Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Kabar kegagalan Budiman di Pemilu Legislatif 2019 mulai tersebar ketika politisi Demokrat yang juga rekan seperjuangan Budiman pada masa Orde Baru, Andi Arief, berkicau di Twitter.
“Saya agak terkejut dan prihatin. Dua sahabat saya yang bisa memberi warna di DPR dari PDIP kabarnya gagal memenuhi kursi. Buat Budiman Sudjatmiko dan Eva Sundari, teruslah berjuang meski di luar parlemen,” ujar Andi.
Menanggapi kekalahannya itu, Budiman tampak santai saja. Menurutnya, ia memang tidak all out di Pileg dan tak seantusias dulu untuk duduk di DPR. Ia bahkan mengatakan, sejak semula sesungguhnya tak berniat mencalonkan diri lagi sebagai anggota legislatif.
“Saya sudah omong dan pamit ke teman saya dari 2017, ‘Saya nggak mau nyalon lagi.’ Saya pikir dua periode untuk sebuah jabatan publik itu sebuah batasan yang cukup,” ujar Budiman .
“Saya memang nggak intensif (di dapil). Saya baru intensif di tiga minggu terakhir sebelum pencoblosan pemilu,” katanya lagi.
Lantas kenapa Budiman masih mencalonkan diri di Pileg bila sudah tak lagi berminat lagi menjadi anggota Dewan? Berikut perbincangan wartawan kumparan Ananda Teresia dengan Budiman Sudjatmiko di kantor Google Indonesia, kawasan SCBD, Jakarta Selatan, Sabtu (4/5).
Anda tak kecewa gagal di Pileg?
Saya pikir dua periode untuk sebuah jabatan publik itu batasan yang cukup. Karena orang yang mengemban jabatan publik kan harus melakukan yang terbaik untuk rakyat. Dia harus fit. Ibarat kalau bertanding bola, badan harus fit, nggak boleh kecapekan, sehingga bisa main bagus.
Bagi saya, orang fit untuk sebuah jabatan publik yang sama itu dua periode. Di DPR memang tidak begitu? Bukan tanpa alasan loh orang bikin pembatasan dua periode di eksekutif. Negara memastikan orang di posisi itu berada pada masa-masa paling fitnya. Sehingga, meski tidak diatur di lembaga legislatif, saya merasa begitu.
Pertama kali saya masuk DPR tahun 2009, bingung mau apa. Akhirnya saya diskusi sama teman-teman, ‘Yuk perjuangkan UU Desa. Tahun 2009 masuk DPR, 2011-2012 kampanye (berusaha) supaya draf UU Desa dibahas, Desember 20013 dibahas, 2014 diundangkan, lalu Pilpres Pak Jokowi menang. Alhamdulillah. UU Desa jadi, teman satu partai jadi presiden.
Saya terpilih lagi pada periode kedua. Bila pada periode pertama saya tahu harus memperjuangkan UU Desa, pada periode kedua pun saya tahu persis mau melakukan apa, yaitu bagaimana agar UU itu bisa diimplementasikan.
Melampaui periode kedua, saya berpikir, saya nggak akan fit. Pada 2017 saya sudah melihat everything is not perfect but on the track. Tahun itu saya sudah pamit dan omong ke teman saya di dapil Jawa Tengah VIII, saya tidak akan nyaleg lagi.
Budiman Sudjatmiko pada Pileg 2009 dan 2014 mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari dapil Jawa Tengah VIII yang meliputi Kabupaten Banyumas dan Cilacap. Namun pada Pileg 2019 ini dia bergeser ke dapil Jawa Timur VII yang melingkupi Kabupaten Ponorogo, Trenggalek, Magetan, Ngawi, dan Pacitan—dan kalah.
Masuk tahun 2018, ada macam-macam proses politik—DCS (Daftar Calon Sementara anggota legislatif) dan lain-lain. Saya nggak pernah nyetor dokumen (mau maju caleg) ke partai. Terus dipanggil sama Sekjen (PDIP), “Kenapa nggak dikumpulin? Mas ditunggu nih, sudah akhir, sudah lewat.” Tapi saya nggak nyetor-nyetor.
Saya terus dipanggil lagi sama Sekjen, “Gimana, kamu nyalon nggak?” Saya justru pengen nggak nyalon. Kemudian Sekjen bilang gini, “Ya udah, kan mau pilpres, kamu bantu.”
Waktu itu belum ada TKN (Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin), saya dimasukkan ke dalam pemenangan Jokowi.
Katanya, “Kalau kamu mau bantu Pak Jokowi, ya ada daerah khusus yang kamu awasi.” Kebetulan di daerah lama saya (dapil Jateng VIII), Pak Jokowi menang besar di 2014, dan PDIP dapat dua kursi.
Kemudian Pak Sekjen bilang, ada satu daerah yang basisnya PDIP lama kuat di sana, cuma di zaman SBY diambil semua oleh Demokrat, sehingga PDIP cuma dapat satu kursi. Dari lima kabupaten di dapil itu, Pak Jokowi kalah di dua kabupaten—Magetan dan Pacitan.
Jadi itulah kenapa Anda akhirnya nyaleg dari dapil Jatim VII?
Ya. Pak Hasto (Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto) pernah nyalon di situ juga. Memang semangatnya memenangkan Pak Jokowi. Jangan sampai kalah di dapil. Kedua, baru menambah kursi PDIP.
Setelah itu, muncullah TKN. Saya kemudian membagi waktu dengan TKN. Kadang kampanye di Australia, kadang kampanye di Eropa, kadang di Jakarta ngelayani TV, berkelahi di debat talkshow. Saya nggak intensif (di dapil) memang. Intensifnya tiga minggu terakhir sebelum pencoblosan pemilu.
Saya sih bikin pasukan (relawan kampanye caleg), tapi ya gitu-gitu aja. Seminggu atau dua hari pulang, dua minggu lagi datang.
Pada akhirnya, karena keterbatasan waktu dan ada kebutuhan untuk memenangkan Pak Jokowi di tempat (dapil) sekaligus memenangkan pertarungan di talkshow media—which is itu penting untuk menghadapi propaganda yang ngawur menurut saya, jadi itu harus diadang, dan di situ saya all out.
Anda tak antusias lagi?
Nggak. Saya memang sudah nggak ada passion di situ. Saya dan tim lebih banyak berkelahi untuk pilpresnya. Karena bagi saya, terlalu risky pilpres ketimbang pilegnya. Kalau pileg sih saya yakin PDIP akan menang. Pilkada juga sudah banyak menang. Saya yakin akan tambah kursi PDIP di DPR RI.
Kalau Pak Jokowi, kita tahulah ada hoaks segala macam. Media sosial diserbu lawan politik. Ada sense of urgency dan sense of emergency dalam pilpres. Sehingga ketika diminta TKN, saya lebih passionate. Saya mengurusi dapil, kampanye juga, membiayai (pencalegan) juga, tapi bukan itu saja urusannya.
Jadi tak lagi di DPR bukan masalah?
No big deal.
Sudah memperkirakan nggak lolos ke Senayan?
Sudah menduga, saya enggak kaget.
Siapa yang pertama kali memberi tahu?
Teman. Dia bilang, sangat berat persaingannya. Ya, oke. Mungkin kalau di tempat yang sama untuk periode ketiga, saya jadi bego, hahahaa… Terlalu rutin, terlalu nyaman—gaji, fasilitas.
Seperti bukan Budiman Sudjatmiko, ya?
Dulu saya bergairah ketika jadi oposisi di DPR. Adrenalin terpacu. Untuk membuktikan PDI Perjuangan bisa buat undang-undang yang keren. Setelah Pak Jokowi, sudah agak nurun. Dulu kan saya ada tantangan implementasikan Undang Undang Desa. Jadi masih ada adrenalin.
Jadi lebih terpacu waktu jadi oposisi?
Bukan berarti saya pengen kalah.
Cara Anda berkontribusi selanjutnya bagaimana? Masih di partai kan, ya?
Ya. Saya kan nggak dipecat. Saya bisa saja bantu di badan pemenangan pemilunya, lalu lebih banyak ke desa untuk pemberdayaan desa. Desa dan teknologi itu concern saya. Sekarang tergantung penugasan partai saja.
Kalau diminta masuk ke eksekutif berarti oke?
Saya cuma enggak siap di DPR lagi, hahahaa…
Di luar DPR?
Mau di partai, mau di eksekutif, mau disuruh maju pilkada, okelah.
Sekarang sih saya bekerja saja dulu, kan masih di DPR sampai September. Setelah itu baru diputuskan soal penugasan.
Anda merasa lega “terbebas” dari DPR”?
Saya sekarang sedang bergairah bikin Inovator. Itu tantangan. Setelah dulu UU Desa gol, terus apa nih? Harus ada yang smart, dong. Itu kenapa saya bikin Inovator.
Inovator 4.0 adalah perkumpulan pegiat inovasi digital yang dideklarasikan Budiman di Jakarta pada 20 September 2018. Inovator 4.0, menurut Budiman, beranggotakan 200-an inovator dari lintas disiplin ilmu, dari politikus sampai pengajar dan pengusaha. Forum ini mendukung pemimpin yang memiliki visi revolusi digital.
Inovator ini terus saya jaga. Karena ini sebenarnya mengumpulkan orang pintar untuk ke desa, untuk menggairahkan pembangunan desa.
Ini terkait concern Anda ke desa dan teknologi seperti yang Anda sebut tadi, ya?
Dulu orang desa ngeluh ke saja, “Mas Budiman , perjuangin UU Desa, kami mau bangun desa bingung karena kekurangan uang.” Sekarang ketika saya ke desa, orang-orang desa bilang, “Mas, kami bingung uang mau diapain.”
Berarti masalahnya bukan soal uang saja, tapi soal know-how. Nggak ada uang bingung, ada uang juga bingung. Jadi harus dikelola dengan cerdas.
Nah, mereka yang di Inovator punya ilmu, dan sebagian besar juga berasal dari desa. Jadi ayo kerja, bikin sesuatu. Misal bisa artificial intelligence, bagi ilmumu. Kan punya ikatan emosional dan kultural dengan desa, ayo ke sana secara profesional. Nggak harus balik ke desa secara fisik, karena ada digital.
Saya yakin, dengan begitu lima tahun lagi ada perusahaan big data dari desa. Kalau Pak Jokowi bicara unicorn, kita bikin unicorn rakyat. Perusahaan unicorn tapi punyanya orang desa.
Inovator ingin menjadikan desa sebagai inkubator revolusi industri 4.0. Kota sebagai hub-nya, dunia sebagai arena bermainnya. Ini gerakan untuk mengelola suplai sumber daya manusia, bukan untuk berbisnis.
Kerja sama dengan kementerian, tidak? Atau swadaya?
Swadaya langsung ke desa. Hubungannya sama orang desa.
Balik soal Senayan, sekarang kan banyak caleg kuat yang gagal lolos, bukan cuma Anda. Apa yang Anda lihat dari fenomena ini?
Biaya politik memang makin mahal, dan pileg berbarengan dengan pilpres. Itu juga salah satu alasan saya tidak ingin maju lagi—karena biaya politik makin mahal.
I cannot afford it dan saya tidak akan menggunakan uang saya untuk sebuah jabatan yang daya tariknya sudah tidak seperti pencalonan saya yang pertama dan kedua. Ibaratnya, saya nggak akan membayar mahal untuk mobil ketiga.