Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Frankfurt Book Fair dan Semesta Buku Indonesia
5 Oktober 2017 8:03 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
ADVERTISEMENT
Frankfurt (nama geografis): sebuah kota metropolis di sisi Sungai Main, barat Jerman.
ADVERTISEMENT
Book (kata benda): lembar kertas berjilid, berisi tulisan atau kosong.
Fair (kata benda): perkumpulan pembeli dan penjual pada tempat dan waktu tertentu untuk melakukan perdagangan.
Jadi seperti namanya, Frankfurt Book Fair (FBF) yang termasyhur itu sesungguhnya “hanya” acara jual beli buku. Namun demikian, bagi dunia, peran pameran buku yang dalam bahasa asalnya, Jerman, disebut Frankfurter Buchmesse itu tak sesederhana yang dibayangkan.
Pada 11-15 Oktober nanti, FBF akan digelar untuk kesekian kalinya di kota asalnya di Jerman. Kini, puluhan penerbit dari ratusan negara tengah bersibuk ria menyiapkan sentuhan terakhir agar karya-karya asal negara mereka dilirik oleh para penerbit kelas dunia.
Mereka tentu tak akan mau ketinggalan untuk ambil bagian (dan terlihat unggul) di bazar dan pameran buku terbesar dan paling penting di dunia tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, apa yang membuat FBF mencapai eksistensi dan ketenarannya seperti saat ini?
Meski baru berdiri sebagai institusi dengan nama Frankfurt Book Fair 68 tahun lalu, tepatnya pada 1949, pameran buku tersebut punya akar budaya jauh lebih dalam. Dan untuk memahaminya dengan lebih baik, kita harus berkenalan dulu dengan Johannes Gutenberg.
Gutenberg adalah seorang penemu berkebangsaan Jerman. Ia lahir di Mainz pada 1395 dan meninggal 73 tahun setelahnya. Satu hal yang paling diingat dari namanya ialah keberhasilan dia dalam menciptakan dan mengembangkan mesin percetakan mekanis pertama di Eropa.
Penemuan tersebut diraihnya bertahap, dengan terlebih dahulu mengembangkan beberapa hal yang menjadi dasar produksi buku massal. Ia membuat hal-hal seperti: 1) tinta percetakan berbasis minyak, 2) mesin cetak yang bisa disesuaikan dengan ukuran kertas, 3) huruf cetak mekanis yang bisa dipindah-pindahkan, dan 4) penggunaan alat cetak kayu untuk menekan tinta di huruf cetak mekanis tersebut agar menempel di kertas.
ADVERTISEMENT
Kesemua penemuan itu ia kombinasikan menjadi sistem praktis yang membentuk percetakan buku mekanis berskala besar yang cukup murah, baik mesinnya bagi penerbit dan hasilnya bagi pembaca.
Rendahnya biaya modal dan biaya produksi membuat sebaran buku melonjak luas dengan tarif yang sangat drastis.
Sebelum Gutenberg mencipta mesin tersebut, bisnis percetakan buku di Eropa masih menggunakan tenaga tulis tangan dan metode woodblock printing. Keduanya jelas memakan waktu dan biaya yang amat besar --membuat harga buku terlalu mahal sehingga tingkat baca masyarakat Eropa berada di level amat rendah. Buku hanya “dikuasai” oleh kelas tertentu yang mampu menjangkaunya.
Namun kedatangan mesin cetak mekanik Gutenberg membuat masalah tersebut hilang. Jumlah buku yang diproduksi massal meningkat, mendorong terjadinya peristiwa-peristiwa besar yang dicatat sejarah macam Renaissance, Protestant Reformation, Age of Enlightment, dan berkembangnya ilmu pengetahuan modern lewat scientific revolution.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, tak berlebihan apabila penemuan Gutenberg ini tak jarang dinilai sebagai penemuan terpenting milenium tersebut.
Apabila benar buku ialah jendela dunia, maka Gutenberg adalah orang yang berhasil membukakan jendela tersebut untuk generasi setelahnya.
Di sepanjang hidupnya, Gutenberg hampir secara penuh menghabiskan waktu di Mainz, kota di negara bagian Rhineland-Palatinate, Jerman bagian barat. Kebetulan, Mainz hanya berjarak 30 kilometer dari kota terbesar kelima di Jerman: Frankfurt --dan dari situlah FBF berasal.
Ada banyak klaim yang menyebut Gutenberg sendiri pernah datang ke Frankfurt Book Fair tahun 1454. Namun, terlepas apakah ia betul-betul datang ke pameran buku di Frankfurt atau tidak, sejarah mencatat bahwa literatur dan moda-moda penyebaran keterbacaannya telah menjadi budaya tersendiri di Frankfurt.
ADVERTISEMENT
Sejarah pameran buku di Frankfurt memang lebih tua ketimbang Gutenberg sendiri. Menurut Peter Weidhaas dalam A History of the Frankfurt Book Fair (2007), terdapat sebuah salinan buku tulis tangan yang tercatat dijual di Frankfurt Fairs sejak abad ke-12.
Selanjutnya, tahun 1370, sudah ada “book fair” yang digelar di Frankfurt. Hal tersebut dibuktikan dari memo seorang klerik Belanda, Geert Groote, yang mencatat telah membelikan buku untuk koleksi Biara Katolik Brethren of the Common Life, jauh-jauh dari Frankfurt Fair.
Temuan-temuan tersebut membuktikan kedekatan Frankfurt dengan budaya literatur yang telah mengakar sejak berabad-abad sebelumnya. Kehadiran mesin cetak mekanis buatan Gutenberg membantu membuat cerita-cerita, hasil penelitian dan kerja ilmuwan, serta semua jenis literatur yang sebelumnya terbatas menjadi mudah diakses oleh publik.
Kehadiran pameran buku yang rutin digelar tiap tahun membuat Frankfurt berbeda. Ia konsisten menjadi institusi tak resmi yang menjaga perkembangan narasi masyarakat lewat pasokan buku-bukunya.
ADVERTISEMENT
Untuk menyebut salah satu, katakanlah di masa Protestant Reformation, pameran buku di Frankfurt kerap dimanfaatkan oleh para pedagang untuk menguji penerimaan pasar terhadap sebuah buku. Ia membantu menyebarkan literatur-literatur yang mendobrak kekuasaan Gereja Katolik yang ortodoks, macam Ninety-five Theses buatan Martin Luther, sampai terjadinya Perang Tiga Puluh Tahun yang berakhir dengan Perjanjian Westphalia.
Selain itu, dengan kehadiran banyak cendekia di pameran-pameran tersebut, pameran buku di Frankfurt juga kerap dijadikan ladang mencari beasiswa bagi para terpelajar dari berbagai penjuru Eropa. Singkat cerita, ia menguatkan budaya kemapanan kebutuhan literatur di kota Frankfurt dan Eropa Barat secara umum, sekaligus menjadikan Jerman pionir dalam industri percetakan di Eropa Barat.
Sampai abad ke-17, peran Frankfurt Book Fair masih tak tergantikan. Namun, di tahun 1632, saat Eropa masih berada dalam pusaran besar Age of Enlightment, Leipzig Book Fair dianggap lebih mutakhir dan representatif dengan perkembangan politik dan budaya saat itu. Di gelaran tersebut, Leipzig Book Fair memiliki lebih banyak buku yang dijual dan dianggap lebih unggul ketimbang saudara tuanya.
ADVERTISEMENT
Baru setelah Perang Dunia II, FBF menjadi nomor satu kembali. Pasca-perang, ia pertama kali digelar pada 1949 di Gereja St. Paul, dan setelah itu terus mempertahankan posisinya sebagai book fair wahid di Eropa.
Pada Oktober setiap tahunnya, lebih dari 260.000 penerbit, agen, pustakawan, konsultan, penulis, dan pekerja profesional yang berasal dari 100 negara berjejalan di FBF. Tak seperti pameran buku biasa, ketimbang sebatas memperjualbelikan buku untuk para pembaca, FBF lebih menjadi pasar hak terbit atas karya-karya dari seluruh dunia.
Dan inilah yang diincar penerbit Indonesia: barangkali penerbit kenamaan dari luar negeri akan memboyong karya sastra Indonesia yang hak terbitnya sudah mereka miliki terlebih dahulu. Dengan begitu, pundi uang akan masuk dan sastra Indonesia ikut terangkat namanya. Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Begitulah maksudnya.
ADVERTISEMENT
Mendapat kesempatan untuk berada di pasar hak menerbitkan buku dan benar-benar menjualnya, adalah hal yang berbeda sama sekali. Ronny Agustinus, pemimpin redaksi penerbit sekaligus pendiri perusahaan Marjin Kiri, paham benar dengan masalah tersebut.
“Gimana membuat ada penerbit luar yang tertarik dengan buku yang kamu terbitkan itu cukup sulit,” ucap Ronny saat berbincang dengan kumparan di Tangerang Selatan, Jumat (29/9).
Marjin Kiri menjadi penerbit indie pertama dari Indonesia yang diundang menjadi peserta FBF di Jerman, tepatnya tahun 2014. Saat itu, Marjin Kiri menjadi tamu undangan karena mengikuti program Invitation for International Publisher yang digelar FBF, menyasar penerbit-penerbit kecil dari Asia, Amerika Latin, Afrika, serta Eropa Tengah dan Timur.
“Kami dibiayai untuk ke sana, kami diberi stan standar. Tujuannya supaya penerbit kecil ini punya kesempatan untuk menjajal dan belajar seperti penerbit yang lain: bagaimana ikut di fair yang besar,” ucap Ronny.
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan FBF tak hanya punya manfaat sebagai pameran yang memungkinkan penerbit untuk menjual hak terbit buku-bukunya. Banyak keuntungan lain yang berguna bagi kerja penerbitan secara umum.
“Kami dikasih seminar dan pelatihan, misalnya tentang desain, tentang rights. Jadi banyak hal yang bisa dipelajari.”
Status sebagai Guest of Honor (tamu kehormatan) di FBF 2015 memberikan beberapa hak khusus pada Indonesia sebagai peserta. Pada hari pembukaan pameran, Indonesia diberi kesempatan untuk mengajukan seorang pembicara sastra dan satu pembicara politik untuk berbicara kepada peserta FBF--yang saat itu dilakukan oleh Goenawan Mohamad dan Anies Baswedan.
Selain itu, Indonesia diberi paviliun khusus yang berada di tengah-tengah pameran. Indonesia diberi keleluasaan untuk membentuk booth sendiri dengan desain pribadi, dan diberi ruang yang memuat 50 penulis sekaligus untuk menampilkan karyanya --selain, tentu saja, tempat untuk menampilkan 1.000 judul buku secara sekaligus.
ADVERTISEMENT
Marjin Kiri, yang juga diikutsertakan oleh pemerintah di partisipasi kedua Indonesia di FBF tersebut, mengaku mendapat banyak manfaat dan respons baik.
“Responnya positif. Memang belum ada rights buku yang terjual, yang penting mereka lihat ada penerbit (indie) yang seperti ini di Indonesia,” kata Ronny.
Menjadi penerbit indie dengan tema “kiri” yang bahkan tak banyak laku di Indonesia, lalu mendapat undangan di FBF, tentu menjadi capaian tersendiri bagi Marjin Kiri.
“Banyak yang baru tahu, ‘Oh, di Indonesia juga ada penerbit yang seperti ini,’ sehingga kami jaringannya jadi lebih luas, membentuk jaringan lebih banyak.”
ADVERTISEMENT