KPK Nilai Tingginya Biaya Pilkada Rawan Disusupi Donatur Nakal

23 September 2019 15:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi korupsi Foto: Thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi Foto: Thinkstock
ADVERTISEMENT
KPK memberikan peringatan ke KPU menjelang pelaksanaan Pilkada Serentak pada 23 September 2020. Tingginya biaya pilkada seringkali berdampak pada perilaku peserta pilkada, yang berharap mendapatkan bantuan modal kampanye dari pihak luar.
ADVERTISEMENT
"KPK punya tiga survei hasil pilkada serentak, kami lakukan survei dalam bentuk telepon kepada pasangan yang kalah. Jadi kami survei apa yang bisa kami pelajari dari tiga survei. Kita dapatkan sekitar 80 persen calon mengandalkan donatur untuk kampanye. Jadi biaya pilkada mahal terkonfirmasi," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan usai Rapat Konsolidasi Nasional Pilkada Serentak 2020 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Senin (23/9).
Pahala menjelaskan, seringkali donatur yang sebagian besar berasal dari kalangan pengusaha meminta balas budi kepada peserta terpilih.
"Dari 80 persen (donatur) ini, hampir 53 persen meminta fee, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Jadi kalau saya gambarkan, ada beberapa jenis yang mereka minta bantuan kepada calon jika terpilih nanti. Mulai dalam perizinan, pengadaan barang dan jasa, kemanan dalam menjalankan bisnis, hingga permintaan jabatan," jelas Pahala.
Pahala Nainggolan Foto: Puti Cinintya Arie Safitri/kumparan
Mengenai kasus fee perizinan, berdasarkan kasus yang ditangani KPK, semua sektor mulai tingkat provinsi hingga kabupaten/kota bermasalah. Jika dilihat, banyak kepada daerah yang harus berurusan dengan KPK karena masalah korupsi perizinan.
ADVERTISEMENT
"Ini menempati ranking pertama, bahkan di 2018 hampir 95 persen, jadi mereka (pengusaha) inginnya perizinan lebih mudah. Kalau di wali kota biasanya perizinan bangunan, di kabupaten biasanya perkebunan, yang sekarang masih ada rekomendasi dari kabupaten/kota. Kalau di provinsi pertambangan," tuturnya.
Pahala mengatakan, KPK juga banyak menangani kasus korupsi dari pengadaan barang dan jasa. Sebab, banyak yang bermasalah dalam sistem tender.
"Kita lihat di lapangan dengan timnya Mendagri, ya mengakuilah ini punya bupati, ini punya DPRD. Dipesan ini jalan semua elektronik dengan baik, tapi itu penjatahannya sudah di depan. Jadi itu yang kita temui," ujar dia.
Ketua KPU dan Komisioner KPU dalam Rapat Konsolidasi Nasional Pilkada Serentak 2020. Foto: Fadjar Hadi/kumparan
Terkait keamanan dalam menjalankan bisnis, KPK menyebut biasanya para donatur menggunakan modus menyumbangkan sebagian lahannya untuk kepala daerah terpilih. Pemberian ini dianggap sebagai tutup mulut.
ADVERTISEMENT
"Kita bacanya kalau saya punya kebun 20 ribu hektare, saya nanam 30 ribu ini bisa diributin. Oleh karena itu, dia bilang 'ya kita nyumbanglah pilkada supaya dia enggak diributin yang 10 ribu hektar kelebihannya'," bebernya.
Dan terakhir mengenai permintaan jabatan, Pahala mengungkapkan pihaknya banyak menemukan oknum pejabat pemerintahan yang justru ikut menjadi tim sukses (timses). Dan jika calon yang didukung menang, mereka juga akan meminta 'jatah' jabatan untuk periode berikutnya.
"Ini menerangkan juga kenapa Kepala Dinas PU, Pendidikan, Kesehatan, itu jadi tim sukses, antara lain ini. Jadi mereka men-generate sumbangan buat itu," pungkasnya.