Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Jika area Monumen Nasional dipenuhi oleh warga berpakaian serba putih, Minggu (2/12), lain halnya di Taman Balekambang, Solo. Sejak pukul 09.00 pagi, taman ramai oleh suara kicau burung. Warna-warni pakaian peserta, bercampur warna burung kuning-hijau-merah dalam sangkar menyemarakkan suasana taman.
ADVERTISEMENT
Hari itu, tengah berlangsung lomba untuk burung lovebird bertajuk Gebyar Mutasi. Sekitar seribuan lovebird berlomba memamerkan keindahan warna tubuh atau kekek (suara burung) yang dimiliki.
Lomba ini, menurut Komunitas Lovebird Indonesia (KLI), bertujuan untuk membangkitkan kembali gairah dunia lovebird.
“Mengangkat kembali, baik dari sisi harga maupun peternak-peternak, supaya lebih termotivasi dalam beternak dengan baik dan benar,” ujar Om Ben, Presiden KLI Pusat, ketika berbincang dengan kumparan di lokasi lomba.
Lovebird adalah sejenis burung beo yang berukuran lebih kecil. Buku ‘Lovebird: Sukses Menangkarkan dan Memelihara’ yang ditulis Biantono Handono, Setiawan Gunarso, dan Rusli Turut, menyebutkan burung asal benua Afrika ini bukan termasuk hewan yang bermigrasi alami. Kehadiran mereka ke berbagai belahan dunia karena tangan manusia.
ADVERTISEMENT
Awalnya burung ini merambah Eropa. Banyak warga benua biru itu menggemari lovebird karena perilaku unik dan kemolekan warnanya.
Soal perilaku, burung ini dianggap sebagai lambang cinta. Mereka hidup berpasangan dan memiliki kebiasaan saling melolohkan―menyuapi melalui tembolok―makanan ke pasangannya.
Pasangan lovebird juga memiliki kebiasaan merawat anak secara bersama-sama. Sang jantan melolohkan makanan ke betinanya, dilanjutkan ke anak-anak mereka.
Maka, nama lovebird mereka sandang karena perilaku cinta terhadap pasangan ini.
“Kedekatan dan kemesraan yang dipertontonkan sepasang lovebird menginspirasikan orang Yunani kuno menamainya Agapornis. Artinya, orang lagi memadu cinta,” tulis buku itu.
Burung bermarga Agarponis ini memiliki sembilan jenis spesies berbeda. Delapan di antaranya berasal dari Afrika, dan hanya satu spesies yang berasal dari Madagaskar.
ADVERTISEMENT
“Jadi, sembilan spesies itu personatus, fischeri, roseicollis, lillianae, nigrigenis, canus, swindernianus, taranta, dan yang terakhir pullarius,” kata Yunan Helmy, Wakil Ketua KLI.
Kesembilan jenis tersebut berbeda warna bulu. Namun secara keseluruhan, lovebird yang berukuran tinggi 13-17 sentimeter ini didominasi warna hijau muda dedaunan segar.
Spesies personatus memiliki warna kuning di bagian dada yang semakin kecokelatan hingga kepala, sedangkan ekornya berwarna biru. Jenis fischeri yang paling mendominasi pasaran di Indonesia, memiliki warna kuning dari leher, lalu membentuk gradasi warna oranye hingga merah ke bagian kepala.
Jenis lilianae yang berasal dari Malawi, serupa fischeri, berwarna oranye kemerahan di bagian kepala saja, sementara tubuhnya hijau muda menyala. Itu tak jauh berbeda dengan jenis pullarius, taranta, dan roseicollis dengan sedikit detail perbedaan.
ADVERTISEMENT
Sementara canus dan swindernianus tampak lebih pucat dengan perpaduan hijau muda dan abu lesi atau cokelat di area leher. Jenis ini di Indonesia cukup jarang ditemui atau dimiliki oleh para pecinta lovebird yang lebih tertarik dengan fischeri karena memiliki perpaduan warna yang lebih terang menyala.
Keindahan warna menjadi salah satu faktor yang biasa dikontestasikan di lomba-lomba lovebird. Yunan yang merupakan koordinator pusat beauty contest lovebird menuturkan, “Kriteria dinilai mulai dari kepala, dada, punggung, warna, termasuk tingkah laku, postur, body, juga harmonisasi kesemuanya yang membuat burung tampak cantik dan indah sesuai spesiesnya.”
Semakin unik warna si burung, akan semakin mahal harganya. Contohnya ialah lovebird milik Sigit WMP, yang dibeli ketika berusia 4 bulan seharga Rp 3,5 juta pada 2012. Burung itu kemudian diberi mana Kusumo . Ia kini sudah mati dan menjadi legenda di kalangan komunitas pecinta burung Kicau Mania.
ADVERTISEMENT
“Dulu harga standar itu paling murah Rp 800-900 ribu. Kalau kepala emas hampir Rp 2,5 juta. Kusumo lebih mahal karena kakinya pink. Itu silangan sama lutino. Masuk warna baru itu ada nilai lebihnya,” tutur Sigit di kediamannya, Klaten, Jawa Tengah, Sabtu (1/12).
Bukan hanya warna cantiknya yang membuat Kusumo melegenda, melainkan durasi dan staminanya ngekek.
“Dulu pernah ngobrol, ‘Ini belum ada yang bisa ngalahin, kenapa?’ (Dijawab), ‘Karena durasi, power-nya, ketenangannya, jedanya paling lama 5 detik, dan kestabilannya itu nggak ada yang nyaingi,’” ujar Sigit.
Kemampuan ngekek lovebird, yang dikenal setia pada satu pasangan dan mesra ini, juga menjadi daya tarik utama. Rata-rata lovebird hanya mampu berkicau kurang dari satu menit, kecuali dilatih untuk menjadi petarung bunyi yang tidak mau kalah dengan lawannya. Istilahnya, korslet alias bocor.
ADVERTISEMENT
“Bocor itu ibarate burung yang enggak ada udelnya. Bunyi tanpa capek. Bunyiiiiii terus,” ujar Harvi Papsyoko, salah satu pecinta Lovebird kepada kumparan di Kaliurang, Yogya.
Kusumo, semasa hidupnya, mampu dengan tenang dan stabil ngekek hingga empat menit. Ia, dari satu lomba ke lomba lainnya, menunjukkan kemampuan mengagumkan dan telah memenangi lebih dari 350 kontes dalam kurun waktu empat tahun.
Selain itu, Kusumo mampu menirukan suara burung atau bunyi lain. Banyaknya suara yang bisa ditiru biasa disebut dengan isian.
“Isian Kusumo paling lengkap. Dia sendiri nyimpen sekitar 26 suara―belalang, jalak, macem-macem,” kata Sigit mengenang burung kesayangannya itu.
Bagi para pecinta lovebird, tak heran Kusumo sempat ditawar hingga Rp 2 miliar. Sebab keindahan dan kemampuannya hingga kini belum tertandingi.
ADVERTISEMENT
“Kusumo itu bisa menarik perhatian banyak orang. Boleh percaya, boleh tidak, Kusumo itu fansnya ribuan, mungkin dari seluruh Indonesia,” ucap Harvi.
Tapi kini harga burung yang diperkirakan masuk ke Indonesia pada 1995 itu mengalami penurunan. Tahun 1995 itu, lovebird masuk ke Indonesia sebaga respons atas tingginya jumlah permintaan terhadap burung peliharaan, sementara burung asli Indonesia semisal murai atau jalak suren, kian langka dan sulit diperoleh.
Lovebird kemudian hadir melalui jalur impor. Selain unggul dari segi warna dan kekeknya, karakter lovebird juga mudah dipelihara dan diternak. Di alam liar, burung ini biasanya hidup berkoloni dan berpasangan. Tapi di alam bisnis, ia harus hidup sendiri dan bersetia kepada pemiliknya.
ADVERTISEMENT
Harga lovebird kini sudah lebih murah. “Paling rendah sekarang untuk yang kekekan paut (di bawah lima bulan) seharga Rp 350 ribu sampai Rp 650 ribu. Kalau warna, Rp 1,5 juta sampai Rp 15 juta-an,” ujar Apri, salah satu peternak lovebird dari Yogya.
Penurunan harga ini, menurut Om Ben, disebabkan oleh kian banyaknya jumlah peternak lovebird, padahal pangsa pasarnya cenderung tak berkembang.
“Kalau dulu mungkin yang beternak lovebird eksotik seperti fischeri hanya 20 orang, sekarang mungkin 200 atau 300 orang. Sementara pembelinya masih seperti dulu,” tutur Om Ben.
Persoalan lain adalah kualitas lovebird yang dihasilkan dari ternak itu, tidak cukup mumpuni untuk mengikuti kontes-kontes kecantikan atau kicauan. Itu sebabnya KLI mendorong agar para peternak lovebird mampu menghasilkan kualitas burung yang baik.
ADVERTISEMENT
Lovebird yang memiliki kualitas beauty contest sudah tentu tidak mengalami penurunan harga, justru sebaliknya cenderung meningkat.
“Kami dorong peternak di Indonesia untuk mencetak burung-burung yang berkualitas beauty contest. Karena kalau kita berhasil mencetak itu, peluang eskpor juga terbuka lebar,” tutup Om Ben.
------------------------
Simak selengkapnya di Liputan Khusus kumparan: Setelah Lovebird Kusumo Mangkat