Kepala Museum: Multatuli Mendobrak Tabu

1 Maret 2019 20:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Patung Multatuli di Museum Multatuli, Lebak, Banten. Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Patung Multatuli di Museum Multatuli, Lebak, Banten. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Langit sore menggantung. Semilir angin dan rindang pepohonan tanpa banyak bising beriring dengan kendaraan lalu lalang. Rasanya, aku ingin seperti patung Multatuli di halaman samping museum, asyik membaca buku di pangkuan.
Di bangku sebelah kanan, tampak Adinda duduk menggenggam kembang. Sementara Saidjah di bagian depan berdiri seolah menyambut para pendatang.
“Patung itu dibuat oleh Dolorosa Sinaga. Konsepnya, Saidjah menyambut tamu sementara Multatuli sedang membaca buku. Mengapa bukunya lebih besar dari orangnya, karena ide seseorang lebih besar dari fisiknya,” ujar Kepala Museum Multatuli, Ubadillah Muchtar, sembari mengantar kami ke depan.
Tak disangka suasana sore membawa obrolan kami kembali berlanjut. Tentang kisah cinta Saidjah Adinda, tentang Multatuli yang lahir tanggal 2 Maret, tentang buku dan dunia tulis-menulis. Ketika bercerita tentang kisah Saidjah Adinda yang diterjemahkan ke bahasa Sunda sejak 1932, Ubai seketika membacakan sebuah puisi.
Hirup katungkul ku pati, ajal teu nyaho di mangsa. Laut Kidul bréh kacipta, sagara kungsi kasaba. Basa jeung bapa keur milir, nyieun uyah di basisir.
[Aku tak tahu di mana aku kan mati. Aku melihat samudera luas di Pantai Selatan. Ketika datang ke sana dengan ayahku, untuk membuat garam.]
Sore itu, kami hanyut dalam alur puisi berbahasa Sunda. Meski tak semua bisa dipahami, tapi keindahan katanya tetap sampai di hati.
Sementara obrolan panjang kami, tentu soal segala rupa terkait Multatuli yang tahun ini berusia 199 tahun. Ubaidillah adalah pembaca Multatuli. Jauh sebelum ia menjadi Kepala Museum Multatuli yang resmi dibuka 11 Februari 2018, ia memiliki Taman Baca Multatuli di pedalaman Lebak yang diinisiasinya sejak 2010.
Kepala Museum Multatuli, Ubaidilah Muchtar, di Museum Multatuli. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Baginya, Multatuli membawa Lebak ke pentas dunia melalui kisah Max Havelaar. Buku yang mendobrak pakem sastra masa itu, menurut Pramoedya Ananta Toer, mempengaruhi tokoh-tokoh gerakan kemerdekaan dan membunuh kolonialisme.
Sebagai karya ataupun individu, Multatuli masih menyimpang teka-teki. Berikut perbincangan panjang lebar kami dengan Ubai di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Lebak, pada Rabu (27/2).
Museum Multatuli diinisiasi sejak kapan?
Sebenernya inisiasinya dari 2010. Saya bikin Taman Baca Multatuli di pedalaman Lebak Banten, 50 kilometer dari sini. Berbarengan dengan itu juga teman-teman di Jakarta, misalnya Bonnie (Triyana) bikin Historia pada 2009—masih versi cetak.
Tahun 2010, kami ketemuan—saya, Bonnie, Bambang Eryudhawan dari IAI (Ikatan Arsitek Indonesia), sama Kurie Suditomo, eks wartawan Tempo. Akhirnya kami ngobrol dan bagi tugas. Saya tetap menjaga semangat di Lebak untuk membaca Max Havelaar. Kemudian Bonnie nyari duit tahun 2014-an. Mas Bambang sama Mbak Kurie mikirin konsep museum.
Akhirnya 2015, Pemda Lebak mengiyakan bikin Museum Multatuli. Akhirnya dipilihlah tempat ini, eks gedung wedana Rangkasbitung tahun 1923. Sempat dipakai oleh Badan Kepegawaian Daerah, Kantor Hansip, kemudian KPUD. Pada 2016, bangunan ini dipugar.
Di sini ada Jalan Multatuli, Apotek Multatuli, SD Multatuli, Klinik Multatuli, Radio Multatuli FM, Aula Multatuli.
Suasana Museum Multatuli di Lebak, Banten. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Kenapa semuanya Multatuli?
Multatuli pernah jadi asisten residen di Lebak. Meskipun hanya 84 hari, dari 21 Januari 1856 sampai 30 April 1856. Kalau ditanya, misalnya, apa ada kaitan dengan Multatuli? Nama Jalan Multatuli itu sudah ada sejak tahun 1933.
Kemudian pemilik Apotek Multatuli di Rangkasbitung, karena pemiliknya seorang dokter da pembaca Max Havelaar, Dia ingin memakai nama Multatuli untuk apoteknya. Kalau radio, karena mudah. Kalau ditanya Lebak identik dengan apa? Badui dan Multatuli.
Karena Multatuli lah, atau Eduard Douwes Dekker, yang membawa Lebak ke pentas dunia, lewat novel Max Havelaar.
Buku-buku Max Havelaar di Museum Multatuli, Lebak, Banten. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Memori orang Lebak cukup kuat terhadap Multatuli?
Pro kontranya hadir. Kalau konteksnya di Lebak, sampai hari ini masih banyak yang mempermasalahkan kenapa namanya Museum Multatuli, padahal Multatuli itu kan seorang penjajah, seorang Belanda.
Misalnya tanggal 10 November, Hari Pahlawan, Keluarga Mahasiswa Lebak demo menggugat nama Museum Multatuli.
Protes terhadap museum saja atau terhadap segala sesuatu yang bernama Multatuli?
Museum Multatuli, karena dua tahun ini Museum Multatuli yang jadi magnet. Teman-teman media warta lokal di sini sampai sempat menulis liputan: setop menggunakan nama Multatuli di Rangkasbitung.
Bagaimanapun juga mereka nggak bisa menafikan kalau memang Multatuli punya andil dalam sejarah Indonesia. Bahkan Pramoedya Ananta Toer sendiri mengatakan, ‘Orang Indonesia seharusnya punya utang budi terhadap Multatuli. Dia yang menyadarkan kita kalau kita itu dijajah.’
Patung Multatuli di Belanda. Foto: shutterstock
Sementara sebagian lain tetap berpikiran bahwa Multatuli adalah kolonial penjajah?
Betul, karena tidak membaca karyanya dan tidak melihat bahwa yang kita dorong adalah nilai-nilainya. Bagaimana Multatuli itu memberikan inspirasi.
Ketika teman-teman yang kontra itu ditanya, sudah pernah ke museum? Mereka jawab, belum. Kan museum tidak melulu Multatuli. Ada Bantennya, Lebaknya, ada Rangkasbitungnya.
Untuk meredamnya, diskusi itu selalu ada. Museum yang bagus ya museum yang ada diskursus, yang hidup terus. Artinya saya juga punya tantangan, kalau saya tidak bergerak, teman-teman yang dalam tanda kutip nggak suka ya tambah senang. Ah museumnya sepi.
Jadi kegiatannya apa saja? Apakah di sini juga ada klub baca?
Kelas Bahasa sama Kelas Sastra. Saya punya Kelas Bahasa di Lebak, sembilan bahasa, yang sudah berlangsung dari 2 Mei 2018. Inggris, Perancis, Jerman, Arab, Korea, India, Thailand. Untuk warga semuanya.
Kelas Sastra di Sabtu-Minggu sama anak-anak Dewan Kesenian Lebak. Aktivitasnya misalnya baca puisi.
Ilustrasi Lipsus kumparan: Multatuli sang Pembunuh Kolonialisme. Foto: Herun Ricky/kumparan
Bagi Anda, sebenarnya seperti apa sosok Multatuli itu?
Ada yang menginterpretasikan bahwa Multatuli itu cari sensasi aja. Dia memanfaatkan kemampuan dia menulis untuk menghajar Gubernur Jenderal karena dianya merasa sakit hati dipecat dari PNS.
Ponakannya sendiri ngomong, 'Multatuli sakit jiwa.' Sampai meninggalnya kan hanya dihadiri oleh 6 orang. Meninggalkan utang ke tukang sayuran, ke toko buku loak.
Di buku Multatuli yang Penuh Teka-teki, Willem Frederick Hermans membahas itu semua. Dalam artian, kok bisa di masa itu dia menjadi seorang penulis yang tiba-tiba seperti sebuah bom. Membuat orang di DPR gonjang-ganjing.
Yang saya baca kan karena bahasa sastranya sangat berbeda dengan sastra Belanda yang ada saat itu?
Betul. Salah satunya karena Multatuli jujur. Dia mau ngomong apa adanya. Dia melawan hoaks pada masa itu. Jadi pada masa itu kan orang laporan itu selalu bagus. Mereka tidak tahu masyarakat di daerah tidak minum kopi dari biji kopi, tapi dari daun kopi.
Lenin mengatakan, kalau kamu ingin belajar tentang kemanusiaan, belajarlah pada Multatuli. Sigmund Freud mengatakan, ikon antikolonial pertama di dunia itu Multatuli.
Sejumlah koleksi buku di Museum Multatuli. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Jadi, menurut Anda, apakah Multatuli orang yang sekadar nyinyir atau benar-benar peduli dan antikolonialisme?
Sebenarnya kalau saya lebih banyak kajian dari sebagai Subagio Sastrowardoyo atau HB Jassin sebagai penerjemah pertama ke bahasa Indonesia. Jadi harus dibedakan mana Multatuli sebagai individu, mana Multatuli sebagai karya.
Kalau ngomong sebagai Eduard Douwes Dekker dengan kehidupannya, ya dia memang seorang ambtenaar (bahasa Belanda untuk PNS) yang dipecat atau mengundurkan diri setelah dia berperkara dengan Bupati Lebak Karta Natanegara.
Sebagai seorang pribadi, dia memang agak nyentrik. Ada 3 hal yang dimiliki Eduard Douwes Dekker. Satu, dia peka terhadap ketidakadilan. Jadi dari kecilnya juga dia sudah memberontak, jiwa pemberontaknya itu dari kecil.
Ketika ada topi temannya, misalnya terbang ke sungai, orang yang lain mah nyantai, tapi dia loncat mengambil topi itu. Ketika dia tugas pertama di Padang naik kapal, anjing kesayangan anaknya itu, si Sapo, jatuh ke laut. Dia loncat hanya untuk mengangkat anjing itu.
Yang kedua, dia tahu apa yang harus dia lakukan kalau ketidakadilan itu terjadi. Yang ketiga dia pandai menulis.
Kata Mereka Tentang Multatuli Foto: Basith Subastian/kumparan
Nah, sebenarnya soal strategi gerakan—kalau ngomong dalam konteks gerakan—Multatuli itu sudah melakukannya. Kalau baca di bab terakhir, Bab XX, dia memberikan pendidikan bagaimana cara seseorang kalau mau memberontak. Mulai dari menyiapkan pasukan, kemudian bikin yel-yel yang bagus.
‘Kalau tidak terdidik, saya akan siapkan kelewang buat mereka. Kalau tidak sanggup juga, saya akan terjemahkan buku-buku saya ke bahasa yang saya kuasai dan bahasa-bahasa yang akan saya kuasai dan pelajari.’
Tapi kalau ngomong Multatuli, emang bahasa dia bukan pada sastra umumnya pada masa itu. Kemudian yang kedua, dia mampu menghadirkan karya sastra yang bisa bicara banyak atau polifonik.
Ilustrasi Lipsus kumparan: Multatuli sang Pembunuh Kolonialisme. Foto: Herun Ricky/kumparan
Jadi ada tiga pencerita di novel Max Havelaar itu. Pertama Batavus Droogstoppel, seorang makelar kopi yang ingin menulis tentang kopi. Dia seorang makelar yang mengambil keuntungan dari perdagangan. Dia seperti kudis yang menumpang di kulit. Tipe-tipe makelar itu.
Mereka tidak tahu apa-apa. Tidak tahu Hindia Belanda, kemiskinan, kelaparan, dan sebagainya. Yang penting perusahaan saya, kopi saya di Amsterdam laku, kaya raya, seperti itu.
Batavus Droogstoppel meminta anak buahnya si Stern, pemuda Jerman yang lagi ada di Belanda menulis buku tentang kopi. Tapi Stern malah menemukan karya-karya dari temannya si Batavus Droogstoppel, Sjaalman—laki-laki yang bersyal—sebagai novelis dalam buku Multatuli, miskin, pecatan.
Dia enggak bisa beli mantel, belinya syal doang di musim dingin. Kerjaannya ngurusin buku. "Aku punya buku nih, terbitin dong,” misalnya. Kelayapan gak jelas, rumahnya di ruko, di depannya toko kelontongan. Istrinya aneh, ngomong kasar, anak-anaknya juga kasar. Stern berpikir, ini puisinya (Sjaalman) bagus-bagus, karyanya bagus-bagus. Dia disuruh nulis tentang kopi, malah nyisipin cerita Multatuli.
Patung Douwes Dekker di Museum Multatuli. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Mulai masuk ke Bab V Max Havelaar. Datang dari Serang lewat Pandeglang ke Lebak. sebagai asisten residen baru. Terus pada akhirnya di Bab XX, Multatuli sendiri sebagai pencerita mengambil alih tokoh utama.
"Ya, saya Multatuli mengambil alih pena. Saya tidak butuh kamu Droogstoppel. Mati sana, masuk saja ke dalam lumpur. Saya juga terima kasih kepada Stern karena sudah belajar bahasa Belanda dengan baik. Sekarang waktunya saya yang bicara."
Subagio Sastrowardoyo mengatakan jalinan cerita Multatuli itu berbingkai.Jadi ada lapis pertama, lapis kedua, lapis ketiga sampai titik tengahnya itu ya ada di kisah Saidjah Adinda di Bab XXVII. Kisah tentang bagaimana masyarakat yang dihisap oleh kolonialisme. Sehingga sampai ke hal-hal yang paling mendasar yaitu keluarga, hancur. Kerbau sampai percintaan Saidjah dan Adinda tercerai-berai oleh kolonialisme.
Berbagai terjemahan cerita Saidjah Adinda dalam novel Max Havelaar. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Tahun 2010, ketika peringatan 150 tahun Max Havelaar, ada seminar besar-besaran tentang Multatuli Bicara Emansipasi di Amsterdam. Karena di buku Max Havelaar, tokoh Tine nongol. Sebagai seorang perempuan, istri, dia menjadi pahlawati.
Dalam Max Havelaar itu istrinya yang mengatakan, 'Syukurlah, silakan selamat kamu sekarang menjadi diri kamu sendiri.' Ketika itu Max Havelaar mengatakan ia berniat keluar dari pekerjaan daripada harus terus menerus melihat ketidakadilan.
Sebagai sebuah karya sastra, Multatuli mendobrak tabu pada masa itu. Makanya dinobatkan sebagai sastrawan sepanjang masa, 42 orang terbesar Belanda sepanjang masa, karyanya diterjemahkan ke 46 bahasa d dunia. Sampai sekarang masih cetak ulang terus, dikaji terus.