[LIPSUS] - GAGAL KE SENAYAN - COVER STORY

Kala Caleg Primadona Terpental dari Senayan

8 Mei 2019 13:11 WIB
Gagal ke Senayan. Ilustratof: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gagal ke Senayan. Ilustratof: Indra Fauzi/kumparan
Akbar Faisal terkejut melihat rekapitulasi Pemilu Legislatif di daerah pemilihan Sulawesi Selatan II. Perolehan suara politisi Partai NasDem itu cekak. Kursi DPR RI untuk NasDem dari dapilnya malah diborong dua istri bupati di Sulsel. Alhasil, Akbar gagal lolos menjadi anggota DPR periode 2019-2024.
Semula ia cukup pede bisa mengamankan kursi ke Senayan untuk periode ketiganya secara berturut-turut. Survei Indikator Politik hingga akhir Maret lalu menunjukkan elektabilitasnya paling tinggi di Sulsel II. Dapil ini meliputi Kabupaten Bulukumba, Sinjai, Bone, Wajo, Soppeng, Parepare, Barru, Pangkep, dan Maros.
Sepekan sebelum pencoblosan, 10 April 2019, survei SMRC juga menempatkan Akbar pada peringkat teratas caleg DPR di dapil tersebut. Ia melampaui suara caleg separtainya, Syahrul Yasin Limpo, yang notabene mantan Gubernur Sulawesi Selatan dua periode.
Namun, hasil rekapitulasi mementahkan semua prediksi. Akbar cuma berada di posisi ketiga dengan 40 ribu suara. Sementara istri Bupati Barru Suardi Saleh, Hasnah Syam, dan istri Bupati Wajo Amran Mahmud, Siti Maryam, bertengger di peringkat pertama dan kedua. Hasnah Syam meraih sekitar 50 ribu suara, sedangkan Siti Maryam mengantongi sekitar 47 ribu suara.
“Bukan hanya di dapil saya, di dapil Sulsel III itu calon incumbent NasDem juga kalah dari istri bupati. Begitu parahnya situasi ini,” ujar Akbar kepada kumparan, Selasa (7/4).
Akbar Faisal. Foto: Facebook/@Akbar Faizal
Akbar tak habis pikir bisa kalah di dapil yang menjadi langganannya melenggang ke Senayan 10 tahun terakhir. Padahal Akbar merasa rajin menjaga simpul dan konstituen di 9 kabupaten di sana. Mantan legislator Hanura ini menduga, status istri bupati memberikan keuntungan tersendiri bagi Hasnah Syam dan Siti Maryam.
Mereka, menurut Akbar, bisa “kampanye” gratis lewat berbagai program pemerintah yang ditelurkan oleh bupati. “Inilah dampak sistem proporsional terbuka. Jadi partai hanya memikirkan elektabilitas, kaderisasi hancur," tutur Akbar.
Tersingkirnya caleg petahana oleh keluarga kepala daerah, yang menurutnya karena faktor logistik dan infrastruktur, menyisakan kekhawatiran Akbar. Ia menganggap, kualitas produk legislasi nasional menjadi taruhannya. “Mereka bicaranya masih skala lokal, akan seperti anggota DPRD karena bicara wilayahnya,” kata dia.
Rontoknya calon petahana NasDem tak cuma terjadi di Sulsel. Di sejumlah wilayah lain, hal serupa terjadi. Penyebabnya tak melulu karena kalah dari jagoan lokal. Suara NasDem di Sumatera Selatan, misalnya, gembos. Wilayah itu tak lagi menyumbangkan kursi signifikan buat NasDem. Di Aceh, kampung halaman sang Ketua Umum Surya Paloh, NasDem juga harus puas hanya dengan satu kursi DPR.
Ketua DPP NasDem Willy Aditya, menilai politik identitas menjadi salah satu penyebabnya. Keputusan NasDem mengusung Joko Widodo-Ma'ruf Amin di Pemilu Presiden 2019 membuat banyak pemilih muslim yang dominan di tiga provinsi tersebut “lari”.
“Kami babak belur, berbagai hoaks menyerang. Mulai dari katanya kalau Jokowi terpilih kiblat salat berubah, hingga kami dicap partai pendukung penista agama. Habis semua digoreng,” kata Willy kepada kumparan.
Terpentalnya caleg-caleg primadona dari Senayan tak hanya dialami NasDem. Salah satu yang paling menyedot perhatian publik adalah gagalnya politikus PDIP Budiman Sudjatmiko ke Senayan. Budiman sudah dua periode menjadi anggota DPR sejak 2009. Di Pileg 2019, ia nyaleg dari dapil neraka Jawa Timur VII yang meliputi Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Magetan, dan Ngawi.
Di Jatim VII, Budiman harus bertarung dengan politikus Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas sang putra bungsu SBY, Imelda Sari yang juga berasal dari Demokrat, dan caleg debutan sesama kader PDIP Johan Budi Sapto Pribowo. Di antara mereka, Ibas dan Johan yang akhirnya lolos ke Senayan.
Jatim VII sebenarnya wilayah baru bagi Budiman. Pada Pemilu 2009 dan 2014, ia maju dari dapil Jawa Tengah VIII yang meliputi Cilacap dan Banyumas. Tetapi, pindah dapil bukan faktor utama kegagalan Budiman. Lulusan Cambridge University itu ternyata sudah lama tak berminat nyaleg.
Budiman Sudjatmiko di kantor Google Indonesia, Jakarta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
“Sejak 2017 sudah pamit ke tim saya. Saya pikir periode ketiga pasti saya mentok, tidak banyak ide. Sebuah jabatan publik itu harus fit. Bagi saya fit itu dua periode,” kata Budiman kepada kumparan di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, Sabtu (4/5).
Oleh sebab itu ia tak mendaftar ketika Dewan Pimpinan Pusat PDIP menyusun Daftar Caleg Sementara pada 2018. Sampai suatu ketika, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menghubunginya. “Mas Hasto bertanya, saya nyalon atau enggak. Saya bilang, inginnya ndak nyalon,” cerita Budiman.
Saat itu bertepatan dengan dimulainya persiapan pilpres. Budiman mengutarakan keinginannya fokus memenangkan Jokowi di Pilpres 2019. PDIP pun setuju menempatkan Budiman sebagai pasukan pemenangan pilpres. Namun, menurut Hasto, Budiman harus punya daerah yang diprioritaskan untuk mendongkrak suara Jokowi.
“Pak Sekjen bilang, ada satu daerah yang di era SBY diambil semua suaranya oleh Demokrat (Jatim VII). Dan di 2014, dari lima kabupaten di sana, Pak Jokowi kalah di dua kabupaten,” kata Budiman.
Singkatnya, Budiman didaftarkan nyaleg di Jatim VII untuk memperkuat pemenangan Jokowi sekaligus menambah perolehan suara PDIP di sana. Namun kenyataan berkata lain, aktivitas Budiman selama kampanye justru tersita di Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf.
Ia sering berkampanye untuk Jokowi di berbagai negara Eropa hingga Australia. Selain itu, ia kerap diundang menjadi narasumber di berbagai diskusi, debat, serta talkshow sebagai anggota TKN Jokowi-Ma’ruf.
Budiman baru intensif menggarap dapilnya tiga pekan terakhir menjelang pencoblosan. Itu pun tak setiap hari ia ada di dapil.
Maruarar Sirait. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Caleg PDIP lain yang gagal melenggang ke Senayan adalah Maruarar Sirait. Ia bertarung di dapil “neraka” Jawa Barat III. Kompetitornya berat dan punya nama besar, mulai Sekjen PAN Eddy Soeparno, Waketum Demokrat Syarief Hasan, hingga Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria. Belum lagi ada kandidat separtai yang tak kalah kesohor, Rieke Diah Pitaloka.
Bagi Maruarar, dapil Jabar III merupakan medan tempur baru. Selama tiga periode berturut-turut sejak 2004, ia selalu maju dari Jabar IX. Maruarar enggan berspekulasi soal penyebab kekalahannya. Usai tak lagi menjadi anggota DPR, Maruarar berniat menyibukkan diri dalam berbagai organisasi olahraga seperti sepak bola dan catur.
"Saya tak perlu mencari-cari (kegiatan). Kita tetap bersyukur karena Pak Jokowi dan PDI Perjuangan menang di Pemilu 2019 ini,” ujarnya kepada kumparan.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto berpendapat, calon petahana punya privilese untuk meraih kemenangan. Meski ada caleg langganan Senayan yang tak lolos, menurut dia lebih banyak caleg petahana di PDIP yang menang.
“Yang lebih penting itu adalah kerja kolektif kolegial untuk memenangkan suara partai secara keseluruhan dan Pak Jokowi. Terbukti memang seluruh elemen partai bekerja dan PDIP bisa menang pemilu dan Pak Jokowi menang pilpres," ujar Hasto kepada kumparan.
Baginya, caleg seperti Budiman Sujatmiko atau Maruarar Sirait tidak gagal. Budiman, kata Hasto, sejak awal memang lebih fokus untuk pemenangan Pilpres. Sementara kekalahan Maruarar lebih dilatarbelakangi pertempuran keras di Jabar III.
“Apalagi banyak sekali serangan hoaks dan berbagai sentimen negatif kepada kami di sana. Dengan dapil baru dan kondisi itu, perolehan suaranya sudah lumayan,” tutur Hasto.
Mulanya, Maruarar tak berniat nyaleg karena ada konflik internal di dapil lamanya, Jabar IX yang meliputi Subang, Sumedang, dan Majalengka. Kemudian di menit-menit akhir, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri meminta Maruarar untuk maju. Saat itu, cuma dapil Jabar III yang meliputi Kabupaten Cianjur dan Kota Bogor yang tersisa.
Sudirman Said. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Tersisihnya calon petahana atau elite parpol non-petahana juga terjadi di Gerindra. Di Jawa Tengah, dua tokoh Gerindra Ferry Juliantono dan Sudirman Said harus memupus harap ke Senayan. Ferry bertarung di dapil Jateng IV yang meliputi Wonogiri, Karanganyar, dan Sragen. Sementara Sudirman maju dari dapil Jateng IX yang mencakup Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan Kota Tegal.
Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria menjelaskan, kegagalan Sudirman dan Ferry disebabkan dua dapil tersebut merupakan basis suara PDIP. “Memang kami sulit dapat dua kursi di situ. Rata-rata di sana cuma satu kursi,” ujar Riza.
Terlebih, konsentrasi Sudirman dan Ferry terpecah lantaran harus membantu Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi. Ini sebabnya, menurut Riza, mereka kurang intensif menggarap dapil.
Meski begitu, Sudirman Said menuding gencarnya politik uang sebagai pangkal kegagalannya melengang ke Senayan. Padahal, Sudirman merasa lebih sering berinteraksi dengan konstituen pada pileg ini ketimbang ketika maju di Pilgub Jateng 2017. Pun, mesin Gerindra sudah bekerja keras tapi menurutnya gagal karena serangan fajar.
“Pemilu ini paling brutal. Banyak simpatisan yang menceritakan dahsyatnya pembagian uang, bahkan difasilitasi dan dikawal perangkat desa dan aparat keamanan. Tapi saya paham sulit meminta mereka memberi kesaksian,” kata Sudirman.
Caleg unggulan Gerindra lain yang gagal antara lain Pius Lustrilanang dari dapil NTT I serta Wenny Warouw dari dapil Sulawesi Utara. Riza menduga, mereka gagal karena Gerindra dianggap intoleran setelah mendukung Prabowo-Sandi di 2019. Di provinsi dengan basis non-muslim tinggi itu, kata Riza, Gerindra dianggap anti-Pancasila dan intoleran. Akibatnya, perolehan suara di NTT, Sulut, dan Bali jeblok.
Tersingkir di Dapil Neraka. Infografik: Satrio Herlambang Putra/kumparan
Kegagalan caleg andalan juga menimpa Partai Demokrat. Nama besar di DPR seperti Syarief Hasan, Max Sopacua, dan Roy Suryo sepertinya tidak akan kembali memeriahkan Senayan di periode 2019-2024.
Syarief dan Max bertarung di dapil neraka. Syarief turun di Jabar III dan harus bersaing dengan Eddy Soeparno, Rieke Diah Pitaloka, Maruarar Sirait, hingga Riza Patria. Sementara Max berjibaku di Jabar V yang dikenal sebagai dapilnya Gerindra. Di sana, ia berebut suara dengan Fadli Zon, Primus Yustisio, Faldo Maldini, Adian Napitupulu, Ferdinand Hutahean, Ravindra Airlangga, hingga Sahrul Gunawan.
Wasekjen Demokrat Renanda Bachtar menjelaskan, terdapat beberapa faktor di balik kegagalan caleg petahana. Pertama, dapilnya memang neraka sehingga sang caleg harus bersaing dengan kandidat internal partai maupun lawan berat asal partai lain.
Kedua, intensitas interaksi dengan dapil minim karena kesibukan sang caleg mengawal pilpres. Ketiga, masalah logistik yang menjadi faktor signifikan di pemilu serentak ini.
Keempat, munculnya caleg baru yang punya bekal komunitas dan simpul kuat di dapil tersebut. Biasanya, caleg seperti ini lahir dan besar di dapilnya dan sudah aktif di berbagai komunitas sejak lama.
Syarief Hasan. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
“Kami tentunya terkejut Pak Syarief tak lolos. Saya dapat informasi terakhir, memang kalah dari Hedi Permadi Boy,” ujar Renanda di Gandaria, Jakarta Selatan, Jumat (3/5).
Hedi Boy juga politisi Demokrat. Ia, ujar Renanda, merupakan caleg muda asli Cianjur yang memiliki sejumlah komunitas dan simpul di dapil yang juga menjadi tempat kelahirannya.
Lain lagi penyebab Roy Suryo gagal lolos ke Senayan. Renanda menilai warga Yogyakarta ingin memilih caleg baru demi penyegaran.
“Selain itu, banyak upaya mendegradasi Mas Roy. Misalnya karena kasus masih menyimpan barang-barang sewaktu aktif di Menpora. Itu masih digoreng dan berdampak,” kata Renanda.
Di sisi lain, ada caleg debutan Demokrat yang justru lolos, misalnya Lasmi Indaryani. Meski belum pernah terjun ke politik, Lasmi yang bertarung di Jateng VII (Banjarnegara, Purbalingga, Kebumen) ini merupakan mantan manajer Persibara Banjarnegara. Ia pun anak Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono.
Lasmi pernah menjadi sorotan publik karena melaporkan kasus mafia bola di PSSI. Menurut Renanda, “Lasmi punya komunitas, infrastruktur yang dengan mudah dipromosikan.”
Sementara itu, caleg beken lain seperti Jansen Sitindaon atau Ferdinand Hutahean gagal lolos karena faktor politik identitas. Keduanya sama sekali tak merasakan manfaat efek ekor jas dari dukungan Demokrat ke Prabowo-Sandi.
Demikianlah, pertarungan ke Senayan tak ubahnya kompetisi ketat, dengan ratusan caleg bak atlet yang harus siap menang atau pun kalah.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten