news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kopi Darat Trump dan Jong-un: Lawatan untuk Perdamaian

28 Maret 2018 16:15 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mao Zedong saat bertemu dengan Richard Nixon (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Mao Zedong saat bertemu dengan Richard Nixon (Foto: AFP)
ADVERTISEMENT
Berikut adalah cerita pertama dari seri Menyambut Kopi Darat Donald Trump & Kim Jong-un. Dua cerita selanjutnya ialah Menyambut Kopi Darat Trump dan Jong-un: Berdamai dengan Ingatan dan Kopi Darat Trump dan Jong-un: Momen Menuju Sejarah.
ADVERTISEMENT
***
Februari 1972 “A Journey for Peace”
“Jika ada postscript yang nantinya akan ditulis soal perjalanan ini, aku harap tulisan tersebut sama dengan apa yang tertulis di pelat yang ditinggalkan para astronot kita saat mendarat di bulan: ‘Kami datang dengan perdamaian untuk seluruh umat manusia’,” kata Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon, di halaman Gedung Putih, optimistis.
“[It is] a journey for peace,” janjinya. Perjalanan untuk perdamaian. Nixon, mantan pemain poker saat mengabdi di US Navy itu, memang sudah biasa berucap muluk-muluk.
Sesaat kemudian, ia dan First Lady Pat Nixon terbang menggunakan helikopter ke Pangkalan Angkatan Udara Andrew. Keduanya akan pelesiran selama satu minggu penuh. Bukan pelesiran biasa, tentu saja, karena mereka akan menuju China --negara pos komunis terbesar kedua setelah Uni Soviet.
ADVERTISEMENT
Padahal, di balik layar, rencana kunjungan Nixon tak seterang-benderang itu. Nixon terbang tanpa tahu apakah ia bisa menemui Ketua Partai Komunis China Mao Zedong atau tidak. Yang ia tahu, semua detail lawatannya sudah disiapkan oleh sang Penasihat Keamanan, Henry Kissinger.
Kekhawatiran Nixon tak bisa bertemu dengan Mao memang bisa dimaklumi. Selama ini, Nixon dikenal sebagai sosok anti-komunis kelas satu di perpolitikan AS. Bahkan, ketika Nixon menjabat wakil presiden AS tahun 1960, ia menuliskan tuduhan yang amat serius pada kaum komunis macam China dan Soviet: “Komunisme menolak Ketuhanan, memperbudak manusia, dan menghancurkan keadilan.”
Ketua Partai Komunis China, Mao Zedong (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Partai Komunis China, Mao Zedong (Foto: AFP)
Masalahnya, dibanding Nixon, Mao adalah sosok yang tak kalah keras. Ia satu dari lima sosok komunis (Marx, Lenin, Deng Xiaoping, dan akhir-akhir ini Xi Jinping) yang pemikirannya diwajibkan oleh konstitusi agar diamalkan oleh seluruh masyarakat China.
ADVERTISEMENT
Mao juga dikenal sebagai sosok yang sangat anti-kapitalis dan anti pula pada elemen tradisional. Ini ia buktikan ketika melancarkan Revolusi Kebudayaan, yang idealnya menghapus pengaruh kapitalis dan elemen tradisional dari masyarakat China.
Selain alasan tersebut, kekhawatiran Nixon tak dapat menemui Mao juga diberatkan dengan pengasingan diri sang diktator dari hingar-bingar perhatian ibu kota China. Meski Mao secara de facto masih berstatus penguasa politik Negara Tirai Bambu, tapi sejak kebijakan Great Leap Forward (Lompatan Jauh ke Depan)-nya terbukti gagal dengan 40 juta orang mati hingga 1961, ia perlahan dipinggirkan dari kekuasaan China.
Dilansir dari Biography, Mao baru bisa kembali ke panggung utama politik China pada 1966. Lewat sebuah seremoni simbolik dengan berenang di Sungai Yangtze, Mao yang saat itu berusia 73 tahun meluncurkan Revolusi Kebudayaan yang sebenarnya punya tujuan menyingkirkan lawan-lawan politiknya dengan dalih “borjuis kapitalis”.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, Revolusi Kebudayaan yang digagas Mao berlangsung kacau. Menuju akhir dekade 60-an, seperti diberitakan The New York Times pertengahan Juni 1976, Mao lebih memilih mengeksklusikan diri di vila tempat tinggalnya di Peking (kini Beijing).
Semua itu membuat Nixon sedikit cemas tak bisa bertemu Mao Zedong. Walaupun pelan-pelan peran Mao sudah terkikis, tetap saja tak terbayangkan betapa malunya pemerintahan Nixon jika kunjungannya ke China bertepuk sebelah tangan.
Praktis, Nixon berangkat hanya dengan modal kepercayaan penuh pada penasihat keamanannya yang punya reputasi tak tertandingi, Kissinger. Ia tak tahu bahwa Mao pun membutuhkan pertemuan dengannya untuk menegaskan betapa penting diri dia di palagan politik China.
Zhou Enlai dan Henry Kissinger (Foto: Henry Kissinger Archives/ Library of Congress)
zoom-in-whitePerbesar
Zhou Enlai dan Henry Kissinger (Foto: Henry Kissinger Archives/ Library of Congress)
Setapak untuk Nixon ke China sebetulnya sudah dibangun jauh-jauh hari sebelumnya. Sejak tim nasional tenis meja AS berkunjung ke China pada April 1971, terjadi berbagai pertemuan rahasia antarkedua belah pihak yang membahas kemungkinan pertemuan dua kepala negara, termasuk ketika Kissinger mampir sebentar di Juli 1971 saat ia selesai melawat ke Pakistan.
ADVERTISEMENT
“Tak pernah selama ini di sepanjang sejarah, olahraga digunakan dengan amat efektif sebagai alat diplomasi internasional,” kata Perdana Menteri China, Zhou Enlai, menyebut keberhasilan Ping-Pong Diplomacy, seperti dikutip dari The New York Times.
Hasilnya, pertemuan yang didamba-dambakan berlangsung juga. Bahkan, begitu sampai di Beijing, Mao langsung mengundang presiden AS itu untuk datang ke kediamannya. Pertemuan kurang lebih satu jam berlangsung, membuka babak baru hubungan dua pemimpin dan dua negara tersebut.
Menjadi benar apa yang dibilang Kissinger kepada Nixon sebelum pertemuannya dengan Mao terwujud, “Dalam jangka panjang, hasil-hasil non-material kunjungan Anda ke China ini akan lebih penting ketimbang hasil-hasil materialnya.”
ADVERTISEMENT
Maka tak heran apabila kunjungan Nixon ke China ini dinilai sebagai kesuksesan diplomasi internasional AS yang cukup penting, pun dengan Ping-Pong Diplomacy yang menjadi gimmick-nya.
Ibaratnya, kunjungan Nixon ini menjadi batu pertama normalisasi hubungan kedua negara yang putus sejak akhir dekade 40-an. Di Perang Dingin yang serba tak menentu, keberhasilan AS meredam perselisihan dengan China punya arti strategis yang amat penting: menahan laju China di kawasan Asia Tenggara (lewat Vietnam) dan Asia Timur (lewat Korea Utara).
Nixon, meski hancur lebur lewat Watergate dan keputusan abal-abalnya di Perang Vietnam, sukses besar di China.
Presiden Nixon yang terlibat skandal Watergate. (Foto: Associated Press)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Nixon yang terlibat skandal Watergate. (Foto: Associated Press)
Maret 2018 “We Will Prevent War Whatever It Takes”
Maka, di luar kekhawatiran akan proses berlangsung dan kebingungan atas datangnya kabar yang tiba-tiba, rencana pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Agung Korea Utara Kim Jong-un juga dilihat sebagai sebuah kesempatan emas.
ADVERTISEMENT
Lihat saja bagaimana Chung Eui-yong, Penasihat Keamanan Nasional Korea Selatan, mengumumkan rencana pertemuan antara Jong-un dan Trump itu, Jumat (9/3).
“Bersama Presiden Trump, kami semua optimis melanjutkan usaha diplomasi untuk mencapai kemungkinan solusi damai,” ucap Eui-yong di Gedung Putih usai bertemu dengan Trump.
Rencana pertemuan Trump dan Jong-un memang mengejutkan. Sebelumnya, hubungan antarkeduanya hanya berisi saling ancam dan tukar ejekan.
Trump menyebut Jong-un sebagai “Little Rocket Man” dari “depleted and food starved regime”. Sementara, Jong-un balas menyebut Trump sebagai “dotard”, yang dalam penggunaan di bahasa Koreanya berarti “pemalas, tak berguna, dan sedikit edan”.
Maka, ketika tiba-tiba keduanya setuju untuk kopi darat --BAM!-- dunia terkencing-kencing mengajukan pertanyaan: bagaimana bisa?
Penasihat Keamanan Nasional Korsel Chung Eui-yong (Foto: Leah Millis/ REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Penasihat Keamanan Nasional Korsel Chung Eui-yong (Foto: Leah Millis/ REUTERS)
Adalah Moon Jae-in yang menjadi sosok utama rencana pertemuan ini.
ADVERTISEMENT
Sedari Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang 2018 hingga minggu lalu, berbagai langkah menyenang-nyenangkan AS dan Korut dilakukan justru oleh Korea Selatan.
Padahal, September 2017, Trump sempat menuduh Korsel telah melakukan “policy of appeasement”, meredakan tekanan pada Korut. Saat itu, AS sebagai aliansi sedang kencang-kencangnya menekan Korut dengan memunculkan kemungkinan melakukan serangan militer dan tambahan sanksi-sanksi ekonomi.
“Tidak ada yang boleh mengambil langkah-langkah militer di Semenanjung Korea tanpa persetujuan Korea Selatan,” kata Jae-in di akhir Agustus, mengecilkan kemungkinan serangan militer yang diajukan pemikir-pemikir keamanan AS, seperti dilansir The New York Times. “Kami akan mencegah perang, bagaimana pun caranya.”
Sementara, dari sudut pandang Korut, Korsel juga secara tradisional dianggap sebagai perpanjangan tangan musuh besar mereka, AS. Maka, tekanan untuk Korsel datang bertubi-tubi dari segala pihak.
ADVERTISEMENT
Jae-in tak gentar pada segala tekanan tersebut. Bagi Jae-in, yang dulunya bekerja sebagai pengacara HAM dan menjadi kepala staf kepresidenan di masa Roh Moo-Hyun sejak 2003 hingga 2008, perang adalah predikat terakhir yang bisa menyambungkan Korea Selatan dan Utara dalam satu kalimat.
Lagipula, Jae-in adalah salah satu otak di balik “Sunshine Policy” Korsel di zaman Moo-hyun. Kebijakan tersebut pada dasarnya bertujuan untuk menghindarkan perang antara Korsel dan Korut. Caranya dengan dialog, bantuan kemanusiaan, dan proyek ekonomi bersama.
Sayangnya, Sunshine Policy tersebut tak dilanjutkan oleh dua presiden setelah Moo-hyun. Keduanya konservatif dan hanya manggut-manggut saja pada politik isolasi Washington terhadap Korut. Namun, cara damai untuk tujuan damai tetap ada di benak Jae-in. Kini, saat ia sendiri menjadi presiden Korsel, segala cara ia lakukan agar tak ada satu biji pelor pun perlu diluncurkan.
Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in (Foto: John Sibley/REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in (Foto: John Sibley/REUTERS)
Yang dilakukan oleh Moon Jae-in adalah terus meninggi-ninggikan derajat dua “bocah” itu, Trump dan Jong-un.
ADVERTISEMENT
Kepada Trump, Jae-in terus bermanis-manis dengan berkali-kali berterima kasih kepada Trump untuk dukungan dan kebijakan jitu “maximum pressure and engagement”-nya yang berhasil membawa Jong-un ke meja negosiasi. Hal ini diulanginya lagi usai Trump menerima ajakan bertemu Jong-un.
“Kepemimpinan Presiden Trump, yang dengan amat rendah hati menerima undangan Ketua Kim, akan dirayakan oleh rakyat kedua Korea dan semua masyarakat cinta damai di seluruh dunia,” tutur Moon Jae-in, Jumat (9/3).
Sementara, pada Jong-un, upaya dimulai dengan menawarkan Korut agar ikut serta di Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang 2018. Tak sekadar ikut serta, Jae-in juga menjanjikan atlet Korut turun dalam satu regu bersama atlet Korsel di bawah satu bendera Korea, memberi kesempatan pada Korut memunculkan kemauan berdamai.
ADVERTISEMENT
Maka, saat Jong-un mengirim adik perempuannya Kim Yo-jong untuk menyaksikan kontingen Korea, Jae-in menyiapkan jamuan makan siang khusus. Tak kurang tiga jam Jae-in dan Yo-jong bersantap ria dan berbincang --meski Jae-in yang lebih banyak mengeluarkan suara sementara Yo-jong cuma tersenyum mengangguk-angguk.
Walau begitu, hasilnya langsung terasa. Layaknya usai dikunjungi saudara jauh, Jae-in gantian mengirimkan utusan yang paling ia percaya ke Korut untuk bertemu Jong-un sekadar berucap terima kasih. Keduanya adalah Chung Eui-yong dan dan Suh Hoon, Direktur Badan Intelijen Negara Korsel.
Tiba di Pyongyang, Senin (4/3), Eui-yong dan Suh Hoon diantar ke sebuah penginapan berfasilitas internet serta TV kabel internasional macam CNN. Untuk kalangan tamu luar negeri pun, hal ini termasuk langka.
ADVERTISEMENT
Keduanya tahu bahwa pada kunjungan tersebut, mereka akan bertemu tatap muka dengan Kim Jong-un. Yang mereka tak ketahui adalah waktu mereka akan menemui Sang Ketua. Bisa besok, lusa, bahkan sampai minggu setelahnya.
Betapa beruntung. Kejutan menyenangkan datang di sore hari. Kim Yong-chol, seorang jenderal Korut yang menangani hubungan antar-Korea, datang ke penginapan mereka dan berkata bahwa kedua utusan Jae-in itu akan bertemu Kim Jong-un malam itu juga.
Saat sebuah limosin hitam menjemput dan mengantar keduanya ke Azalea Hall di kantor pusat Partai Buruh Korea Utara yang jadi tempat kerja Kim Jong-un, Eui-yong dan Suh Hoon tahu bahwa mereka adalah orang Korsel pertama yang masuk ke kantor pusat partai penguasa Korut sejak Perang Korea, 70 tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Yang lebih tak terduga, Kim Jong-un dan Kim Yo-jong sudah menunggu kedua utusan Korsel tersebut di Azalea Hall. Pembicaraan keduanya dengan Jong-un pun tak dinyana-nyana berlangsung lancar. Bahkan, seperti yang dituliskan Peter Baker serta Choe Sang-hun dari The New York Times, baru beberapa kalimat keluar dari mulut Eui-yong dan Suh Hoon, Jong-un sudah memotong, “Aku tahu, aku memahami kalian.”
Kim Jong-un, sebagaimana diceritakan oleh dua utusan tersebut, ternyata merupakan sosok penguasa yang amat percaya diri. Jong-un juga mengikuti perkembangan media internasional, termasuk bagaimana dia dipersepsikan dunia. Malahan, Jong-un sempat bercanda soal rudal-rudal yang ia luncurkan.
“Aku minta maaf telah membuat Presiden Moon Jae-in harus menggelar pertemuan mendadak dengan Dewan Keamanan Nasional-nya di pagi buta karena peluncuran rudal kami,” kata Jong-un kepada dua utusan Jae-in.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, adalah satu kalimat yang memang ingin didengar kedua utusan itu dari mulut Jong-un sejak bertahun-tahun lalu: “Sekarang, dia (Presiden Jae-in) tak akan kehilangan waktu tidur pagi harinya lagi.”
Luar biasa. Karena setelah itu, Jong-un menawarkan banyak paket perdamaian untuk Korsel.
Satu, ia akan membuka sambungan telepon khusus langsung dengan Presiden Jae-in. “Kalau pembicaraan perdamaian di level pekerja kita macet dan mereka bertindak seperti bedebah sombong, Presiden Moon bisa langsung meneleponku,” janji Jong-un.
Dua, Jong-un mengajak Korsel melakukan pertemuan tingkat tinggi untuk membahas upaya damai lebih lanjut. Ketika utusan Korsel menawarkan Pyongyang, Seoul, dan Panmunjom lalu meminta Jong-un untuk memilih lokasi pertemuan tingkat tinggi itu, Jong-un memilih Panmunjom.
ADVERTISEMENT
Truce village of Panmunjom adalah sebuah desa di Provinsi Hwanhae, Korut. Desa yang menjadi salah satu zona demiliterisasi (DMZ) itu menjadi tempat ditandatanganinya perjanjian gencatan senjata kedua Korea saat perang dihentikan sementara pada 1953. Panmunjom juga kerap disebut sebagai Joint Security Area (JSA).
Tiga, komitmen denuklirisasi. Tahu bahwa ini tak hanya soal Korut dan Korsel, janji ketiga ini juga dibarengi tawaran Jong-un pada Trump agar kedua pemimpin bertemu secara langsung.
Sisanya adalah detik-detik menuju sejarah.
Chung Eui-yong dan Donald Trump (Foto: The Presidential Blue House-Yonhap via REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Chung Eui-yong dan Donald Trump (Foto: The Presidential Blue House-Yonhap via REUTERS)
Sekembalinya ke Korsel dari pertemuan selama empat jam itu, Eui-yong dan Suh Hoon langsung melapor presiden. Oleh Moon Jae-in, Penasihat Keamanan dan Direktur Intelijen Korsel langsung diterbangkan ke AS agar pesan dari Korut cepat disampaikan.
ADVERTISEMENT
Keduanya sampai di Washinton, Kamis (8/3) pagi. Siang harinya, mereka telah berada di Gedung Putih, bertemu dengan Penasihat Keamanan Nasional Jenderal McMaster dan Wakil Direktur Gina Haspel (kini telah jadi direktur) secara terpisah.
Setelah itu, keempatnya bertemu dengan Menteri Pertahanan James Mattis, Kepala Staf Angkatan Bersenjata AS Joseph Dunford, Direktur Intelijen Nasional Dan Coats, Kepala Staf Gedung Putih, John Kelly, dan Wakil Presiden Mike Pence guna membahas hasil pertemuan dengan pihak Korut.
Seharusnya, hari itu delegasi Korsel hanya akan bertemu para pejabat keamanan AS. Mereka berdua baru dijadwalkan bertemu Presiden Trump pada hari Jumat, atau sehari setelahnya.
Tentu saja ini dimaksudkan agar para batur-batur Trump mampu memberikan jawaban dan respons tepat terkait hasil pertemuan Jong-un dan dua utusan Korsel. Bagaimanapun, pesan negara dengan kemampuan nuklir macam Korut tak bisa disikapi begitu saja.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, kita sedang berbicara soal Trump.
Donald Trump (Foto: Reuters/Jonathan Ernst)
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump (Foto: Reuters/Jonathan Ernst)
Mengetahui dua utusan dari Korsel tengah bertemu dengan para pejabatnya, Trump bertindak spontan. Ia langsung mengundang mereka ke ruangannya di Oval Office, tanpa memenuhi jadwal yang sudah ditentukan. Kembali, dua duta Korsel itu menjelaskan potensi damai dan permintaan jumpa dari Kim Jong-un.
Ketika menemui dua utusan tersebut, sebetulnya Trump sudah mengetahui soal ajakan bertemu dari Kim Jong-un dari badan intelijen mereka. Pada Jumat (9/3) pagi, sebelum dua utusan dari Korsel sampai di Gedung Putih, Trump sudah berbicara dengan (kini mantan) Menteri Luar Negeri Rex W. Tillerson melalui telepon.
Trump dan Tillerson membicarakan kemungkinan apa saja pesan dari Korea Utara. Pembicaraan itu juga menyinggung langkah-langkah yang mungkin diambil apabila Jong-un mengundang Trump untuk bertemu. Yang tak diketahui oleh Tillerson adalah kenyataan bahwa Trump akan menerima undangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Tak disangka semua orang, termasuk dua utusan Korsel itu, Trump sekonyong-konyong menerima ajakan bertemu dari Kim Jong-un. Saking bersemangatnya, Trump bahkan meminta pertemuan dilaksanakan bulan April.
Terkejut dengan sikap Trump yang terburu-buru, dua utusan Korsel merekomendasikan agar pertemuan dilakukan usai pertemuan Korsel dan Korut dilaksanakan terlebih dahulu. Dus, jadilah pertemuan Jong-un dan Trump dijadwalkan terjadi akhir Mei.
Trump semangat bukan kepalang. Ia menyuruh dua utusan langsung mengumumkan rencana pertemuan sore itu juga di Gedung Putih. Eui-yong dan Suh Hoon yang tak menduga progres diplomasi mereka akan berkembang secepat itu, langsung kelabakan mencari persetujuan Presiden Moon Jae-in dan berbincang dengan Jenderal McMaster untuk menyusun redaksi pengumuman.
Tak hanya sampai di situ, melalui stafnya, Trump memberi kabar pada pers bahwa malam nanti Korsel akan membawakan pengumuman penting.
ADVERTISEMENT
Di antara semua kesibukan itu, pejabat-pejabat AS yang turut serta dalam pertemuan Trump dan dua duta Korsel tak bisa melakukan apapun untuk mencegah gegabahnya presiden mereka. Dialog langsung dengan pemimpin negara musuh memang mungkin sangat bermanfaat. Akan tetapi, terlalu banyak hal, tradisi, juga mekanisme diplomasi yang diterabas kali ini.
Presiden Korsel Moon Jae-in dan Donald Trump (Foto: REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Korsel Moon Jae-in dan Donald Trump (Foto: REUTERS)
Beberapa saat usai Penasihat Keamanan Nasional Korsel Eui-yong memberi pengumuman di Gedung Putih, Trump secara personal mengkonfirmasi rencana itu lewat akun Twitter-nya.
Nada pernyataan Trump pada publik soal rencana pertemuannya dengan Jong-un hampir sama dengan yang dikeluarkan Nixon saat hendak berangkat ke China: muluk-muluk. Seakan-akan, keputusan pertemuan dua kepala negara yang secara teknis masih berperang itu adalah buah dari kehebatan dan kebijaksanaannya.
ADVERTISEMENT
Padahal, bertemu dengan presiden Amerika Serikat adalah tujuan diplomasi nomor satu pemerintah Korea Utara sejak akhir dekade 90-an. Trump tak tahu, bahwa secara diplomasi, pertemuan Jong-un dan Trump adalah kemenangan bagi rezim keluarga Kim, bahkan sebelum pertemuan itu dimulai.
Donald Trump dan Kim Jong-un (Foto: Reuters dan AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump dan Kim Jong-un (Foto: Reuters dan AFP)
====================
Ini adalah cerita pertama dari seri Menyambut Kopi Darat Donald Trump & Kim Jong-un. Cerita kedua berjudul Menyambut Kopi Darat Trump dan Jong-un: Berdamai dengan Ingatan dan cerita ketiga berjudul Kopi Darat Trump dan Jong-un: Momen Menuju Sejarah.