Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Janji Palsu China, Bibit Pemberontakan di Xinjiang
9 Januari 2019 16:46 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
ADVERTISEMENT
Muslim Uighur di Xinjiang, China, menjadi sorotan tak hanya karena isu diskriminasi etinis. Tapi, sebagian dari mereka juga dituding sebagai pemberontak yang melawan Pemerintah China. Kondisi itu, bermula sejak awal abad ke19.
ADVERTISEMENT
Tepatnya, pada masa kekuasaan Dinasti Qing yang berakhir tahun 1911. Saat itu, penguasa China memaksa etnis Uighur untuk tunduk pada semua kebijakan. Perilaku represif ini terus terjadi ketika masa transisi antara kekuasaan Dinasti Qing ke China Republik yang berpaham komunisme dan rasionalis.
Namun, ketegangan antara kedua pihak sempat mereda. Terutama, ketika Muslim Uighur dijanjikan kemerdekaan oleh Partai Komunis China. Sayangnya, yang akhirnya dipraktikkan adalah sistem otonomi saja.
Otonomi itu pun ternyata tidak dianggap otonomi yang sesungguhnya oleh Muslim Uighur. Sebab, kegiatan keagamaan mereka masih sangat dikontrol oleh pemerintah pusat.
Adanya diskriminasi ini yang kemudian menimbulkan ketidakpuasan struktural lama. Maka, muncullah kelompok-kelompok Uighur yang ingin merdeka. Tepatnya, mulai tahun 1933 ketika orang-orang Uighur mendeklarasikan berdirinya Republik Turkistan.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, ada beberapa kerusuhan yang justru membuat China semakin represif. Akibatnya, Muslim Uighur malah merasa semakin tidak mendapat keadilan. Bahkan, memicu semakin menguatnya perlawanan.
Salah satu kejadian yang disorot dunia internasional, ketika kerusuhan pecah di ibu kota Xinjiang, Urumqi tahun 2009. Keusuhan tersebut bermula dari demonstrasi yang dilakukan sekitar 1.000 orang Uighur di pusat kota.
Pejabat China menyebut, sebanyak 197 orang tewas, yang sebagian besar berasal dari suku Han. Sementara, 1.721 lainnya luka-luka.
Sebenarnya, sebelum tahun 2009, serangkaian perlawanan dari Uighur yang merasa terdiskriminasi juga beberapa kali terjadi. Misalnya, tahun 1997 yang dipicu kabar 30 Muslim Uighur dieksekusi oleh pemerintah China.
Saat itu, pemerintah China memang tengah ‘bersih-bersih’ orang-orang Uighur di Republik Turkistan Timur atau East Turkey Islamic Movement (ETIM) yang telah berdiri sejak 1949.
ADVERTISEMENT
Sekelompok Uighur pun turun ke jalan dan berdemonstrasi. Namun, akhirnya demonstrasi itu berujung kerusuhan yang menewaskan 167 orang. Perisitiwa ini dikenal dengan istilah Insiden Ghulja.
Pada tahun 2018, potret penindasan dan perlawan Muslim Uighur oleh pemerintah China semakin disorot dunia. Pemberitaan soal penindasan Uighur marak di media-media besar dunia.
Muaranya adalah keluarnya pernyataan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terkait kebijakan pemerintah China terhadap Muslim Uighur di Xinjiang pada 30 Desember 2018. Dikutip dari BBC, PBB mengkritik definisi luas tentang terorisme dan acuan kabur terkait ekstremisme serta definisi tidak jelas terkait separatisme dalam undang-undang China.
- Mereka pun menelurkan beberapa rekomendasi terhadap pemerintah China. Berikut poin-poinnya.
ADVERTISEMENT
- Mengakhiri penahanan tanpa dakwaan hukum, pengadilan dan vonis;
- Pembebasan segera orang-orang yang saat ini ditahan di bawah keadaan ini;
- Memberikan data jumlah orang yang ditahan dan alasan penahanan mereka;
- Melakukan "penyelidikan independen terhadap semua tuduhan tidak layak terkait ras, suku dan keagamaan"
Rekomendasi ini beriringan dengan isu adanya kamp konsentrasi orang-orang Uighur di Xinjiang. Bahkan sempat muncul isu adanya pemaksaan terhadap Uighur agar tidak menjalankan perintah agama Islam.
“China adalah negara multi suku dan agama, hal ini mirip dengan Indonesia. Kami pun menghormati hak kebebasan beragama yang dilindungi oleh Undang-Undang di China, masyarakat di sana bisa terbuka menikmati kebebasan," tegas Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Xien dalam kunjungannya di kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (28/12).
ADVERTISEMENT
Namun, isu-isu tersebut sudah kadung sampai ke telinga kelompok-kelompok Islam di dunia, termasuk Indonesia. Mereka pun akhirnya menyuarakan penentangannya terhadap pemerintah China.
Masyarakat dunia tahu melalui laporan-laporan yang dimunculkan.oleh lembaga-lembaga HAM, seperti Amnesty international dan lainnya. Media kemudian memperluas informasi soal ini.
Menurut Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Shofwan Al Banna, dukungan yang baru-baru ini saja diteriakkan Muslim di Indonesia adalah hal yang wajar saja ya. Yakni adanya eskalasi isu yang memang terjadi belakangan ini.
Menurut dia, usai serangkaian kejadian kerusuhan, pemerintah China memperketat pengawasan terhadap Uighur. Hingga kemudian, muncul isu adanya kamp hingga penindasan dan tindakan diskriminasi lainnya.
Selain itu, China juga memperketat kontrol di wilayah Xinjiang. Lalu kemudian, China menggunakan narasi perang melawan terorisme..
ADVERTISEMENT
“Saya kira menjadi ketat lagi. Nah laporannya baru keluar dua atau tiga bulan kemarin lebih rinci sehingga kemudian beritanya banyak. Yang ini kemudian dimanfaatkan oleh negara-negara yang menjadi rival China untuk menekan China. Ya itu konsekuensi normal saja,” urai dia.
Ia menuturkan, sifat masa yang ingatannya pendek juga menjadi faktor kenapa Muslim di Indonesia terkesan baru mendukung Muslim Uighur di Xinjiang.
“Enggak bisa maraton. Ya ada kabar ini, video ini marah. Tapi marahnya ya tidak akan terorganisir lama,” tutupnya.