Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Terik matahari tak mampu menembus Babah Alun , masjid bergaya oriental yang berdiri di bawah kolong tol Tol Ir. Wiyoto Wiyono yang menghubungkan Cawang dan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Segarang-garangnya mentari, ia akan tunduk pada bentangan beton jalan tol yang melintang di atas masjid mungil itu.
ADVERTISEMENT
Babah Alun diambil dari nama asli sang pemilik masjid, Jusuf Hamka . Ia lelaki Tionghoa yang memeluk Islam 38 tahun lalu atas tuntunan Buya Hamk a, sastrawan dan ulama ternama Indonesia yang kemudian menjadi ayah angkatnya.
“Teman-teman yang pasang nama itu (Babah Alun). Padahal saya bilang enggak mau pakai itu, seperti kultus individu,” kata Jusuf saat berbincang dengan kumparan di masjidnya yang bernuansa hijau-merah, Senin (4/6).
Dalam tradisi Tionghoa, ‘babah’ memiliki arti ‘ayah’, sedangkan Alun merupakan nama asli Jusuf Hamka--Alun Josef--yang lahir 60 tahun lalu, Desember 1957, di Samarinda, Kalimantan Timur.
Niat Jusuf untuk membangun masjid di bawah kolong tol itu mulai muncul kala dia masih menjabat Direktur Utama PT Citra Marga Nusaphala Persada, perusahaan infrastruktur jalan tol yang dirintis putri sulung Soeharto , Siti Hardijanti Rukmana atau Mbak Tutut.
ADVERTISEMENT
“Waktu saya jadi dirut perusahaan jalan tol, saya sempat lihat-lihat ke sini. Dulu tempat ini sangat kumuh. Saya pikir, kenapa nggak bikin masjid di sini?” kisah Jusuf yang kini menjadi penasihat di PT CMNP, sementara tampuk kepemimpinan perusahaan jatuh--salah satunya--ke tangan putrinya, Fitria Yusuf.
Lahan 1.500 meter persegi tempat Masjid Babah Alun berdiri dahulu memang biasa jadi tempat pembuangan sampah. “Dulu di sini juga terkenal jadi tempat prostitusi dan premanisme,” kata Jusuf.
Baru pada pertengahan Agustus 2017, suasana kumuh perlahan berubah. Dan Mei 2018 berbarengan dengan awal Ramadhan, Babah Alun selesai dibangun di tempat itu.
Tak sedikit yang menyangka Babah Alun adalah kelenteng terpencil. Betapa tidak, ia memang jauh dari kesan bangunan masjid yang biasa dijumpai di Indonesia. Tak ada kubah masjid, tak ada menara menjulang.
ADVERTISEMENT
Jusuf sengaja memilih arsitektur oriental alih-alih Timur Tengah. Ia ingin menunjukkan tegas: warga Tionghoa tidak anti-Islam.
“Di negara kita ini, setiap ada kerusuhan, yang sering disalahkan adalah orang-orang Tionghoa. Entah masalah politik atau ekonomi, yang dibenturkan selalu antara Islam dan Tionghoa,” sesal Jusuf.
Lewat Babah Alun yang mungil dan kental nuansa Tiongkok, Jusuf ingin berkata, “Tidak ada masalah antara China dan Islam.”
Babah Alun jadi mimpi toleransi yang terbangun di Indonesia yang majemuk. Masjid yang dibangun dengan anggaran Rp 5,5 miliar itu mampu menampung 400 jemaah. Di dalamnya pun berlangsung berbagai aktivitas keagamaan.
ADVERTISEMENT
Ramadhan kemarin, misalnya, selama sebulan penuh Jusuf menggelar buka puasa bersama di masjid itu. Sebanyak 150 nasi kuning tersaji lengkap bersama lauk-pauk dan takjil berupa kolak dan es buah, untuk dibagikan secara cuma-cuma.
“Gratis. Kami kemarin gelar semua di sini pakai tikar. Kami banyak dibantu relawan-relawan dari NU dan FPI,” tutur Jusuf.
Jusuf bukan Ramadhan kemarin saja berbagi makanan. Sudah tujuh tahun terakhir ia rutin melakukannya.
Ia juga bukan kali pertama membangun masjid. Sebelum ini, ia juga mendirikan masjid di kota kelahirannya, Samarinda.
Mimpi mendirikan masjid memang jadi cita-cita Jusuf sejak memeluk Islam. “Kalau Allah kasih saya badan sehat, umur panjang, insyaallah saya akan bikin seribu masjid seperti ini.”
ADVERTISEMENT
Rp 5,5 miliar untuk membuat masjid itu kadang menjadi bahan candaan kawan-kawannya.
“Buat gue aja duitnya, lo udah kaya,” kata Jusuf menirukan kelakar beberapa temannya.
Harta itulah yang ingin ia gunakan untuk membantu sesama. Jusuf tak hendak berhenti dengan membangun masjid saja. Ia ingin mengoptimalkan fungsi rumah ibadah itu.
Jusuf bermimpi masjid mungilnya bisa jadi pusat perekonomian warga setempat.
“Setiap rezeki, ada bagian orang lain di situ. Jadi jangan disimpan, disembunyikan. Kita sedekahkan kepada orang-orang yang membutuhkan,” ujar Jusuf.
Sosok Jusuf Hamka bukannya asing sama sekali. Namanya beberapa kali muncul di kabar sektor ekonomi. Kiprah Jusuf mulai dikenal publik ketika ia menjabat Direktur Utama PT Citra Marga Nusaphala Persada periode 2012-2014.
ADVERTISEMENT
Saat itu gebrakannya membuat duit Rp 4 miliar mengalir ke kas perusahaan. Uang itu dihasilkan dari 600 ribu kendaraan yang melewati ruas tol yang dikelola CMNP.
Rezeki perusahaan otomatis jadi rezekinya pula, dan masjid jadi salah satu sarana untuk membagikannya ke sesama.
Di masa depan, Jusuf memproyeksikan Masjid Babah Alun menjadi lokasi wisata untuk mengangkat perekonomian masyarakat setempat. Apalagi kehidupan warga di sekitar kolong tol kerap luput dari perhatian pemerintah.
“Warga sini bisa jual cenderamata, makanan ringan, minuman, mengelola parkir,” kata Jusuf. Dengan demikian mereka punya penghasilan lebih, dapat mandiri secara ekonomi, sekaligus bisa belajar agama lebih mendalam di masjid tersebut.
ADVERTISEMENT
Yang penting, “Anak-anak dan warga jadi bisa bersukacita di sini,” ujarnya sembari menunjuk ke arah warga yang sedang bercengkerama.
Jusuf bahkan berencana membuka pengajaran bahasa asing kepada warga setempat, terutama bila Babah Alun nantinya menarik minat wisatawan mancanegara.
“Saya bisa ajari Bahasa Inggris. Nanti saya akan panggil guru Bahasa China dan Bahasa Jepang. Jadi bisa berkomunikasi dengan turis ketika menjual cenderamata.”
Jusuf bersyukur bila ada yang mau ikut datang mengajar. “Siapa pun yang tahu, kirimlah relawan yang bisa Bahasa Jepang, China, Inggris. Ayo deh ngajar adik-adik kita di sini satu jam aja.”
Lebih lanjut, Jusuf bercita-cita mendirikan Balai Latihan kerja di belakang Masjid Babah Alun. Balai itu akan menjadi wadah untuk membekali anak-anak putus sekolah dengan keterampilan khusus.
ADVERTISEMENT
“Untuk adik-adik yang umur 13, 17, yang putus sekolah, mereka bisa kami ajari kursus menjahit, kursus ngelas, kursus montir motor/mobil, kursus tukang batu, kayu,” kata Jusuf.
Ide tersebut telah mendapat dukungan dari banyak pihak, menurutnya, dan tak sedikit perusahaan kontraktor yang menilai balai latihan semacam itu berpotensi mencetak tenaga kerja untuk direkrut.
“Sehingga ketika mereka selesai kursus tiga bulan, mereka langsung siap pakai,” tutur Jusuf.
Jusuf pun ingin membangun Balai Rakyat untuk ragam hajatan seperti pernikahan, sunatan, penyuluhan, seminar, dan acara kemasyarakatan lain.
“Boleh dipakai oleh agama apa saja, suku apa saja. Yang penting tidak membawa alkohol, makanannya halal, dan menghormati jam salat muslim,” kata Jusuf.
Terakhir, Jusuf ingin membentuk Mualaf Centre di Masjid Babah Alun. “Jadi teman-teman Tionghoa yang mau masuk Islam bisa kami layan.”
ADVERTISEMENT
Seabrek rencana itu tengah diupayakan Jusuf terwujud. Tak mudah dan tak instan, tentu. Tapi Jusuf percaya, niat baik akan berbuah baik.
“Biarkan saja ini mengalir,” tutupnya.