Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Satu tahun setelah dilantik di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta sebagai pimpinan cabang Darul Islam pada 1978, Hasan Bauw tewas diterjang peluru. Mahasiswa Tarbiyah sekaligus Ketua Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga berusia 29 tahun itu ditemukan tergeletak di pinggir jalan daerah Kalasan, Sleman, Yogyakarta, pada 19 Januari 1979.
Seminggu sebelumnya, Hasan terlibat dalam pembunuhan salah satu dosen Universitas Sebelas Maret Surakarta, Parmanto. Pembunuhan itu diduga bermotif balas dendam. Sebab, Parmanto yang menjabat Wakil Rektor UNS disangka membocorkan informasi yang menyebabkan pimpinan mereka, Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar, ditangkap kepolisian pada akhir 1978.
Ironisnya, Hasan kemudian juga tewas. Ia diduga dibunuh oleh kelompoknya sendiri karena dicurigai sebagai pengkhianat Darul Islam yang membuat beberapa kader lain ditangkap polisi seperti pimpinan mereka.
Rentetan peristiwa itu dibeberkan peneliti terorisme UI, Solahudin, dalam bukunya, The Roots of Terrorism in Indonesia: from Darul Islam to Jemaah Islamiyah.
Nyatanya, penangkapan terhadap sejumlah pimpinan Darul Islam tak membuat kaderisasi anggota otomatis terhenti. Gerakan terus berlanjut.
“Untuk menghindari penangkapan, Irfan Awwas (adik Fihirudin alias Abu Jibril) dan Muchliansyah bergabung ke dalam Badan Koordinasi Pemuda Muslim (BKPM) dan aktif dalam asosiasi pemuda Masjid Jendral Sudirman,” tulis Solahudin.
Abu Jibril kakak Irfan Awwas yang dimaksud itu ialah Wakil Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Muchliansyah adalah tokoh gerakan Negara Islam Indonesia (NII).
Sementara Masjid Jendral Sudirman yang juga disebut Solahudin, punya peran penting di lingkungan ekstremis. Ia tak cuma jadi saksi pelantikan pimpinan dan pembentukan kepengurusan pertama Darul Islam Cabang Yogyakarta, tapi juga kemudian menjadi pusat kegiatan, rapat-rapat, dan kaderisasi anggota Darul Islam.
Sampai akhirnya sejumlah pengurus masjid yang diduga terafiliasi dengan Abu Bakar Ba’asyir ditangkap kepolisian karena berencana membunuh Presiden Soeharto.
Kini, semua cerita pahit di Masjid Jendral Sudirman telah menjadi masa lalu. Wajah masjid yang terletak di Desa Caturtunggal, Depok, Sleman, itu kini beralih rupa. Masjid yang dulu sempat dikenal “keras” itu terasa lebih ramah dan terbuka seiring bergulirnya waktu dan bergantinya takmir.
Sekitar tahun 2011, lulusan UIN Sunan Kalijaga Muhammad Yaser Arafat bersama sejumlah kawan UIN-nya mulai aktif menjadi takmir atau pengurus Masjid Jendral Sudirman. Kala itu, Yaser yang telah mengantongi gelar sarjana dari jurusan Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga, tengah melanjutkan studi pascasarjana di Antropologi UGM.
“Begitu saya masuk sini, ketemu dengan teman-teman yang pada dasarnya punya pikiran sama, ‘Gimana kalau kita buat hal baru?’” usulnya ketika itu.
Dari situ, muncullah salah satunya menu kajian alternatif yang sedikit berbeda, yakni soal filsafat—topik yang kerap dihindari karena terasa berat dan sering disalahartikan sebagai pembawa kesesatan.
“Waktu itu saya ‘membacanya’ karena masjid ini dilingkungi oleh UNY, UIN Sunan Kalijaga, Universitas Sanata Dharma, Universitas Atma Jaya, dan berada di pusat kota sehingga lalu lintas orang di sini cukup luas. Akhirnya kami pikir segmen yang seperti ini (filsafat) yang belum pernah digarap orang,” ucap Yaser Arafat, mantan Ketua Takmir Masjid Jendral Sudirman, saat berbincang dengan kumparan pada awal Mei 2019.
Yasser pun menghubungi salah satu dosennya di Fakultas Ushuluddin (teologi Islam) UIN Sunan Kalijaga, Fahruddin Faiz, untuk mengisi kajian di masjid.
“Rencananya itu ndak panjang. Awalnya cuma sekali, tidak membayangkan akan jadi serial,” kata Faiz di kampusnya, Jumat (10/5).
Materi pertama yang disampaikan Faiz dalam Ngaji Filsafat edisi perdana pada Minggu, 21 April 2013 itu adalah Pengantar Filsafat. “Awal-awal yang ikut ndak terlalu banyak, paling 10-20 orang. Itu sudah bagus luar biasa. Saya bilang ke temen-temen (takmir masjid), pokoknya niatnya ngaji,” ucap Faiz.
Melihat antusiasme peserta yang cukup baik, Ngaji Filsafat kemudian menjadi salah satu kajian rutin. Kegiatan ini digelar setiap Rabu pukul 20.00 WIB. Jemaah yang semula 10-20 orang saja, kini bisa membeludak hingga 200 orang.
Topik Ngaji Filsafat terentang panjang dari filsafat Barat seperti Socrates hingga Albert Camus bahkan Karl Marx dan Frederich Nietzsche, lalu filsafat Islam seperti Al-Ghazali dan Al-Farabi, juga filsafat nusantara semacam Sukarno dan Buya Hamka.
Selain pemikiran para tokoh, topik kajian juga membahas beragam konsep seperti Kebahagiaan, Ketakutan, Waktu, Pendidikan, Cinta, dan Harapan.
Selain tema yang beragam, cara penyampaian materi yang runut, sederhana, dengan bumbu guyon ala Fahruddin Faiz menjadi daya tarik Ngaji Filsafat.
Setiap kajian hampir selalu direkam untuk kemudian diunggah ke akun YouTube Masjid Jendral Sudirman . Sementara rekaman audionya bisa diunduh gratis melalui situs mjscolombo.com. Hal tersebut memudahkan siapa pun yang ingin mendengarkan rangkaian konten Ngaji Filsafat yang sudah mencapai ratusan episode, dan konten ngaji lainnya yang digelar di Masjid Jendral Sudirman.
“Kalau ditanya targetnya apa, visi misinya (Ngaji Filsafat) apa, ya bingung. Karena dari awal niatnya adalah untuk mengisi kekosongan,” ucap Yaser.
Faiz, pengampu Ngaji Filsafat yang meraih gelar doktor ilmu filsafat dari UIN Sunan Kalijaga, menjawab serupa. “Sejak awal saya tekankan ke mereka, pokoknya ini niatnya cari ilmu. Cari ilmu itu mulia.”
Ia menambahkan, “(Kajian ini) untuk meramaikan masjid. Kalau bahasanya mereka, membudayakan masjid. Slogannya kan gitu. Jadi gimana masjid ini jadi pusat budaya umat Islam, termasuk budaya keilmuan.”
Ngaji Filsafat yang rutin diselenggarakan setiap minggu lantas menarik minat bukan cuma bagi muslim dan mahasiswa dari kampus-kampus terdekat. Mereka yang berbeda keyakinan, berbeda kota, provinsi, hingga beda negara pun kerap datang untuk sekadar mengikuti Ngaji Filsafat.
Tak ada aturan berlebihan untuk memasuki kompleks Masjid Jendral Sudirman, termasuk soal berpakaian. “Orang bilang, ‘Di sini kok enak, ngaji bisa rokokan, bisa ngopi, bahkan (lelaki) pakai celana pendek atau (perempuan) nggak pakai jilbab juga boleh datang ke sini,’” tutur Yaser.
Ia kemudian berbagi cerita lagi. “Ada cerita lucu. Begini, ada orang Tegal bekerja di Kalimantan. Dia merasa hidupnya kayak nggak guna. Terus dia iseng-iseng buka YouTube dan ketemu konten kuliahnya Pak Faiz. Lalu (suatu hari), pagi-pagi dia datang ke sini (Masjid Jendral Sudirman), bilang, ‘Mas, tolong aku didengarkan tok.’ Lalu dia cerita sampai sore, malam harinya ketemu Pak Faiz, besok paginya udah pulang lagi,” ucap Yaser.
“Dia cerita, jika ada konflik di rumahnya, dia bisa menjadi juru damai setelah belajar ngaji dari Pak Faiz,” imbuh Yaser.
Kunjungan orang jauh ke Masjid Jendral Sudirman demi mengikuti Ngaji Filsafat atau bertemu Faiz sang pengampu pengajian, bukan cuma sekali-dua kali saja terjadi, tapi berulang kali. Selain itu, beragam bentuk sumbangan pun berdatangan ke masjid itu, mulai dari tenaga sukarelawan, uang, hingga buku.
“Hal-hal kecil kayak gitu itu bagi kami sudah cukup. (Kami merasa) ‘Oh, berarti kita nggak sia-sia ya,’” ucap Yaser penuh haru.
Ngaji Filsafat sebenarnya hanya satu dari ragam menu yang disajikan di Masjid Jendral Sudirman . Ada menu lain seperti kajian rutin soal fikih, ibadah, dan keislaman yang dilaksanakan setiap Selasa dan Jumat setelah salat Maghrib.
Ada pula ngaji Kitab Al-Hikam—kitab mahakarya Syekh Ibnu Atha’illah, sufi legendaris Mesir; Kitab Tarjuman Al-Aswaq—antologi puitik karya Ibnu Arabi, sufi asal Andalusia, Spanyol; rubaiyat atau kumpulan sajak empat baris karya Rumi, penyair sufi asal Samarkand, Uzbekistan; serat atau karya-karya sastra Jawa; hingga kajian pascakolonial.
“Selain kegiatan masjid (seperti Ngaji Filsafat) dalam bingkai intelektual, ada juga kegiatan lain dalam bingkai spiritual seperti Ngaji Tasawuf dan Ngaji Fikih, dan (yang berbingkai) kebudayaan kayak Ngaji Serat Jawa,” ujar Nur Wahid, pengurus Bidang Literasi dan Penerbitan Masjid Jendral Sudirman, kepada kumparan di halaman masjid itu.
Melihat aktif dan beragamnya kajian yang terselenggara di masjid, Nur Wahid melihat ada potensi lain yang bisa dikembangkan dari para santri ngaji itu. Ia kemudian menginisiasi komunitas literasi masjid bernama MJS Project. MJS tak lain ialah singkatan dari Masjid Jendral Sudirman.
“Saya pikir, temen-temen ngaji ini tidak hanya ikut ngaji saja, tapi ada hal lebih lain yang bisa mereka dapatkan,” tutur Nur Wahid.
Maka, selain mengaji, Masjid Jendral Sudirman menggelar kelas menulis untuk para santri ngajinya. Kelas menulis pertama dilaksanakan pada 29-30 April 2016.
Proyek pertama dari MJS Project adalah mengolah hasil Ngaji Filsafat menjadi sebuah tulisan dan menerbitkannya dalam bentuk buku. Proyek yang cukup panjang ini akhirnya membuahkan hasil berupa terbitnya buku berjudul Suluh Kebahagiaan secara mandiri.
Ya, betul. Buku itu terbit mandiri. Sebab masjid membentuk penerbitan sendiri bernama MJS Press. Persoalan editing, desain, percetakan, hingga distribusi dilakukan secara swakelola, gotong royong, dan online dengan memanfaatkan jaringan pertemanan dan relawan masjid.
Hingga pertengahan 2019, MJS Press mampu menerbitkan tujuh judul buku secara mandiri.
“Saya tegaskan juga bahwa ini proyek Al-Fatihah. Artinya, mereka tidak akan dibayar (uang). Bayarannya ya itu (Al-Fatihah),” kata Wahid, tersenyum.
Tulisan para santri ngaji tak melulu terbit dalam bentuk buku. Tulisan lain berupa cerita kehidupan penuh hikmah bisa diterbitkan melalui Buletin Jumat untuk disebar ke masjid-masjid lain atau ditayangkan di situs mjscolombo.com.
“Alhamdulillah, teman-teman itu antusias untuk berkegiatan di masjid, terutama dalam literasi. Saya minta teman-teman santri ngaji juga kemudian berkontribusi menulis buletin,” ucap Wahid.
Meski tanpa deadline atau job description yang jelas dan rigid, program-program kajian dan literasi di Masjid Jendral Sudirman terus melaju.
“Kami ingin menekankan bahwa sebuah masjid itu tidak hanya sebagai tempat sujud, tapi juga tempat ngaji, kaji, juga literasi,” tutup Wahid.