Kandasnya 'Kisah Cinta Tanpa Pernikahan' Iran dan Israel

12 Februari 2019 11:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mohammed Reza Pahlavi dan Farah Diba. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Mohammed Reza Pahlavi dan Farah Diba. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
Awal pekan ini diwarnai saling ancam antara dua pihak yang bertikai: Israel dan Iran. Tidak tanggung-tanggung, ancamannya adalah "meratakan kota dengan tanah", mempertaruhkan jutaan nyawa warga yang tidak berdosa.
ADVERTISEMENT
Ancaman diawali oleh Yadollah Javani, komandan senior Garda Revolusi Iran, di peringatan 40 tahun Revolusi Islam Iran 1979, Senin (11/2). Dia mengatakan akan meratakan Tel Aviv dan Haifa di Israel jika AS menyerang Iran.
Ancaman ini dibalas Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang mengatakan pekan ini akan jadi "peringatan revolusi terakhir yang mereka rayakan" jika Iran menyerang Tel Aviv.
Saling ancam ini memang sudah karakter kedua negara sejak lama, mereka musuh bebuyutan, seperti kucing dan anjing. Tapi siapa kira, Iran dan Israel pernah juga mesra, bahkan saling dukung di kancah internasional dan bekerja sama dagang.
Tepatnya di masa Shah Reza Pahlavi, Iran menjalin hubungan erat dengan Israel. Pada 1950, bahkan Iran menjadi negara mayoritas Muslim kedua yang mengakui kemerdekaan Israel secara de facto setelah Turki.
Mohammed Reza Pahlavi dan Farah Diba. Foto: AFP
Menurut sejarawan dari Tel Aviv University, Brandon Friedman, bagi warga Yahudi di Israel nama Iran membangkitkan kenangan lama yang indah. Raja Persia, Koresh Agung, pada 2.500 tahun yang lalu menampung pengungsi Yahudi, dan memperbolehkan mereka kembali ke Yerusalem untuk membangun kuil.
ADVERTISEMENT
"Sejarah panjang Yahudi yang tinggal di Iran telah menciptakan kebudayaan bersama antara Persia dan Yahudi Israel keturunan Persia," kata Friedman dikutip oleh media Qatar, Al Bawaba.
Diberitakan Haaretz, di awal pembentukan Israel, rezim Iran juga tengah menjalin hubungan erat dengan Amerika Serikat. Iran saat itu menjual minyaknya ke Israel, di kala negara-negara kawasan menolak membelinya.
Iran bahkan menjadi negara importir terbesar produk-produk dan jasa dari Israel, baik itu pertanian, jasa konstruksi, atau medis. Ketika itu, nilai ekspor Israel ke Iran mencapai USD 100 juta. Sementara Iran mengekspor barang senilai USD 6 juta ke Israel.
Ilustrasi penduduk Yahudi di Israel Foto: Flickr/hireen
Polisi rahasia Reza Pahlavi, Savak, bahkan mendapatkan pelatihan dari badan intelijen Israel, Mossad. Di tahun 1960 hingga 1970-an, banyak kontraktor dan penasihat militer Israel yang bermukim di Teheran. Di Iran dulu ada sekolah khusus anak-anak Israel. Maskapai Israel, El Al, bahkan punya jadwal penerbangan rutin dari Tel Aviv ke Teheran.
ADVERTISEMENT
Pada 1977, Israel dan Iran memiliki proyek nuklir bersama bertajuk "Project Flower". Dalam proyek ini, kedua negara bekerja sama membuat hulu ledak nuklir untuk menandingi kekuatan nuklir India dan Pakistan. Disebut-sebut, ini adalah cikal bakal proyek nuklir Iran yang digugat Barat.
Dikutip The Times of Israel, Seorang pejabat Iran mengomentari hubungan negaranya dengan Israel ketika itu sebagai "adalah hubungan cinta tanpa pernikahan."
Siapa kira, kemesraan keduanya kandas dan kini jadi musuh bebuyutan.
Revolusi Islam Iran
Hubungan Iran dan Israel hancur setelah Revolusi Islam Iran pada Februari 1979. Ayatullah Khomeini sebagai motor penggerak revolusi kembali ke Iran dari pengasingannya dan memimpin negara itu. Tidak butuh waktu lama, Khomeini pada 18 Februari langsung memutus hubungan dengan Iran.
ADVERTISEMENT
Seperti menabur garam di atas luka, Khomeini menjadikan bekas Kedutaan Israel di Teheran sebagai markas Organisasi Pembebasan Palestina.
Sejak lama Khomeini sebagai pemimpin Syiah Iran yang berseberangan dengan rezim sekuler Shah Reza telah mendengungkan sikap anti penjajahan Israel di Palestina. Pada 1971, Khomeini mengatakan Israel telah mencampuri ekonomi, militer, hingga perpolitikan di Iran dan menjadikan negara itu sebagai pangkalan militer mereka.
Masyarakat membawa poster bergambar Ayatullah Khomeini. Foto: Shutter stock
Khomeini bahkan menabuh genderang perang dengan Israel dalam pidato pertamanya. Dia menegaskan Iran punya dua musuh utama, yaitu AS yang dijulukinya "Setan Besar" dan Israel "Si Setan Kecil". Khomeini ingin memusnahkan Israel yang disebutnya "tumor kanker" yang harus dimusnahkan.
Khomeini tidak main-main dengan ancamannya ini. Pada 1982, dia memerintahkan pembentukan Hizbullah di Lebanon untuk berkonfrontasi langsung dengan Israel di perbatasan. Ketika itu, Israel menginvasi selatan Lebanon dan baru tersingkir pada 2000.
ADVERTISEMENT
Pada 1994, Hizbullah yang dibekingi Iran dituding di balik pengeboman pusat Yahudi di Buenos Aires, Argentina, menewaskan 85 orang.
Nuklir Iran
Ancaman terbesar bagi Israel adalah nuklir Iran. Israel menuding Iran yang merupakan penandatangan Traktat Non-proliferasi Nuklir (NPT) pada 1968 tengah mengembangkan senjata nuklir.
Iran membantah, mengatakan pengembangan nuklir mereka untuk tujuan medis dan energi. Namun wacana ancaman nuklir Iran menggema hingga kini, diwarnai embargo dan sanksi yang mencekik perekonomian Teheran.
PM Israel Benjamin Netanyahu pidato di PBB pada 2012. Foto: AFP/DON EMMERT
Di setiap forum internasional, Netanyahu selalu mengangkat ancaman nuklir Iran. Pada 2012 contohnya, di hadapan Majelis Sidang Umum PBB Netanyahu membawa gambar tangan soal Iran yang menurut dia tinggal selangkah lagi punya bom atom.
Hubungan dengan Israel sangat tegang di pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad yang terpilih presiden Iran pada 2005. Ahmadinejad kerap melontar retorika ancaman terhadap Israel sejak awal terpilih. Dia juga menyangkal peristiwa holocaust, pembantaian jutaan warga Yahudi oleh Nazi Jerman.
ADVERTISEMENT
"Israel harus dihapuskan dari peta," kata Ahmadinejad dalam wawancara pada 2005.
Mantan Presiden Iran Mahmood Ahmadinejad pada 26 Juni 2005. Foto: AFP/PATRICK BAZ
Di pemerintahan Hassan Rouhani yang moderat, Iran membuka dialog dengan Barat soal program nuklir mereka. Pada 2015 dihasilkan kesepakatan antara Iran dan Barat soal pencabutan sanksi dan embargo dengan balasan pengurangan kapasitas nuklir Iran.
Pemerintah Tel Aviv tidak puas dengan kesepakatan tersebut dan melobi Donald Trump yang pro-Israel. Betul saja, Trump yang terpilih presiden pada 2016 menarik AS dari kesepakatan itu dan memberlakukan lagi sanksi bagi Iran, kendati diprotes negara-negara Eropa.