda mengisi kajian filsafat di Masjid Jendral Sudirman bagaimana?
Sebenarnya inisiatifnya bukan dari saya. Teman-teman (pengurus masjid) Sudirman itu kan bikin kajian alternatif. Bahasa mereka, (kajian) yang nggak seperti biasanya.
Semula diceritain masjidnya dulu agak keras. Kebetulan kan mereka mahasiswa di sini, kenalnya saya. Ya datang ke saya, “Pak Faiz mau ngisi ndak?
Saya jawab, “Yo ning aku bukan ustaz, bukan kiai, ndak iso kalau disuruh ngisi pengajian-pengajian kayak ustaz-ustaz. Ngertiku cuman filsafat.”
Nah, terus ya mereka bilang, “Nggak apa-apa kok. Ngaji filsafat aja, yang penting tambah ilmu.” Akhirnya (berlangsung) tiap Rabu malam.
Sebenarnya rencananya itu ndak panjang, tidak membayangkan akan jadi serial. Cuma di sesi pertama kok banyak yang tertarik.
Tahun berapa itu pertama kali isi kajian di MJS?
Tahun 2013. Jadi sesi pertama itu, kok ternyata banyak yang suka. (Dibilang), “Kalau dilanjutin aja gimana? Seminggu sekali misalnya.”
Yo saya bilang, “Saya monggo aja. Ning yo filsafat itu kayak gitu.” (Kata pengurusnya), “Ya sudah Pak, kita jalan aja.”
Sampai hari ini sudah sekitar 200-an (edisi).
Materi kajian by request atau menyiapkan sendiri?
Terserah saya aja. Seminggu sekali, ndak sempat persiapan macam-macam.
Membudayakan Sujud ala Masjid Jendral Sudirman Yogya. Infografik: Basith Subastian/kumparan
Awal kajian filsafat dimulai, berapa orang yang ikut?
Awal-awal ndak terlalu banyak. Paling 10, 20 orang. Itu sudah bagus luar biasa. Saya bilang ke teman-teman, pokoknya niatnya ngaji. Ndak usah perhatian nanti audiensnya berapa, banyak yang datang atau nggak. Kalau nggak ada yang datang ya sama takmirnya aja ngaji bareng. Kan, gitu.
Lama-lama banyak yang tertarik. Karena kebanyakan mahasiswa, jadi ini kayak dari generasi ke generasi. Generasi awal mungkin banyak yang sudah pulang kampung (lulus kuliah), ganti dengan generasi baru.
Sekarang pesertanya lumayan, sudah banyak. Dari daerah-daerah lain juga banyak datang. Dari mana-mana, kadang kalau lagi ngaji itu, selesai ngaji pada datang (ke saya, kenalan), “Saya dari Semarang,” “Saya dari Cilacap.”
Dari kota lain juga, ya?
Ho oh, banyak yang jauh-jauh datang sekarang tiap kali ngaji. Kalau mahasiswa kan seneng aja kalau cuman (berangkat) dari Solo, dari Semarang. Biasanya pasti ada (dari kota lain). Nggak terlalu jauh kalau itu, naik kereta.
Kenapa sampai mau datang dari kota lain? Mereka bilang apa?
Ya untuk datang aja, untuk ketemu. Kadang yo cuma say hello. Kadang mendekati saya juga ndak. Pokoknya ikut aja ngaji bareng di situ, ngobrol-ngobrol sama takmir, terus pulang. Ada juga yang cuma pengin foto.
Wah, Anda jadi punya penggemar, ya?
Itu yang bikin sumpek. Jadi ndak begitu bebas (bergerak) lagi. Makanya kalau di YouTube itu kan saya minta, “Wis, nggak usah pake gambarkulah. Ngapain orang lihat wajahku terus? Slide-nya aja yang dipampang.”
Faiz bercerita, setelah dia tenar sebagai “kiai filsafat” di MJS, ia kerap mendapat permintaan aneh-aneh dari banyak orang. Juga hadiah-hadiah yang datang tanpa jelas dari siapa.
Pernah sekali waktu ia dimintai salah satu peserta ngaji untuk mencarikan nama buat anaknya, juga mencarikan jodoh, sampai menerima tawaran ilmu kanuragan karena dianggap cocok. Faiz juga pernah mendapat paket ensiklopedia filsafat, dan tiap minggu mendapat puisi anonim yang ditinggal di atas meja kerjanya.
Jadi filsafat bisa membantu kita mempelajari Islam dengan lebih luas, sehingga tidak mudah terbawa masuk golongan A atau B?
Bisa, dan memang lebih banyak yang begitu. Karena filsafat menyarankan orang untuk berpikir komprehensif, berpikir mendalam. Itu membuat orang wawasannya jadi luas.
Kalau orang wawasannya luas, pasti dia nggak radikal. Ndak radikal dalam konotasi negatif, ketika ngertinya cuman satu (perspektif) saja dam yang lain dianggap salah.
Kalau wawasannya luas, dia bisa ngerti macam-macam. Jadi lebih mudah untuk mentoleransi perbedaan karena punya banyak alternatif pandangan. Dalam filsafat kan semua dibaca.
Buku karya Prof. Fahruddin Faiz terbitan Masjid Jendral Sudirman. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Tradisi berfilsafat dalam Islam itu seperti apa, sih?
Itu sebenarnya sudah sejak zaman Nabi Muhammad. Dulu ada sahabat namanya Muadh bin Jabal. Dia kan mau dakwah, nah alau di Al-Quran ada dan di hadis ada (penjelasannya), bisa jawab kalau ditanya orang. Tapi kalau di Quran dan hadis nggak ada, ya pakai akal.
Itu perintah untuk berfilsafat dalam agama. Dan Nabi sendiri punya karakter fatanah. Fathanah itu orang yang sangat cerdas; mampu berpikir sangat dalam. Dan itu ciri seorang filsuf—mampu berpikir mendalam.
Dalam sejarah Islam, banyak orang-orang yang dikategorikan sebagai filsuf yang jadi kunci perkembangan dunia ilmiah Islam. Makanya ada yang bilang, begitu umat Islam meninggalkan filsafat, posisinya yang unggul di dunia ilmiah internasional lalu merosot sampai hari ini.
Padahal di abad ketujuh itu kan Islam pusatnya peradaban, pusatnya keilmuan. Dulu juga Yunani jaya dengan ilmu pengetahuan dan filsafatnya, maka mereka disebut pusat peradaban. Itu kuncinya justru bukan di politik, tapi di penguasaan sains.
Sebagian orang menggembar-gemborkan kejayaan Islam masa lalu, tapi anti terhadap asing dan segala hal berbau Barat. Mereka menyebut Islam sudah menjawab segala sehingga tak perlu mempelajari yang lain.
Itu premisnya benar, konklusinya yang salah. Bahwa dulu Islam pusat peradaban, iya. Cuma harusnya sekarang gairah intelektual kayak dulu itu kita hidupkan lagi, bukan sentimen Islamnya. Bahwa kalau kita jaya di bidang sains, otomatis ya Islam ikut terangkat.
Kalau sekarang kan konklusinya meleset. Dulu Islam pernah jaya, sekarang Barat yang berjaya itu disebut hanya ambil dari dunia Islam, lalu titik di situ. Cuma selesai bahwa kita bangga dulu Islam pernah jaya.
Harusnya kan kesimpulannya kita harus mengembalikan kejayaan itu. Kalau anggap Barat dulu mengambil sains dunia Islam, yo sekarang kita ambil juga. Harusnya begitu.
Cuman (sayangnya) banyak orang yang berhenti di titik membanggakan masa lalu. Harusnya ya kita hidupkan lagi. Kita reformasi lagi dunia ilmiah.
Tapi coba lihat sekarang, sekeliling kita sibuknya kan politik. Sibuk banyak-banyakan massa, kuat-kuatan pengaruh. Jadi tidak sibuk di dunia ilmiah. Itu problem dan PR besar kita.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten