Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sejak tahun 2013, kajian filsafat menghidupi riungan jemaah Masjid Jendral Sudirman di Jalan Rajawali, Sleman, Yogyakarta. Setidaknya seminggu sekali, mereka berkumpul demi mencari ilmu dan memperluas wawasan.
“Ngaji” yang dibubuhi kata “filsafat” itu lantas memunculkan ragam respons. Ada yang merasa heran “kenapa bikin kajian filsafat kok di masjid?” hingga mencibir sembari menuding “filsafat bisa berujung kesesatan.”
Cibiran semacam itu bukan perdebatan baru dalam sejarah filsafat dan Islam. Akademisi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Dewi Chamidah, menuliskan jejak kritik filsafat dalam makalah berjudul Pertemuan Agama dan Budaya: Untuk Mewujudkan the Excellent of Islamic Civilization yang dimuat dalam Jurnal Ulul Albab tahun 2009.
Dewi menyebut, Imam Al-Ghazali, filsuf dan teolog muslim Persia, memberikan catatan dalam kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf) bahwa mempelajari filsafat dapat menyebabkan orang jadi ateis. Sikap Al-Ghazali itu lantas menjadi salah satu bagian penutup dari perkembangan filsafat Islam.
Filsafat kala itu (pada Abad Pertengahan) menjadi bagian dari warisan Yunani yang dikelola dan dikembangkan oleh peradaban Islam yang berada di masa puncaknya.
Pada periode itu, lahirlah sejumlah ilmuwan sekaligus filsuf Islam seperti Al-Kindi asal Irak, Al-Farabi asal Kazakhstan, Ibnu Sina atau Avicenna asal Persia, Ibnu Rusyd atau Averroes asal Semenanjung Iberia, dan lain-lain.
Kritik soal filsafat terus berlanjut hingga kini. Tapi para pegiat kajian filsafat Islam tak berhenti. Toh, filsafat Islam telah lahir, berkembang, dan mengantar peradaban Islam klasik ke masa kejayaannya pada tahun 650-1250.
Meski sebagian orang menganggap mempelajari filsafat akan membawa pada kesesatan, cendekiawan muda NU Muhammad Al-Fayyadl berpendapat anggapan itu salah kaprah.
“Agama itu bisa dibicarakan secara ilmiah—dengan kritik dan kontekstual. Jadi, ajaran-ajaran dalam Al-Quran bukan sesuatu yang angker sehingga tidak bisa ditafsirkan dan dipahami untuk konteks masyarakat hari ini,” kata Al-Fayyadl, Kamis (31/5).
Al-Fayyadl yang besar di lingkungan pesantren dan mengenyam pendidikan Filsafat dan Kritik Kontemporer Kebudayaan di Université Paris 8 itu pernah mengisi kajian tafsir sosial Al-Quran di Masjid Jendral Sudirman Yogya.
Selain berdiskusi dengan Al-Fayyadl, wartawan kumparan Prabarini Kartika juga berbincang soal filsafat dan agama dengan Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran, Faried F. Saenong yang kini menjadi peneliti dan pengajar Studi Agama di Victoria University of Wellington, Selandia Baru.
Faried meraih gelar sarjana di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (bidang tafsir hadis); magister dari dua universitas—Leiden, Belanda (bidang Islamologi) dan Manchester, Inggris (bidang studi Islam); serta doktor dari Australian National University, Canberra (bidang antropologi).
Bagi Faried dan Al-Fayyadl, filsafat sama sekali tak membuat sesat, dan justru dapat membantu masyarakat keluar dari fanatisme buta. Berikut petikan perbincangan dengan keduanya:
Apakah ada ayat dalam Al-Quran terkait filsafat?
Al-Fayyadl: Kata filsafat dalam Al-Quran itu tidak ada karena kata “filsafat” diambil dari bahasa Yunani—philosophia. Dalam Bahasa Arab disebut “falsafah”. Tapi dalam Al-Quran ada satu kata yang kemudian oleh para pemikir itu banyak dikaitkan dengan filsafat, yaitu “al-hikmah”.
Jadi, bunyi Surat Al-Baqarah ayat 269 memiliki arti, “Allah memberikan hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa diberikan hikmah, maka dia telah diberikan suatu kebaikan yang banyak. Dan hanya orang-orang berakal yang dapat mengambil pelajaran”.
Nah, para ulama kemudian punya pendapat atau mencoba menggali pengertian dari hikmah itu. Ada yang menafsirkan itu sebagai tafsir, ada yang menafsirkan itu ilmu fikih, ada yang menafsirkannya sebagai akal—dalam artian penggunaan akal untuk memahami fenomena, baik yang tertulis dalam kitab suci maupun kehidupan.
Dalam pengertian itu tentu sangat erat kaitannya dengan filsafat. Karena filsafat itu sebenarnya salah satu cara—kita juga menyebutnya seni—untuk membincangkan realitas dengan sudut pandang yang fresh, baru, kritis, dan tidak terjebak dengan opini-opini atau mitos yang beredar.
Manusia itu makhluk mimikri atau cenderung mudah untuk meniru. Jadi, apa yang dikatakan lingkungannya, dia akan ikuti. Nah, dengan filsafat ini, dia bisa berpikir.
Proses berpikir itu dalam Al-Quran sangat diperintahkan. Banyak sekali ayat berisi perintah tersebut. Bahkan buat saya, (filsafat) bukan saja sangat dianjurkan, tapi menjadi kewajiban karena seluruh perintah agama itu tidak bisa sempurna tanpa manusia memahami alasannya.
Kenapa kita salat, zakat, dan sebagainya. Lalu kenapa orang harus percaya keberadaan Tuhan Yang Maha Esa? Itu tidak bisa dipahami tanpa proses berpikir. Nah, filsafat menjadi salah satu media untuk memahami.
Oleh karena itu filsafat bukan cuma dibolehkan dalam agama, bahkan itu secara implisit diperintahkan untuk dipelajari—untuk mencari kebenaran dengan segala dimensinya. Jadi kata kuncinya al-hikmah itu.
Faried: “Berfilsafat” itu kata kerja dalam bahasa Indonesia. Bahasa Arabnya “falsafa-yufalsifu”. Bahasa Inggrisnya “to philosophize”. Ketiganya secara sederhana bisa dimaknai sebagai upaya memahami, menafsirkan, menjelaskan, atau mentakwilkan (menafsirkan) sesuatu secara falsafi (bersifat falsafah).
Falsafah sendiri secara harfiah berarti pandangan hidup; atau anggapan, gagasan, dan sikap batin mendasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat.
Maka Al-Quran membolehkan bahkan menganjurkan berfilsafat. Ada beberapa potongan ayat terkait itu, misalnya yang menyebut la’allakum tatafakkarun—mudah-mudahan kamu berpikir (Al-Baqarah: 219, 266), afala tatafakkarun—apakah kamu tidak berpikir? (Al-An’am: 50), dan la’allakum ta’qilun—supaya kamu memahaminya (Al-Baqarah: 73, 242 dan Al-An’am: 151)
Jadi, semua ayat itu mengajak umat Islam untuk berpikir dengan akal sehat. Ada juga yatadabbarun atau tadabbur yang berarti ajakan untuk menggali sesuatu/berkontemplasi dengan hati yang terbuka/segala upaya untuk memahami dan menyingkap realitas.
“Yatadabbarun” secara literal berarti menelaah, sedangkan “tadabbur” ialah perenungan menyeluruh untuk mengetahui maksud dan makna dari suatu ungkapan secara mendalam.
Tetapi berfilsafat tentu tidak sesederhana itu. Kita juga mungkin memaknai filsafat dengan berpikir tentang apa saja tanpa batas. Nah, di sini persoalannya menjadi lebih kompleks. Yang jelas berfilsafat, apa pun maknanya, pasti menggunakan akal yang dianugerahkan Allah.
Apakah boleh tanpa batas? Saya meyakini boleh karena akal diciptakan untuk berpikir sejauh yang dapat dijangkau oleh akal.
Bagaimana Islam menjawab pertanyaan seperti: Tuhan itu ada atau tidak? Adakah bukti dari keberadaan Tuhan? Dan apakah boleh manusia mempertanyakan Tuhan?
Al-Fayyadl: Ajaran Al-Quran dan hadis itu menyapa masyarakat Arab yang waktu itu kultur berpikirnya banyak dibentuk budaya sastra. Jadi, ajaran Islam itu pertama kali memberikan pemahaman tentang Tuhan dan bukti-bukti keberadaan Tuhan itu tidak secara rasional, tapi metaforis (bersifat kiasan atau perumpamaan atau perlambang). Misalnya, bagaimana Tuhan itu menurunkan air dari langit, bagaimana Tuhan itu menumbuhkan tanaman dari dalam tanah, dan seterusnya.
Artinya pendekatan pertama yang dipakai kala itu adalah sastra, belum filsafat. Tapi dengan pendekatan itu, audiens Al-Quran—masyarakat Arab saat itu, termasuk kita sekarang—diajak untuk berpikir. Dari situlah para ulama, para pemikir Islam, dan para cendekiawan Islam menyusun argumen-argumen yang sebagian dikembangkan dari filsafat Yunani.
Jadi, argumen tentang keberadaan Tuhan itu juga dikembangkan dalam dunia Islam. Hanya, sebagian darinya tidak murni dari ajaran Islam itu sendiri, tapi meminjam logika Yunani. Bagaimana misalnya argumen sebab akibat tentang penciptaan, bahwa Tuhan itu ada, dan makhluk itu muncul oleh adanya Pencipta.
Itu kan argumen sebab akibat, diajarkan Aristoteles (filsuf Yunani), dan diadopsi dalam dunia Islam. Ternyata di Al-Quran sendiri ada kesamaan-kesamaan penalaran dengan itu.
Faried: Ilmu kalam (disiplin filsafat dalam mencari prinsip-prinsip teologi Islam) sejatinya ilmu yang sangat bebas untuk berargumentasi. Makanya dinamakan kalam atau ilmu adu spekulasi, karena banyaknya aliran dalam ilmu kalam.
Jadi, mereka bisa berbeda dan bertentangan satu sama lain dalam menjelaskan Tuhan, tapi tujuannya sama: membuktikan bahwa Tuhan itu ada dengan segala bukti yang dibeberkan dalam perdebatan itu.
Apakah boleh mempertanyakan keberadaan Tuhan? Adakah batasan dalam agama terkait hal-hal yang bisa dipertanyakan dan yang tidak?
Faried: Mempertanyakan selalu boleh, tapi mungkin yang Anda maksud adalah meragukan atau menyangsikan keberadaan Tuhan.
Dalam konteks berislam, menyangsikan keberadaan Allah adalah haram. Tapi di sini perlu penjelasan lebih spesifik.
Berfilsafat itu ada alur dan aturannya. Yang paling utama adalah menggunakan akal sehat, dan akal sehat itu diatur dengan logika. Kalau logikanya keliru, ia bukan berfilsafat, tetapi berpikir secara keliru.
Saya meyakini orang yang berfilsafat dengan segala alur dan aturan logika itu akan selalu dan akan lebih mampu membuktikan keberadaan Tuhan. Jadi dia tidak menyangsikan keberadaan Tuhan.
Muslim selalu merasakan kehadiran Allah di bumi dan di dalam dirinya. Dalam ekspresi (pengungkapan) santri, Allah itu tahu semua aktivitas di semesta ini, bahkan sampai semut hitam yang berjalan di atas batu hitam di malam gelap gulita.
Semua daun yang berguguran di bumi ini juga atas kehendak Allah. Ini cara muslim mengetahui dan mengakui keberadaan Allah dan pengaruhnya, serta kekuasaan Allah atas makhluk-makhluk dan semua ciptaan-Nya di semesta ini.
Ada tulisan mengutip Ibnu Rajab yang mengatakan, “Jarang sekali orang mempelajari ilmu filsafat kecuali akan terkena bahaya dari mereka, yaitu kaum filsuf”, lalu menyebut filsafat itu biang kedunguan karena sumber ilmu hanyalah Al-Quran dan hadis. Bagaimana soal itu?
Al-Fayyadl: Itu bukan hadis, tapi pendapat ulama. Karena Nabi sendiri tidak pernah menyebut kata filsuf. Bisa jadi itu pernyataan Ibnu Rajab, seorang ulama dari mazhab Hambali (yang cenderung tekstual dalam memahami agama). Itu mazhab yang paling keras—antifilsafat.
Kenapa antifilsafat? Karena mereka melihat bahaya dalam filsafat itu ketika masyarakat awam diminta untuk menalar lebih jauh. Nah, sebenarnya hal itu mencerminkan kondisi zaman saat itu ketika filsafat cenderung menjauh dari agama.
Jadi, kala itu bernalar dianggap menjauh dari agama, dianggap tidak peduli teks dalam agama (kitab), sehingga kemudian melahirkan ajaran-ajaran yang membingungkan. Maka sebagian ulama saat itu menyatakan filsafat haram. Dilarang mempelajari filsafat.
Tapi, setidaknya ada tiga opini terkait itu. Pertama, mengharamkan filsafat. Kedua, membolehkan filsafat sejauh ia membantu orang untuk semakin kuat beragama. Ketiga, mewajibkan belajar filsafat.
Karena menjadi kontroversi di tengah ulama, maka di setiap kontroversi kita bisa memilih pendapat yang paling cocok untuk kondisi kita. Dan untuk kondisi masyarakat Indonesia saat ini, buat saya filsafat menjadi suatu kebutuhan karena agama sering kali diajarkan secara harfiah tanpa proses penalaran. Itu sangat berbahaya.
Banyak teman-teman, misalnya dari jurusan teknologi atau eksakta, sering kali tidak tertarik untuk belajar filsafat. Jadi begitu menemukan (sesuatu yang ada di) Al-Quran dan hadis, kemudian menganggap “Wah, ini pengertiannya sudah sama dengan teksnya”. Padahal tidak selamanya seperti itu. Kalau dengan pemahaman seperti itu, maka agama bisa menjadi kaku.
Di Indonesia, dengan latar belakang budaya dan agama yang macam-macam, kita bisa belajar filsafat. Tidak hanya filsafat Barat, tapi juga filsafat Timur. Fanatik pada filsafat tertentu juga tidak boleh.
Jadi filsafat itu satu bentuk penalaran yang bisa dilihat dari sudut pandang lain. Makanya kita bisa memakai filsafat yang berbeda-beda untuk memahami kompleksitas kenyataan.
Faried: Semua pesantren mengajarkan ilmu kalam (prinsip-prinsip dasar dalam ajaran Islam mengenai ketuhanan), baik yang paling dasar seperti kitab Al-Jawahir Al-Kalamiyah (tentang akidah Islam), menengah sedikit Al-Husunul Hamidiyah (kitab ilmu tauhid), dan kitab-kitab tebal lain.
Kemudian di perguruan tinggi Islam, mata kuliah filsafat Islam selalu ada. Filsafat Islam diperkenalkan karena itu satu-satunya yang mampu menjembatani filsafat Yunani kuno dengan filsafat Barat modern.
Filsafat yang dikuasai oleh filsuf-filsuf muslim justru bagian penting dari karakter keulamaan mereka. Ibnu Rusyd atau Averroes yang diagungkan di Barat itu adalah ulama dalam makna yang genuine.
Selain karya-karya filsafatnya, Ibnu Rusyd juga menulis, misalnya, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, sebuah kitab fikih (ilmu tentang hukum Islam) berisi perbandingan mazhab. Kitab itu digunakan di berbagai pendidikan Islam, baik klasik maupun modern.
Ibnu Rusyd—yang dalam Bahasa Latin kerap disebut Averroes—adalah filsuf asal Kordoba, Spanyol, yang mahir dalam berbagai disiplin ilmu, terentang dari filsafat, linguistik, teologi Islam, hukum Islam atau fikih, fisika, kedokteran, hingga astronomi.
Semasa hidupnya, Ibnu Rusyd pernah menjabat sebagai hakim dan dokter istana pada Kekhalifahan Muwahhidun yang menguasai utara Afrika pada tahun 1133-1269.
Ia menghasilkan banyak karya filsafat, dan mendapat julukan “Sang Penafsir” di dunia Barat. Ia juga menulis pelbagai tafsir atas karya Aristoteles yang kemudian diterjemahkan ke Bahasa Latin dan Ibrani, serta didistribusikan ke Eropa.
Tak pelak Ibnu Rusyd jadi memiliki pengaruh luas di Barat. Tulisan-tulisannya bahkan membuat para pemikir Eropa membuka dan mengulas kembali karya-karya filsuf Yunani yang lama terabaikan sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi.
Untuk berdebat dengan Ibu Rusyd, Imam Al-Ghazali (filsuf dan teolog muslim Persia) juga menguasai filsafat.
Masih banyak contoh lain yang menunjukkan bahwa ulama kita tidak fobia dan tidak alergi dengan filsafat.
Apakah mempelajari filsafat bisa menangkal radikalisme?
Al-Fayyadl: Ya, kalau yang dimaksud radikalisme itu semacam kesempitan cara berpikir atau fanatisme. Bukan cuma bisa, bahkan berkenalan dengan salah satu ilmu bantu filsafat saja—logika, kita akan terbiasa untuk berpikir keluar dari indoktrinasi.
Fanatisme itu problem dari semua ilmu. Ilmu agama dan filsafat bisa juga (membuat orang) menjadi fanatik. Maka, filsafat jangan diperlakukan seperti ilmu yang tertutup. Jangan misal ikut filsafatnya tokoh tertentu, lalu anti dengan filsafat yang lain.
Filsafat yang saya bicarakan ini filsafat sebagai perangkat penalaran yang berguna untuk mengevaluasi semua pandangan yang menurut kita tidak tepat/tidak benar. Nah, untuk itu sangat berguna.
Jadi kalau yang dimaksud radikalisme sebagai bentuk fanatisme dalam beragama, otomatis orang yang belajar filsafat dengan sendirinya akan lebih hati-hati.