Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Gonta-ganti Jurus Pemerintah untuk Citarum
23 Maret 2018 11:36 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
ADVERTISEMENT
Pencemaran di Sungai Citarum adalah masalah lama yang tak kunjung reda.
ADVERTISEMENT
Sungai sepanjang 269 kilometer yang melintasi 13 kabupaten dan kota di Jawa Barat ini ditahbiskan sebagai satu dari sepuluh wilayah terkotor di dunia. Predikat yang disandang Citarum berdasar laporan dari Green Cross Switzerland dan Blacksmith Institute pada 2013. Dalam daftar 10 daerah paling tercemar itu, Indonesia diwakili oleh Sungai Citarum di urutan ketiga dan Kalimantan di peringkat ketujuh.
Pemerintah Indonesia bukannya diam. Jauh sebelum Citarum dinobatkan sebagai sungai terkotor di dunia, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah berulang kali menjalankan program rehabilitasi untuk sungai terpanjang di Jawa Barat itu.
Pada periode 2000-2003, pernah ada program Citarum Bergetar. Kata “bergetar” ialah singkatan bersih, geulis (cantik dalam bahasa Sunda), dan lestari. Program Citarum bergetar ini berfokus pada pengendalian pemulihan konservasi dan pemberdayaan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun di kemudian hari, program ini dianggap belum optimal mengatasi pencemaran di sungai yang menghidupi setidaknya 27,5 juta jiwa warga Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Melihat sejuta perkara di salah satu sungai strategis nasional ini, pemerintah pusat tentu tak bisa tinggal diam. Pada 2008, pemerintah menyepakati tawaran pinjaman dari Asian Development Bank (ADB) untuk memulihkan Citarum. Besar paket pinjaman itu senilai USD 500 juta atau sekitar Rp 6,7 triliun untuk program selama 15 tahun.
ADVERTISEMENT
Program jangka panjang 2008-2023 ini bernama Integrated Citarum Water Resources Management Investement Program (ICWRMIP) atau Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu di Wilayah Sungai Citarum. Singkatnya, sebut saja program Citarum Terpadu.
Dikutip dari laman citarum.bappenas.go.id , keseluruhan proyek ini diperkirakan menelan total biaya hingga Rp 9,1 triliun. Program yang juga melibatkan akademisi, LSM, hingga kalangan usaha ini bertujuan untuk perbaikan daerah tangkapan air di hulu hingga peningkatan kualitas dan ketersediaan air minum.
Baru berjalan tiga tahun, program ini diprotes oleh kalangan akademisi bersama Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA ). Mereka meminta Dewan Direktur ADB tidak menyetujui program ICWRMIP atau Citarum Terpadu sampai ada perbaikan-perbaikan terukur.
Saat itu mereka menemukan ketidakcocokan jumlah masyarakat terdampak dengan proyek Rehabilitasi Kanal Tarum Barat--proyek pertama Citarum Terpadu. Program justru dianggap merugikan warga, tidak jelas, bahkan tidak sesuai dengan tujuan awal pelaksanaan proyek, serta minus transparansi anggaran.
ADVERTISEMENT
Sementara ICWRMIP belum menunjukkan hasil positif, Pemprov Jabar kembali mencanangkan program pemulihan pada 2013. Nama program kali itu tak kalah menawan dengan program sebelumnya, yakni Citarum Bestari. Bestari yang juga bermakna “baik budi pekerti” merupakan kependekan dari bersih, sehat, indah, dan lestari.
Target program ini cukup tinggi bahkan terkesan muluk-muluk. “Kita ketahui, Sungai Citarum pada tahun 2013 berpredikat sungai tercemar di dunia.... Di 2018 nanti, kita berharap air Sungai Citarum dapat langsung diminum,” ujar Anang Sudarna, Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat (BPLHD) pada 19 Maret 2014.
ADVERTISEMENT
Lewat Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 75 Tahun 2015, gerakan Citarum Bestari resmi diluncurkan. Anggaran sekitar Rp 80 miliar pun disiapkan demi memuluskan jalan menggapai target Citarum Bestari.
Ani Widiani, Kepala Subbidang Sumber Daya Alam, Tata Ruang, dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat, kepada kumparan mengatakan, Citarum Bestari memiliki tiga pendekatan, yakni non-struktural, struktural, dan kultural.
“Untuk kultural, kami selama tiga tahun terakhir ini punya program namanya eco village. Itu dilaksanakan DLH (Dinas Lingkungan Hidup) Provinsi Jabar. Program itu mengajarkan bagaimana mengurangi sampah dan sebagainya. Berdasarkan laporan DLH, sejak eco village diluncurkan, sampah-sampah yang dibuang menjadi berkurang karena ada yang dipilah, ada yang diolah,” papar Ani di Bandung, Jawa Barat, Kamis (15/3).
ADVERTISEMENT
Ia juga menjelaskan, sebenarnya telah ada Rencana Aksi Multipihak (RAMP) agar Citarum bebas dari limbah industri, sampah, limbah pertanian, termasuk bebas erosi dan sedimentasi lahan.
“Tetapi memang dalam pelaksanaannya belum optimal, dan belum ada sinergitas program dengan kabupaten-kabupaten,” ujar Ani.
Sebelum target “air Citarum bisa diminum di 2018” tercapai, sungai ini kembali menjadi sorotan dunia. Lewat cuplikan sebuah video yang viral di media sosial, nama Citarum--lengkap dengan julukannya sebagai sungai terkotor--kembali go international.
Gary dan Sam Bencheghib, kakak beradik asal Prancis yang telah 13 tahun tinggal di Indonesia, mendokumentasikan keprihatinan mereka akan pencemaran di Citarum. Melalui film dokumenter garapan mereka, tampak benar pencemaran yang terjadi di Citarum.
ADVERTISEMENT
Dengan perahu kayak yang dibuat dari botol-botol plastik bekas, Gary menyusuri aliran Citarum yang dipenuhi sampah plastik dan limbah cair. Semua kotoran tergambar jelas. Video yang di-publish pada 29 Agustus 2017 itu seketika viral dan menyentil pemerintah yang sejatinya punya berbagai program untuk Citarum.
Kembali populernya nama Citarum dengan predikat sungai terkotor lagi-lagi membuat pemerintah bereaksi dengan menerbitkan program baru. Kali ini bernama Citarum Harum, dan ditargetkan rampung dalam waktu tujuh tahun. Target itu disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo saat meninjau kawasan hulu Sungai Citarum di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Kamis (22/2).
Citarum Harum dipimpin Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, dan melibatkan banyak pihak, mulai dari kementerian yang berwenang, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kepolisian, hingga TNI. Keterlibatan TNI secara masif dan terstruktur dalam program ini diharapkan membawa hasil berbeda dibanding program-program sebelumnya yang berakhir muram.
ADVERTISEMENT
TNI lewat Kodam III/Siliwangi terjun langsung dalam program Citarum Harum yang dibagi menjadi 22 sektor. Di setiap sektor, perwira menengah berpangkat kolonel ditunjuk menjadi koordinator. Mereka membawahi sejumlah prajurit yang disebar ke daerah terkait dalam sektor tersebut.
Para prajurit lantas membersihkan kotoran Citarum di sektornya. Mereka bahkan tinggal di rumah warga setempat, dan membayar uang bermalam dan biaya makan ke sang induk semang. Menurut Kepala Penerangan Kodam III/Siliwangi Kolonel Desi Ariyanto, prajurit masuk desa agar sejumlah penduduk yang masih ‘bandel’ membuang sampah ke sungai, akan segan dan mengurungkan niat mengotori Citarum.
Dini Dewi Diniarti dari Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI) menepis kekhawatiran adanya tumpang tindih antara Citarum Harum dan program-program sebelumnya.
ADVERTISEMENT
“Karena Citarum Harum ini kan hasil dari evaluasi yang lalu, makanya (program) direkonstruksi ulang. Setelah reevaluasi, dilakukan reorientasi, ‘Oh ternyata kekurangannya seperti ini, produk hukumnya seperti ini’, akhirnya dibuatlah (Citarum Harum) ini,” ujar Dini.
APDHI merupakan salah satu pihak yang dilibatkan dalam pembuatan draf rancangan peraturan presiden untuk Citarum Harum. Perpres ini menjadi landasan hukum bagi program Citarum Harum. “(Pada 13 Maret) kami sudah melakukan rapat koordinasi. Informasi dari Kemenko Maritim, Perpres itu sudah ada di meja Presiden. Jadi tinggal menunggu (sah) saja,” ujar Dini.
Pada 14 Maret 2018, Jokowi menandatangani Perpres Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum. Melalui Perpres ini, Jokowi resmi membentuk Tim Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum, yang selanjutnya disebut Tim DAS Citarum.
ADVERTISEMENT
Tim DAS Citarum yang diketuai Menko Maritim Luhut Panjaitan ini wajib melaporkan hasil evaluasi program kepada Presiden, minimal enam bulan sekali, juga bila sewaktu-waktu dibutuhkan.
Periode enam bulan pertama Citarum Harum ditujukan untuk sosialisasi sekaligus penegakan hukum terhadap industri penghasil limbah yang bandel. Rencananya, program ini akan merelokasi warga Desa Tarumajaya yang tinggal di bantaran hulu sungai Citarum.
Program tersebut juga akan menutup lahan-lahan perkebunan sayur di wilayah hutan di hulu sungai, dan menggantinya dengan tanaman kopi dan kayu yang bersifat menguatkan tanah, disertai alih profesi bagi masyarakat khususnya petani di sana.
Kenapa alih fungsi profesi? Karena perkebunan sayur milik warga itu dianggap sebagai penyebab deforestasi lahan hutan di hulu Sungai Citarum.
ADVERTISEMENT
Menurut data Forest Watch Indonesia, DAS Citarum telah kehilangan 26 ribu hektare tutupan hutan dalam 10 tahun terakhir. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Barat, Dadan Ramdan, menyatakan “Hanya lima persen luas wilayah hutan di hulu inti Citarum di Gunung Wayang yang merupakan tanah milik, sisanya adalah tanah PTPN VIII, hutan produksi, dan hutan lindung.”
Mengutip disbun.jabarprov.go.id , wilayah perkebunan di daerah aliran sungai hulu Citarum memiliki luas 7.729 hektare. Lahan itu sebagian besar milik Perkebunan Besar Negara PTPN seluas 7.102 hektare, sedangkan sisanya 627 hektare dimiliki Perkebunan Besar Swasta PT. Lonsum yang ditanami teh.
Lalu mengapa kebijakan Citarum Harum malah menyasar para petani untuk beralih profesi?
Ketika kumparan berkunjung ke Desa Tarumajaya, Rabu (14/3), tanaman sayur di beberapa kebun warga tampak telah berganti jadi kopi dan kayu. Penanaman dilakukan oleh warga setempat dengan pengawasan langsung oleh tentara.
ADVERTISEMENT
Ayi Gempar, Ketua RW di Desa Tarumajaya, mengatakan warga tak bermaksud menolak rencana relokasi. Hanya, mereka meminta kepastian soal ketersediaan lahan pertanian baru yang ditutup akibat program Citarum Harum.
Menurutnya, penutupan lahan pertanian tanpa penggantian lahan sama saja dengan mematikan penghidupan warga yang 90 persen bekerja sebagai petani.
“Kalau memang Citarum harus harum, harus bersih, benahi dulu masyarakat. Lahan pertaniannya harus dipindahkan. Kalau begitu kan tidak akan terganggu Citarum Harum-nya,” ucap Ayi di rumahnya, Tarumajaya.
Ia menilai program alih profesi kurang tepat, berkaca dari pengalaman terdahulu ketika pemerintah pernah memberikan hewan ternak sebagai pengganti tani.
“Dikasih kambing, tapi itu tidak mencukupi. Masa dikasih kambing dua ekor bisa mencukupi (kebutuhan hidup) sehari-hari. Jual kambing dua ekor, (uang hasil penjualan) sehari juga habis, sedangkan masyarakat itu membutuhkan untuk seumur hidup,” ucap Ayi.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, fitrah seorang petani adalah bercocok tanam, sehingga sulit jika harus alih profesi. “Kalau alih komoditi masih bisa,” tambahnya.
Ayi hanya satu dari sekian ratus warga Desa Tarumajaya yang menggantungkan hidupnya lewat bertani. Mereka berharap, asap dapur tetap mengepul di tengah harum Citarum.
Heri Ferdian, warga Desa Tarumajaya yang bergabung dengan komunitas Baraya Tani, menilai pembukaan lahan pertanian maupun peternakan di wilayah hulu Sungai Citarum tak lepas dari pola tata ruang yang salah.
ADVERTISEMENT
“Akar persoalannya itu persoalan tata ruang. Dulu mungkin lahan tidak terlalu dibutuhkan, karena penduduknya masih sedikit,” kata Heri.
Heri menceritakan, mulanya sebagian besar warga yang membuka lahan pertanian adalah pensiunan pegawai perkebunan kina milik PTPN VIII. Sejak saat itu hingga kini, mereka sudah tinggal di bantaran hulu sungai Citarum dalam waktu cukup lama.
“Jadi kami sebagai rakyat (yang tinggal di sini) gimana dong? Apa kami sama seperti hewan atau tumbuhan? Kami enggak butuh itu lahan jadi milik kami, yang kami butuh itu boleh tinggal di sini tanpa ancaman hukum,” ucapnya penuh harap.
Namun, permukiman di hulu sungai itu berbenturan dengan regulasi pemerintah, karena sejatinya wilayah hutan itu tak difungsikan untuk perkebunan dan permukiman.
Kasubid Sumber Daya Alam, Tata Ruang, dan Lingkungan Hidup Bappeda Jabar Ani Widiani menyatakan, tidak ada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRW) yang dikhususkan untuk Daerah Aliran Sungai Citarum.
ADVERTISEMENT
“(Aturan) untuk DAS Citarum, dari hulu sampai hilirnya di Muara Gembong, itu terdapat di RTRW Provinsi Jabar dan RTRW batas administrasi. Jadi tidak ada RTRW khusus DAS Citarum,” kata Ani.
Menurutnya, secara hukum negara tidak wajib menyediakan lahan baru, karena pada dasarnya wilayah tersebut adalah kawasan hutan yang dimiliki negara dengan peruntukan yang sudah jelas.
“Karena itu bukan tanah mereka (warga) kan sebenarnya. Mereka hanya memakai tanah itu untuk pertanian. Jadi tidak ada mekanisme itu,” kata dia.
Itu betul. Tapi, jika bukan negara, lantas siapa yang menjamin hak rakyat atas penghidupan yang layak?
------------------------
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.