Hidup Kedua Jusuf Hamka

28 Juni 2018 13:50 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Jusuf Hamka pernah hampir mati. Ia masih bocah ketika tenggelam dan terbawa arus Kali Ciliwung di samping Masjid Istiqlal, Jakarta. Nyawanya benar-benar nyaris tak tertolong.
ADVERTISEMENT
Andai ia mati, Jusuf Hamka si pendiri masjid di bawah kolong tol tak bakal pernah ada. Dan ia akan dikubur sebagai Alun Josef, nama lahirnya sebelum memeluk Islam.
Peristiwa celaka itu terjadi saat bocah Jusuf sedang cekcok dengan seorang kawan. Ia enggan meminjamkan ban ke temannya itu. Di masa itu, tahun 1960-1970an, ban biasa digunakan sebagai alat bantu untuk menyusuri sungai.
“Teman saya ingin pinjam ban, tapi nggak saya kasih. Dia dorong saya. Akhirnya saya jatuh ke sungai dan terbawa arus, hampir masuk ke pintu air. Saya teriak-teriak,” kata Jusuf saat berbincang dengan kumparan di Masjid Babah Alun yang ia dirikan di bawah kolong tol Cawang-Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (4/6).
ADVERTISEMENT
Jusuf masih ingat betul kengerian yang melingkupinya kala itu. Ia dilanda sesak. Tiap kali mencoba bernapas, paru-parunya justru terisi air alih-alih udara. Dadanya seperti mau meledak. Pintu maut serasa begitu dekat.
Namun, nasib mengatur hidup kedua baginya--berkat pertolongan seorang gelandangan.
“Seorang tunawisma dari atas rel kereta lompat langsung ke sungai, nolongin saya,” kata Jusuf, menerawang ke masa lalu.
Gelandangan itu merupakan uluran tangan Tuhan yang teramat nyata di masa kritis hidup Jusuf muda.
Sesaat setelah Jusuf selamat, “Langsung saya keluarin semua duit saya, kasihkan ke dia. Es mambo saya juga saya kasih ke dia.”
“Saya masih ingat namanya. Zabir. Dia tukang sepatu,” kenang Jusuf.
Jusuf Hamka dan bocah-bocah tunawisma. (Foto: Instagram/@jusufhamka)
Jusuf dan Zabir lalu menjadi sahabat. Keduanya berteman rekat di jalanan.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Jusuf ialah anak rantau di Jakarta. Keluarganya datang dari Samarinda, Kalimantan Timur, untuk ikut sang ayah yang bekerja sebagai dosen di ibu kota.
Keluarga Jusuf cukup terpandang dan berkecukupan. Namun itu tak menghalangi Jusuf untuk bergentayangan di jalan mencari teman dan uang jajan tambahan.
“Waktu umur 10 tahun, saya suka cari kerjaan sampingan di Masjid Istiqlal. Bantu teman-teman dagang untuk cari uang jajan tambahan. Jual es mambo di termos sama dagang asongan,” tutur Jusuf.
Di kemudian hari, Jusuf terpisah dengan Zabir. Jusuf dewasa menekuni dunia bisnis dan menjadi Direktur Utama PT Citra Marga Nusaphala Persada, perusahaan konstruksi jalan tol yang dibangun putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana atau Mbak Tutut. Sementara Zabir tanpa kabar.
ADVERTISEMENT
“Sampai sekarang saya enggak tahu dia di mana. Mudah-mudahan dia masih hidup dan saya bisa balas budi baiknya,” kata Jusuf.
Kenangan atas Zabir tak pernah lekang dari ingatan Jusuf. Peristiwa ditolongnya ia oleh Zabir punya satu arti penting baginya: ia harus selalu berbuat baik kepada orang lain.
“Orang kecil saja bisa nolong saya, dan saya bisa hidup karena orang kecil. Tugas saya sekarang untuk membantu mereka,” kata Jusuf.
Kesempatan untuk menjalani ‘hidup kedua’ setelah nyaris mati itu mungkin punya arti. Di usia 23 tahun, Jusuf bertemu Buya Hamka, ulama dan sastrawan Indonesia yang kemudian menuntunnya mengucapkan dua kalimat syahadat.
ADVERTISEMENT
Ketika itulah ‘Alun Josef’ berubah menjadi ‘Jusuf Hamka’.
Jusuf Hamka dan Buya Hamka. (Foto: Instagram @jusufhamka)
Jusuf kemudian diangkat anak oleh Buya Hamka. “Nama Muhammad Jusuf Hamka dia yang kasih. Anak-anak (kandung) Buya tahu semua.”
Jusuf menjadi mualaf tahun 1981 tanpa penolakan keluarga. “Orang tua saya moderat. Bapak saya dosen, ibu saya guru. Nggak masalah buat mereka. Bahkan waktu puasa pertama saya, ibu beli penggorengan baru buat masakin saya.”
Itulah kenapa toleransi jadi ‘mantra’ penting bagi Jusuf hingga kini. Dan ia menyesalkan kala Tionghoa kerap jadi kambing hitam.
“Di negara kita ini, setiap ada kerusuhan, yang sering disalahkan adalah orang-orang Tionghoa. Entah masalah politik atau ekonomi, yang dibenturkan selalu antara Islam dan Tionghoa,” kata dia.
“Padahal sebenarnya tak ada masalah antara Islam dan China,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Latar belakang itu pula yang membuat Jusuf memilih membangun masjid kental dengan arsitektur Tiongkok.
In Frame-Jusuf Hamka (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Masjid Babah Alun jadi salah satu cara Jusuf berdakwah. Dakwah itu pula yang dipesankan Buya padanya.
“Kalau Allah kasih saya badan sehat, umur panjang, insyaallah saya akan bikin seribu masjid seperti ini,” kata Jusuf.