Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tapi, kaya dan derma itu beda soal--meski akan ada saja orang berpikir, “Ah, wajar saja bederma bila punya banyak harta.”
Persoalannya: mau atau tidak?
Berjualan nasi kuning seharga Rp 3.000 per bungkus, lengkap dengan lauk-pauknya. Itulah antara lain kesibukan Jusuf , lelaki kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur, 60 tahun lalu.
Tentu bukan cuma sebungkus yang ia jual, melainkan seribu bungkus sehari. Dan dengan harga nasi kuning di ibu kota yang normalnya Rp 10 ribu, berdasarkan hitungan Jusuf, mestinya ia merugi Rp 1,75 miliar dalam setahun.
ADVERTISEMENT
Tapi nyatanya, tidak sama sekali. Bukannya rugi, modal Rp 2 miliar yang ia siapkan untuk mensubsidi ratusan ribu porsi nasi kuning justru terus bertambah.
Pada tahap awal, dari Rp 2 miliar itu, Rp 10 juta ia pakai untuk merintis empat titik Warung Podjok Halal--judul warung nasi kuning murahnya--yang salah satunya berlokasi dekat kantornya, CMNP, di Jalan Yos Sudarso, Jakarta Utara.
Warung yang mulai beroperasi pada 6 Februari 2018 itu buka di hari kerja, Senin sampai Jumat, selama dua jam saja saat jam makan siang, pukul 11.30-12.30 WIB.
Pada waktu-waktu itu, warungnya biasa diserbu pasukan kebersihan kota, driver ojek, pemulung, dan masyarakat kalangan bawah lain. Mereka jadi pelanggan tetap.
ADVERTISEMENT
Nasi kuning Rp 3.000 yang dijual di warungnya pun dalam sekejap ludes.
“Alhamdulilah sampai sekarang yang Rp 2 miliar kurang Rp 10 juta yang saya cadangkan itu enggak habis-habis. Yang Rp 10 juta duitnya mungkin sudah terpakai, tetapi ada surplus Rp 97 juta,” kata Jusuf.
Bagaimana bisa? Dari mana surplus itu datang?
Dari orang-orang yang ternyata ikut menyumbangkan uang mereka demi gerakan ‘nasi kuning Rp 3 ribu makan sepuasnya’ itu.
Banyak orang tergerak dengan aksi Jusuf. Mereka jatuh simpati dan akhirnya ikut membantu dalam banyak cara. Contohnya, ada orang berpunya yang membeli nasi kuningnya dengan harga lebih tinggi.
Ada pula donasi dari kolega, kerabat, sampai orang-orang yang tak ia kenal. Donasi itu terus mengalir dan menghidupi Warung Podjok Halal yang ia gagas.
ADVERTISEMENT
Padahal, semula Jusuf tak berpikir hendak minta bantuan dari orang lain untuk mengoperasikan warungnya. Ia hanya ingin berbagi, seperti yang diajarkan ayah angkatnya, Buya Hamka yang menuntunnya masuk Islam 38 tahun lalu.
“Orang antre ingin sedekah. Luar biasa. Mereka minta proposal dan rekening bank. Padahal saya bilang, saya engggak kasih nomor rekening, enggak terima proposal,” kata Jusuf.
Ia pun akhirnya mengalah dan menerima uluran tangan dari orang-orang yang juga hendak bederma. “Mau infak, mau kasih nasi kuning, ayo kita bagikan dan salurkan sama-sama. Semua ada pertanggungjawabannya.”
Dengan menjual nasi kuning murah, Jusuf ingin memberi kesempatan kepada mereka yang membutuhkan guna menyisihkan uang untuk kebutuhan lain.
Yang terpenting, melalui Warung Podjok Halal semangat berbagi kepada sesama dapat meyebar. Pun tak melulu orang berpunya yang dapat berbagi, sebab orang biasa pun dapat ikut bersedekah dan membahagiakan orang lain.
ADVERTISEMENT
Jusuf bercerita, “Ada tukang parkir, makan, bayar Rp 3 ribu biasa. Saya pikir udah kelar. Lima menit kemudian, dia balik lagi, nuntun orang tua pakai tongkat. Dia bilang, ‘Bapak ini mau makan nih, saya bayarin Rp 3 ribu.’ Wah, jadi ajang sedekah buat teman-teman, kan” ujar Jusuf Hamka, gembira.
Kebaikan yang ia mulai, dengan cepat menular kepada orang lain, dan segala kebaikan akhirnya menyebar menciptakan dampak sosial yang lebih luas.
Sedikit banyak hal itu mengingatkan kita akan film Pay It Forward .
ADVERTISEMENT
Saat ini konsep Warung Podjok Halal telah diadopsi berbagai koleganya di sejumlah kota, dan Jusuf berharap gerakan sosial nasi kuning itu dapat dinikmati lebih banyak orang.
Sekali lagi Jusuf membuktikan, ucapan sang guru sekaligus ayah angkatnya bertahun-tahun lalu, adalah benar.