Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Palu godam bak menghantam kepala Ani Yudhoyono bulan Februari 2019. Ia, yang selama ini tak pernah menderita penyakit serius, menerima vonis kanker darah—kanker ganas yang sulit disembuhkan dan tak mengenal stadium layaknya kanker lain.
“Menderita sakit pasti pernah dialami oleh setiap orang, termasuk saya. Wajar saja. Namun ketika dokter di Singapura menyatakan saya terkena blood cancer, rasanya seperti palu godam menimpa saya. Kaget, tak menyangka sama sekali. Rasanya tak ada riwayat dalam keluarga yang pernah terkena penyakit itu,” kata Ani lewat akun Instagram-nya, 17 Februari, dua pekan setelah ia masuk National University Hospital Singapura untuk menjalani perawatan intensif.
Ia melanjutkan, “Setelah hati saya, Bapak, dan keluarga bisa mulai meresapi dan menerimanya, sadarlah saya bahwa Allah Yang Maha Kuasa akan menguji siapa saja hambanya yang dikehendaki. Kali ini saya yang dipilih.”
Ani, yang bernama lengkap Kristiani Herrawati, mulai mengeluh sakit saat menemani SBY melakukan safari politik Partai Demokrat di Sumatera Utara dan Aceh pada akhir Januari 2019.
Dalam perjalanan dari Asahan ke Medan, Ani mengeluh tak enak badan. Rasa sakit itu kian menjadi ketika ia bersama rombongan kader Demokrat melanjutkan perjalanan darat dari Medan ke Aceh Timur. Ani merasa sarafnya seperti terjepit pada bagian punggung.
Namun, kala itu ia dan rekan-rekan Partai Demokrat belum terlampau khawatir. Semua mengira Ani hanya kelelahan karena mereka baru menempuh perjalanan panjang sejauh 450 kilometer.
Siapa sangka, sakit punggung Ani jadi berkepanjangan. Setelah menjalani pengecekan medis di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta, ia dirujuk ke rumah sakit Singapura, dan tak berapa lama kemudian divonis kanker darah.
Kehidupan keluarga Yudhoyono langsung berubah, terutama bagi Susilo Bambang Yudhoyono, sang kepala keluarga. Tak ada lagi agenda kampanye walau Pemilu Presiden 2019 di depan mata. Ketua Umum Demokrat itu memangkas total acara safari politik di kalendernya, dan mengalihkannya ke Agus Harimutri Yudhoyono si putra sulung yang telah diserahi tugas sebagai Komandan Satuan Tugas Bersama untuk Pilpres Partai Demokrat.
SBY tak mau kompromi. Ia sudah bulat tekad hendak mencurahkan segala waktu dan energinya untuk menjaga dan merawat Ani sampai sang istri pulih.
“Tidak mungkin di situ (kampanye) saya konsentrasi. Sudahlah, Tuhan kasih saya (cobaan) ini mungkin memang sudah waktunya saya retire dari politik,” kata SBY kepada koleganya saat itu.
Sejak Februari, rutinitas keluarga Yudhoyono berpusar di Lower Kent Ridge Road Singapura. Di jalan itu berdiri National University Hospital yang mau tak mau jadi semacam rumah buat Ani. Sementara SBY dan anggota keluarga lain yang bergantian mendampingi Ani, bila tak sedang berjaga di rumah sakit, tinggal di sebuah apartemen—yang berjarak sekitar 15 menit berkendara dari NUH—untuk beristirahat sejenak.
Tak seperti SBY yang bisa sepanjang waktu berada di Singapura, kedua putranya tak bisa begitu. Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono mengemban tanggung jawab untuk terus menjalankan roda partai di tengah hiruk pikuk masa kampanye. AHY tetap ikut kampanye kubu Prabowo, dan Ibas mengamankan kursi Demokrat di daerah pemilihan Jawa Timur VII yang merupakan kampung halaman SBY.
Meski demikian, AHY dan Ibas selalu menyempatkan diri ke Singapura seminggu sekali. Mereka, usai kunjungan ke wilayah tertentu, biasanya memilih berangkat dari bandara terdekat yang memiliki penerbangan langsung ke Singapura.
Ani harus melewati tahapan perawatan medis yang tak mudah. Pada kemoterapi pertama di awal masuk rumah sakit, tak ada hambatan berarti. Pada kemoterapi kedua, Ani sempat masuk ICU karena suhu badannya naik drastis, meski kemudian dapat pulih dengan segera.
Bulan Maret, muncul rencana cangkok sumsum tulang belakang untuk mempercepat kesembuhan Ani. Tak lain dari adik Ani sendiri, mantan KSAD Pramono Edhie Wibowo, yang bersedia menjadi pendonor. Ia punya delapan paramater darah yang dibutuhkan, dan dokter menyarankan proses transplantasi dilakukan setelah kemoterapi ketiga.
Namun, siklus kemoterapi ketiga yang berjalan lancar ternyata tak membuat Ani siap menjalani transplantasi. Setidaknya, pada tahap ini ia diperbolehkan jalan-jalan menghirup udara segar di luar ruangan selama dua jam. Biasanya, sehari-hari Ani terus berada dalam kamar perawatan.
Di Singapura, SBY tak sendirian menjaga Ani. Kedua menantunya, Annisa Pohan dan Aliya Rajasa, secara bergantian selalu menemani sang mertua. Hanya keluarga dekat inilah—SBY, AHY, Ibas, Annisa, dan Aliya—yang bisa masuk ke ruang rawat inap Ani.
Bukan cuma keluarga yang menyusun ulang agenda dan rutinitas mereka sejak Ani sakit, tapi juga para pengurus Partai Demokrat. Rapat strategis partai, misalnya, sejak Februari berpindah ke Singapura karena sang Ketua Umum berada di sana.
Maka di sela kesetiannya mendampingi sang istri, SBY rutin menggelar rapat dengan Dewan Pimpinan Pusat dan Majelis Tinggi Partai Demokrat. Rapat bisa berlangsung siang hari di ruang tunggu lantai 1 rumah sakit, atau pada malam hari di apartemen SBY sebelum ia beristirahat.
Pun begitu, SBY tak pernah berhenti memikirkan sang istri ketika disibukkan oleh urusan politik. Menurut politisi Demokrat Andi Mallarangeng yang cukup sering berada di Singapura, SBY selalu memendam kecemasan. Bahkan, air mata sesekali muncul di sudut mata SBY ketika ia tengah bersama para pengurus Demokrat.
Komunikasi antara SBY dan Ani bahkan tak terputus rapat partai. Di tengah pertemuan dengan para kolega Demokrat, SBY rutin melakukan panggilan video dengan Ani. Ketika wajah Ani muncul di layar ponsel, SBY selalu berusaha untuk tersenyum. Tak lupa layar ponsel dihadapkan ke arah kader-kader Demokrat yang kemudian segera meriung agar bisa ikut berbincang dengan Ani.
Setiap bertelepon dengan Ani, SBY selalu menanyakan kondisinya dan menegarkan hatinya. Senyum tak pernah hilang dari bibirnya. Namun ketika panggilan video berakhir, wajah SBY sontak lesu, dan sering kali air mata perlahan merembes keluar.
Melihat ketua umum partainya dilanda kesedihan teramat dalam, sungguh memilukan buat para pengurus Demokrat.
“Kami berusaha menghibur. Jadi kalau saya bolak-balik ke sana sama teman-teman itu tujuannya untuk menghibur Pak SBY. Supaya dia sehat dan bisa menyemangati Ibu. Jadi kami menyemangati Bapak, dan Bapak menyemangati Ibu,” tutur Andi Mallarangeng kepada kumparan, Minggu (2/9).
Video call terakhir antara Ani dan SBY berlangsung malam hari usai Ani masuk ICU, Rabu (29/5). Saat itu, SBY yang baru berbuka puasa bersama kader Demokrat di ruang tunggu lantai 1 begitu riang menerima panggilan video sang istri. Suasana hatinya tampak baik begitu menerima laporan dokter bahwa suhu tubuh Ani sudah kembali ke titik normal 37 derajat Celcius. Tekanan darah Ani yang semula rendah juga mulai naik.
Obrolan SBY dan Ani berlangsung ceria sepanjang 15 menit, dan berakhir ketika Ani hendak beristirahat. “Udah ya, mau tidur dulu, istirahat,” ucap Ani kepada SBY seperti ditirukan Andi.
SBY tak bisa menemani Ani dengan leluasa di samping tempat tidurnya karena sang istri sedang berada di ruangan ICU, bukan di kamar perawatan seperti biasanya. Ia dipindahkan ke ICU untuk mendapat penanganan khusus karena pada siang harinya suhu tubuhnya mendadak naik dan hemoglobinnya turun. Hemoglobin ialah protein sel darah merah yang berfungsi untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh.
Rabu malam itu, SBY memilih tak pulang ke apartemennya. Ia tidur di ruang tunggu pasien ICU agar tak jauh dari Ani Yudhoyono sang istri tercinta. Begitu pula Annisa, menantunya. Ketika malam kian larut, Ibas bersama istrinya, Aliya, tiba di RS. AHY pun menyusul datang setelah mengejar penerbangan tengah malam.
Tak seperti biasanya, mereka semua bermalam di ruang tunggu pasien ICU yang sempit, bukan di apartemen yang selama ini jadi tempat inap mereka. Padahal pada hari-hari sebelumnya, tak sampai lima orang sekaligus yang menginap di RS
Kamis dini hari (30/5) setelah keluarganya lengkap di National University Hospital, SBY kembali merebahkan diri di sofa dengan masker masih terpasang di wajah.
Hari-hari berikutnya, kekhawatiran menyelimuti keluarga Yudhoyono karena kondisi Ani yang naik turun. Jumat (1/6), dokter menidurkan Ani dengan peralatan medis. Tindakan itu terpaksa diambil karena mereka harus memasang alat bantu pernapasan.
Keluarga dan kader Demokrat terus berdoa. Ketua Divisi Komunikasi Publik Demokrat, Imelda Sari, menyiarkan kabar lewat pesan berjejaring kepada masyarakat, memohon mereka ikut bersama-sama membaca Ayat Kursi untuk mendoakan Ani Yudhoyono.
Kondisi Ani sempat membaik Sabtu pagi (2/6). Dokter mengatakan kadar oksigen yang masuk ke tubuhnya mulai meningkat. Namun, tak ada yang tahu takdir Tuhan.
Menjelang siang, dokter membolehkan keluarga dan kerabat dekat masuk ke ruangan ICU. Turut serta adik kandung Ani, Pramono Edhie Wibowo; sang besan, Hatta Rajasa; dan Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan.
Di samping ranjang Ani, SBY tak mampu membendung air mata. Tangannya terus membelai wajah istrinya. Ia lalu membungkuk dan mendekat ke telinga Ani, dan membisikkan sesuatu. Bisikan itu tak berbalas, namun terlihat air mata menetes dari sudut mata Ani.
“Saya ambil tisu, saya bersihkan titik-titik air matanya yang menggenang. Tetapi air mata saya pun menetes di keningnya. Saya menyatukan air mata itu, mohon kepada Allah, ya Tuhan inilah bersatunya air mata kami, air mata cinta, air mata kasih, dan air mata sayang,” kata SBY kepada kerabatnya.
Air mata itu jadi tanda perpisahan mereka. Ani wafat pukul 11.50 waktu Singapura, setelah empat bulan melawan kanker darah.
Tangis keluarga pun pecah. Seluruh kerabat saling berpelukan dan silih berganti membelai dan mencium Ani Yudhoyono yang telah tiada.
SBY begitu terpukul. Kala beranjak menuju ruang tunggu pasien untuk membicarakan proses pemulangan jenazah Ani ke Indonesia hingga prosesi pemakaman, ia berkata, “Inilah rapat pertama keluarga tanpa Ibu Ani.”
Mendengar itu, semua terdiam.
SBY jatuh dalam duka mendalam. Detail urusan pemakaman pun beralih ke tangan Hatta Rajasa, besannya. Ia sendiri tak banyak bicara.
SBY hanya berujar, “Saya ingin mencium Bu Ani saat akan dimasukkan ke dalam peti.”
Selama ini, dalam situasi dan tekanan politik sesulit apa pun, SBY bahkan tak pernah segetir itu.
“Kali ini sangat menyedihkan,” kata Andi, menghela napas.
Selamat jalan, Memo...
_________________
Simak rangkaian kisah lengkapnya di Liputan Khusus kumparan: Melepas Memo