Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jejak Jusuf, Pebisnis Lihai Anak Angkat Buya Hamka
28 Juni 2018 9:43 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ya, masjid yang dibangun dengan anggaran Rp 5,5 miliar itu berlokasi di kolong tol, bergaya arsitektur China , dan berhias aksara Mandarin di atas pintu masuknya. Tak heran, sebab sang pemilik, Jusuf Hamka, ialah seorang Tionghoa yang berpindah memeluk Islam di usia muda.
Namun kisah tentang Jusuf tak cuma itu. Di balik sosoknya yang tenang dan bersahaja, ia pebisnis andal. Setelah berkali-kali drop out dari bangku kuliah pada 1970-an dan terbang ke Kalimantan mencoba peruntungan di usaha kayu, kariernya mulai melejit pada 1990. Sejak saat itu sampai sekarang, sejumlah jabatan mentereng hinggap padanya.
Deretan jabatan yang silih berganti ia emban antara lain penasihat Sinar Mas, komisaris Artha Graha Investama, komisaris independen dan penasihat perusahaan otomotif PT Indomobil Sukses Internasional, komisaris independen dan penasihat televisi swasta nasional PT Indosiar Visual Mandiri, komisaris independen perusahaan semen PT Indocement Tunggal Prakarsa, direktur utama dan penasihat perusahaan infrastruktur jalan tol PT Citra Marga Nusaphala Persada, dan seterusnya, dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Dan semua jabatan bergengsi di dunia bisnis itu tak pernah sekali pun ia sebut dalam perbincangan satu jam bersama kami, tim kumparan, Senin (4/6), di masjidnya yang teduh di bawah naungan beton jalan tol.
Baru di kemudian hari, saat kami menyambung percakapan, ia menyinggungnya. Sampai saat ini Jusuf masih menjabat penasihat di tiga perusahaan: PT Indosiar Visual Mandiri, PT Indocement Tunggal Prakarsa, dan PT Citra Marga Nusaphala Persada yang dirintis Siti Hardijanti Rukmana atau Mbak Tutut dan kini dikemudikan--salah satunya--oleh putri Jusuf, Fitria Yusuf, sebagai wakil direktur utama.
Tak terlalu jauh dari kantor CMNP pula Jusuf mendirikan Masjid Babah Alun. Kedua lokasi berjarak 8 kilometer, membuat Jusuf relatif mudah bolak-balik antara kantor dan masjid.
ADVERTISEMENT
“Saya jadi advisor (di perusahaan-perusahaan itu) karena teman yang minta. Kalau cuma ngandelin gaji perusahaan, nggak seberapa. Tapi rezeki yang saya dapat sebelum pensiun itu gede. Dan kebetulan saya pemegang saham publik di perusahaan besar-besar,” kata Jusuf, membuka sedikit isi ‘dapur’ yang jadi modal baginya untuk membangun masjid.
Babah Alun bukan masjid yang pertama dibangun Jusuf. Jauh sebelum itu, ia pernah mendirikan masjid di kota kelahirannya, Samarinda, Kalimantan Timur.
“Seiring berjalannya waktu, rezeki bertambah terus. Setelah rezeki bertambah, ya saya bikin (masjid) di sini. Alhamdulillah, rezeki yang digelontorkan Allah bagai tsunami. Makanya saya berdoa, ‘Ya Allah, kasih saya badan sehat, umur panjang, insyaallah saya akan bikin 1.000 masjid seperti ini,’” kata Jusuf.
ADVERTISEMENT
Mendirikan masjid memang sudah ia niatkan sejak berucap dua kalimat syahadat di hadapan Buya Hamka pada 1981 silam.
Siang itu, Jusuf lebih banyak bercerita tentang Babah Alun dan Warung Podjok Halal--yang menjual nasi kuning dengan harga teramat murah--yang ia gagas di samping gerbang utama kantornya, CMNP.
Saat bercerita tentang Warung Podjok Halal itulah Jusuf mulai sering menyebut nama Buya Hamka--ulama dan sastrawan ternama Indonesia yang hidup pada periode 1908-1981.
“Dulu ayah angkat saya, Buya Hamka, bilang, ‘Setiap kamu mau berbuat baik, enggak usah khawatir. Nanti dananya Allah yang cariin.’ Saya awalnya enggak percaya,” kata Jusuf, mengenang ucapan sosok yang ia kagumi.
Awalnya adalah Josef, bukan Jusuf. Jusuf ialah nama pemberian Buya Hamka. Sedangkan nama lahirnya Alun Josef.
ADVERTISEMENT
“Waktu saya jadi muslim, Buya Hamka yang kasih nama buat saya, Muhammad Jusuf. Hamka ditambahkan belakangan setelah tiga bulan saya masuk Islam,” tutur Jusuf.
Bulan ketiga jadi mualaf itu, di tahun 1981, Jusuf diundang Buya ke Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan, untuk syukuran. Di situlah Buya menyematkan nama ‘Hamka’ di belakang ‘Muhammad Jusuf’.
“Engkau jadi anak ideologisku, dan tugasmu berdakwah di komunitasmu,” kata Jusuf, menirukan ucapan Buya ketika itu.
Ia begitu bahagia. “Luar biasa. Saya satu-satunya anak angkat Buya yang pakai nama ‘Hamka’. Anak-anak (kandung) Buya tahu semua.”
Jusuf tak henti bersyukur. “Alhamdulillah, saya dikasih nama oleh Buya, oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Itu karunia buat saya. Nama (pemberiannya) itu barokah. Sampai saya bisa jadi (sukses) hari ini pasti karena doa Buya dan teman-teman, dan Allah meridai.”
ADVERTISEMENT
Abdul Malik Karim Amrullah yang disebut Jusuf itu tak lain merupakan nama asli Buya Hamka. Tokoh Muhammadiyah dan politikus Masyumi kelahiran Agam, Sumatera Barat, itu pernah ditahan pada masa pemerintahan Soekarno karena dituduh subversif.
Buya juga Ketua Majelis Ulama Indonesia yang pertama. Dalam dunia kepenulisan, ia termasyhur karena karyanya yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck .
Alun Josef ialah kelahiran Samarinda, Desember 1957, yang besar di Jakarta. Ia anak tengah--yang keempat dari 7 bersaudara. Di usia 60 tahun kini, Josef yang telah jadi Jusuf kian khusyuk pada kesibukan bederma.
“Umur saya sudah 60, sewaktu-waktu saya bisa dipanggil (Tuhan). Nabung (amal) dulu, deh,” ujar suami Lena Burhanudin itu.
ADVERTISEMENT
Ia ingat betul pesan Buya. “Kelak harta yang kamu makan akan jadi kotoran, harta yang kamu simpan akan jadi rebutan dan warisan, tapi harta yang kamu sedekahkan insyaallah akan jadi tabungan kekal di akhirat.”
Sedekah dan dakwah. Petuah Buya itu hingga kini tertanam kuat di benak Jusuf, dan terus menjadi inspirasi di setiap langkahnya.
Itu pula kenapa Jusuf mendapat keistimewaan menyandang nama besar ‘Hamka’. “Supaya saya berdakwah di kalangan Tionghoa.”
“Pada abad ke-7, agama orang-orang China di sana (daratan China) adalah Islam,” ujar Jusuf.
Abad ke-7 ialah awal Islam masuk ke China, ketika Dinasti Tang menerima tamu dari jazirah Arab yang merupakan utusan kekhalifahan Utsman bin Affan.
ADVERTISEMENT
Sedihnya, sambung Jusuf, “Di negara kita ini, setiap ada kerusuhan, yang sering disalahkan adalah orang-orang Tionghoa. Entah masalah politik atau ekonomi, yang dibenturkan selalu antara Islam dan Tionghoa.”
Padahal, imbuhnya, “Hadis sendiri mengatakan, ‘Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China.’ Jadi sebenarnya tak ada masalah antara Islam dan China.”
Jusuf kembali gembira bila terkenang Buya Hamka. Ia pertama kali bertemu Buya di usia 23 tahun, saat tertarik memeluk Islam. Kala itu tahun 1981.
“Waktu itu saya lihat di Majalah Tempo, ada orang masuk Islam (disyahadatkan) di Masjid Al-Azhar. Saya langsung ke sana, bertemu Ustaz Zaimi, Sekretaris Masjid Agung Al-Azhar. Saya bilang, ‘Saya mau masuk Islam.’ Lalu dia bawa saya ke rumah Buya Hamka di (Jalan) Raden Fatah,” kata Jusuf.
ADVERTISEMENT
Maka, di bawah bimbingan Buya, Jusuf pun mengucapkan dua kalimat syahadat.
Ketika itu Jusuf tidak tahu sama sekali siapa Buya Hamka. “Saat saya lihat dia ribut sama Menteri Agama dan Pak Harto, wah, saya kaget. Ternyata orang besar.”
Ribut-ribut yang dimaksud Jusuf itu adalah perkara fatwa haram MUI soal perayaan Natal bersama bagi muslim. Kala itu Buya Hamka dan pemerintah berbeda pendapat, dan berakhir dengan pilihan Buya untuk meletakkan jabatannya di MUI.
Jusuf muda terhitung bengal. Lihat saja catatan di Curriculum Vitae-nya:
- Administrasi Negara FISIP Universitas Jayabaya, Jakarta, 1980 (Tidak Lulus)
- Bisnis Administrasi Columbia College, Vancouver, Kanada, 1977 (Tidak Lulus)
- Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta, 1974 (Tidak Lulus)
- Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, 1974 (Tidak Lulus)
ADVERTISEMENT
Orang akan terbelalak melihat deretan universitas yang ia datangi dan tinggalkan tanpa gelar. Apalagi itu belum semua tercantum di CV miliknya.
Mungkin hampir kita semua akan menggerutu: buat apa orang ini buang-buang uang?
Tapi Jusuf memang tak biasa. Ia enteng saja menanggapi komentar miring orang-orang soal cara belajarnya di kampus yang seperti awur-awuran.
“Tahun 1974, saya juga pernah ambil jurusan Sosial Politik di Universitas Jayabaya (tidak tertulis di CV). Belajar di Sospol pagi, sorenya di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara (juga tidak tertera di CV). Cuma ya enggak saya habisin (selesaikan). Saya dapat gelar cuma ‘haji’ di tanah suci,” kata Jusuf.
Jusuf tak menampik ia badung. “Saya memang bandel. Sekolah cuma asal tahu sistematika berpikir, nggak merasa perlu gelar. Orang-orang bergelar, saya enggak. Yang penting saya tahu sospol apa, bisnis apa, kedokteran apa. Jadi kalau sakit, obat-obatan saya cari sendiri.”
ADVERTISEMENT
Akibat ulahnya itu, Jusuf dulu dicibir. “Orang bilang saya agak sinting. Waktu ujian untuk ambil ijazah, saya malah keluar (kampus). Semua kuliah saya nggak ada yang selesai. Saya cuma bilang, ‘Gue nggak perlu itu.’ Saya malas sama formalitas.”
Sejak kecil, Jusuf memang sudah begitu. “Di keluarga, saya memang mbalelo.”
Meski hidup berkecukupan, kelakuan Jusuf muda ‘aneh-aneh’. “Saya cari kerjaan sampingan di Masjid Istiqlal. Dagang es mambo, dagang asongan.”
Beda Jusuf, beda putra-putrinya. Jika ia tak memegang satu pun ijazah universitas, ketiga anaknya punya gelar lengkap. Yang sama dari mereka: sukses.
“Anak pertama saya, Fitria Yusuf, Wakil Dirut CMNP. Anak kedua, Faisal Hamka, urus hotel di Gili Trawangan Lombok dan Berau Kalimantan. Anak ketiga, Farid Hamka, kerja di McKinsey, perusahaan konsultan manajemen,” beber Jusuf.
ADVERTISEMENT
Ia paham tumbuh di era yang berbeda dengan anak-anaknya. Dan itu mempengaruhi prinsip dan pemikiran mereka.
“Saya ibarat Metromini, mereka Big Bird. Walau mesin saya tua, mau adu balap Jakarta-Bogor, mereka kalah. Sebab Metromini kalau nyodok nggak lihat kiri-kanan. Begitu sampai, baru lihat. Kalau mereka banyak pertimbangan,” kata Jusuf.
Ia kerap mengomentari anaknya, “Kamu mau apa-apa buat proposal dulu, apa dulu. Kalau Bapak nggak pernah buat proposal.”
Sang anak lantas bingung, “Loh, terus bagaimana?”
Jusuf lantas berucap, “Filosofi Bapak tuh you never try, you never know. So you should try. Jangan bikin studi sana-sini terus, cobain dulu. Kalau gagal ya balik lagi.”
Tak jarang teori Jusuf itu ditolak mentah-mentah. “Anak sekarang nggak mau begitu. Mesti pakai riset dulu. Zamannya lain.”
Separuh abad lebih usianya kini, Jusuf semakin sering bersyukur.
ADVERTISEMENT
“Di zaman saya, Allah sayang saya. Belum tentu Allah kasih kesempatan yang sama lagi. Makanya saya harus berbuat baik ke semua orang.”
Rezeki yang tak putus mengalir diyakini Jusuf sebagai ‘bawaan’ nama yang dilekatkan Buya Hamka padanya. ‘Hamka’ memang punya makna dalam: pemuda tangguh.
Jusuf teringat betapa Buya sakit-sakitan sebelum meninggal.
“Saya sempat cium kening beliau. Saya antar ke makamnya di Tanah Kusir,” ujar Jusuf.
Buya Hamka wafat di Jakarta pada Juli 1981 di usia 73 tahun. Tahun yang sama dengan saat ia membimbing Jusuf berucap syahadat.
“Ia idola saya, mentor saya, dan ayah angkat saya,” kata Jusuf, selamanya berterima kasih.
ADVERTISEMENT