Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Suatu pagi di antara rentang waktu 1999 sampai awal 2000, Prabowo Subianto menjejakkan kaki di KBRI Singapura. Ia mengenakan pakaian lusuh sambil menenteng tas. Kepada petugas KBRI, mantan Danjen Kopassus itu mengaku sebagai kawan dekat duta besar yang bertugas di sana, Luhut Binsar Panjaitan.
Luhut ketika itu baru saja menyelesaikan sarapan. Sang Duta Besar buru-buru keluar untuk menemui tamu dadakan tersebut.
“Kok? Ngapain kamu ke sini?” kata Luhut sambil memandangi lelaki lusuh di hadapannya.
“Bang, aku dapat informasi Pak Cum sakit. Aku mau menengok, cuma paspor habis, enggak ada yang bisa memperpanjang,” jawab Prabowo.
Pak Cum adalah panggilan untuk Soemitro Djojohadikoesoemo, ayah Prabowo yang juga ekonom kenamaan Indonesia.
Masalahnya, usaha Prabowo untuk meminta perpanjangan paspor di KBRI Yordania—tempatnya menetap beberapa tahun belakangan, kandas. Itu sebabnya Prabowo terbang ke Singapura guna meminta bantuan Luhut, sahabatnya.
Begitu mendengar kabar ayah Prabowo sakit, Luhut langsung bersedia membantu Prabowo. Ia segera menelepon bagian konsuler KBRI Singapura.
“Ini ada Prabowo Subianto mau perpanjangan paspor, gimana?” tanya Luhut.
Di ujung telepon, petugas konsuler tak menyanggupi permintaan Luhut. Alasannya, ada perintah dari Jakarta agar tak menerbitkan paspor untuk Prabowo.
Jawaban si petugas membuat Luhut berang. “Heh, kamu tahu saya. Jabatan saya di sini apa?” ujar Luhut, ketus.
“Dubes,” jawab petugas konsuler itu.
“Dubes. Terus, Dubes apa?”
“Dubes Luar Biasa dan Berkuasa Penuh.’
“Nah, iya. Sudah, bikin (paspor untuk Prabowo)!”
Berbekal paspor dari “orang dalam” itulah akhirnya Prabowo pulang ke Indonesia pada 2 Januari 2000.
Bantuan Luhut bukan tanpa alasan. Ia dan Prabowo bersahabat karib sejak sama-sama dinas di Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang dulu masih bernama Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha).
Luhut, jebolan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) 1970, lebih senior dari Prabowo yang lulusan 1974. Tak heran Prabowo biasa memanggil Luhut dengan sebutan “Abang.”
Kisah itu diceritakan oleh Atmadji Sumarkidjo, Staf Khusus Menko Kemaritiman, kepada kumparan, Kamis (25/4). Ia berkata, “Kalau bukan karena Pak Luhut, barangkali dia (Prabowo) enggak bisa pulang. Banyak yang tidak tahu bahwa hubungan pribadi antara Pak Luhut dengan Pak Prabowo itu sudah terjalin entah berapa puluh tahun.”
Prabowo dan Luhut menjadi figur andalan tatkala Korps Baret Merah alias Kopassus mulai membenahi kemampuan antiteror. Luhut saat itu berpangkat mayor, sedangkan Prabowo masih kapten. Keduanya, menurut Sintong Panjaitan dalam biografinya yang berjudul Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, diminta Letjen Benny Moerdani—yang saat itu menjabat Asisten Intelijen—untuk menimba ilmu guna meningkatkan kemampuan antiteror Kopassandha.
Mayor Luhut dan Kapten Prabowo awalnya mengikuti latihan di Grenzschutzgruppe 9 (GSG-9), kesatuan antiteror di bawah Polisi Federal Jerman. Belajar di sana amat bergengsi. Namun, saat Prabowo dan Luhut tengah berlatih di Jerman itu, Prabowo mengalami musibah.
Dalam sebuah sesi menyeberang menggunakan tali, Prabowo gagal. Alhasil, menurut Atmadji, kaki Prabowo patah dan harus dioperasi. Namun, prosedur operasi membutuhkan persetujuan dari keluarga Prabowo. Saat itulah Luhut pasang badan, mengaku sebagai pihak keluarga dan menandatangani persetujuan tindakan bedah.
Setelah itu, Luhut kemudian mengabari Soemitro perihal kondisi putranya. Prabowo sempat diperintahkan pulang oleh Benny Moerdani, namun usul itu ditolak Luhut. Ia meminta Prabowo diberi kesempatan menyelesaikan pelatihan di GSG-9.
Selain belajar di Jerman, Luhut dan Prabowo dikirim ke beberapa negara lain. Mereka pernah mengenyam ilmu di United Kingdom Special Forces, Special Boat Service di bawah Angkatan Laut Inggris, satuan antiteror Groupe d’Intervention de la Gendarmerie Nationale (GIGN) di bawah Kepolisian Prancis, dan Satuan Antiteror Marinir Belanda.
Berikutnya, berbekal sederet pengalaman dari pasukan elite itu, Luhut mengusulkan pembentukan satuan antiteror dalam tubuh Kopassandha. Gagasan inilah yang menjadi cikal bakal Detasemen Khusus 81 Penanggulangan Teror atau Sat-81/Gultor Kopassus.
Saat satuan itu dibentuk, Mayor Luhut didapuk menjadi komandan, dengan Prabowo sebagai wakilnya. Di sinilah persahabatan Prabowo dan Luhut diuji, layaknya tak ada hubungan yang selamanya manis.
Suatu hari pada Maret 1983, Luhut yang tiba di kantor seperti biasa, dikagetkan oleh pasukan yang berada dalam status siaga. Luhut pun langsung menanyakan asal perintah siaga itu. “Ia mendapat jawaban, status siaga atas perintah wakilnya, Kapten Prabowo Subianto,” tulis Sintong Panjaitan dalam biografinya.
Instruksi Prabowo rupanya didasari dugaan adanya upaya kudeta yang dimotori Benny Moerdani terhadap Presiden Soeharto. Kala itu, Prabowo sedang dekat-dekatnya dengan Soeharto karena akan menikahi salah satu putri sang presiden, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto.
Maka Prabowo tak hanya menyiagakan pasukan, tapi juga merencanakan penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi ABRI. Ia juga berencana mengevakuasi Presiden Soeharto ke Markas Kopassandha di Cijantung, Jakarta Timur.
Prabowo bahkan mengintai dan melompati pagar rumah Wakil Komandan Kopassandha Brigjen Jasmin yang notabene atasannya di AD.
“Prabowo menuduh saya kurang setia kepada negara dan bangsa, sambil menuding-nudingkan telunjuknya ke arah wajah saya. Luhut juga ada di situ. Malahan Luhut yang menurunkan tangan Prabowo yang menuding-nuding ke wajah saya,” kata Jasmin seperti tertuang dalam buku Sintong.
Luhut memang mencium gelagat tak beres Prabowo. Ia segera memerintahkan pasukan Detasemen Khusus 81/Antiteror untuk kembali ke barak dan mengamankan persenjataan. Dia juga membantah kabar kudeta yang diendus Prabowo.
Saat itu, Luhut tak menjatuhkan sanksi kepada Prabowo meski tindakan sang wakil yang di luar komando bisa mengganggu keamanan nasional. Luhut hanya memberi dia cuti dua pekan. Hal itu dimaklumi perwira tinggi TNI lain, karena Prabowo dekat dengan Soeharto. Itu pula sebabnya Prabowo dianggap sampai berani melawan Jasmin.
“Apakah Prabowo berani bertindak demikian, seandainya ia bukan menantu Presiden Soeharto?” kata Sintong dalam bukunya.
Meski begitu, Luhut menduga saat itu Prabowo sedang stres berat. Dua hari kemudian, Luhut menghadap ayah Prabowo, Soemitro, guna menerangkan perihal cuti Prabowo. Soemitro bisa menerima penjelasan Luhut.
Insiden Maret 1983 itu menjadi awal keretakan hubungan Luhut dan Prabowo. Setelahnya, mereka berpisah jalan dengan berdinas di tempat berbeda. Karier militer Luhut tak semoncer Prabowo yang menduduki sejumlah posisi bergengsi di TNI AD.
Prabowo menjabat Komandan Jenderal Kopassus pada 1995-1998, dan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) pada 1998 meski hanya dua bulan. Kedua jabatan itu ialah posisi sentral di AD yang tak pernah diduduki Luhut dalam karier militernya.
Renggang sejak 1983, hubungan Luhut dan Prabowo akhirnya pulih pada 2000, kala Luhut mengulurkan tangan membantu Prabowo memperpanjang paspornya di KBRI Singapura. Maka, dimulailah babak baru kehangatan antara abang-adik purnawirawan itu.
Sekembalinya ke Indonesia, Prabowo meniti hidup sebagai pengusaha. Hal serupa dilakukan Luhut.
Suatu ketika, Luhut mendapat peluang mengambil alih PT Kiani Kertas yang hancur lebur karena krisis ekonomi 1997. Syaratnya, dia harus membayar utang Kiani kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebesar US$ 55 juta dolar. Padahal Luhut baru purnatugas di ABRI dan tak punya uang sebanyak itu. Akhirnya, Luhut mengajak Prabowo yang punya lebih banyak dana segar dari usaha keluarganya.
Keduanya pun sepakat menjadi mitra bisnis untuk mengakuisisi Kiani. Prabowo kemudian menjabat direktur utama dan Luhut menjadi komisaris di perusahaan itu. Tapi di kemudian hari, kongsi keduanya pecah. Gara-garanya Luhut tak setuju dengan keputusan bisnis Prabowo dalam mengelola Kiani.
“Bowo ini taruh orang-orang yang salah,” gerutu Luhut. Ia lalu meninggalkan Kiani dan mendirikan perusahaannya sendiri, PT Toba Sejahtra.
Meski demikian, bukan berarti Luhut putus hubungan dengan Prabowo. Mereka masih sesekali berinteraksi ketika sama-sama berkiprah di Partai Golkar. Keduanya baru kembali berjarak saat Prabowo mendirikan Partai Gerindra pada 6 Februari 2008.
Pada Pilkada DKI Jakarta 2012, Luhut dan Prabowo bekerja sama memenangkan Jokowi-Ahok meski berbeda partai. Namun kemudian, jurang politik keduanya terentang di Pilpres 2014. Luhut terang-terangan mendukung Jokowi-Jusuf Kalla yang menjadi lawan Prabowo-Hatta Rajasa.
Di luar urusan politik, relasi Luhut dan Prabowo terus terjalin. Luhut kerap mengunjungi ayah Prabowo, Soemitro, sebelum wafat pada 9 Maret 2001.
Luhut dan Prabowo juga sering makan bersama di restoran Jepang, Sumire, di Grand Hyatt Jakarta. Pada satu santap siang keduanya, menurut Atmadji, Prabowo berusaha membujuk Luhut untuk mendukungnya.
“Bang, kalau dukung saya, nanti mau jadi menteri apa, saya kasih deh.”
Tapi Luhut tak mau. “Ah, enggak Wo. Saya mau dukung Jokowi saja.”
Kedekatan Luhut dan Prabowo menjadi kunci penting bagi Jokowi untuk meredam ketegangan pasca-Pemilu 2014. Saat itu, usai hasil hitung cepat memenangkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, Prabowo mengklaim kemenangan—persis yang terjadi saat ini.
Klaim Prabowo itu memicu eskalasi politik. Luhut kemudian mengajak Prabowo makan di Sumire. “Ya sudahlah kalau hasilnya begitu. Kan masih bisa ajukan ke MK. Enggak usah marah-marah begitu, buang-buang energi,” kata Luhut kepada Prabowo kala itu, seperti diceritakan Atmadji.
Luhut kemudian diangkat menjadi Kepala Kantor Staf Presiden begitu Jokowi resmi menjabat presiden. Tugas Luhut di lembaga baru itu ialah mengurusi hal-hal detail terkait kebijakan.
Beberapa bulan berikutnya, Juli 2015, Luhut naik menjadi Menkopolhukam. Namun setahun berselang, Luhut digeser ke kursi Menko Maritim menggantikan Rizal Ramli.
Luhut kian memainkan peran penting di lingkaran Jokowi, sedangkan Prabowo menjelma menjadi simbol oposisi yang telah digadang kembali maju di Pilpres 2019.
Menjelang duel ulang Jokowi-Prabowo, pemerintah disibukkan dengan rangkaian demonstrasi besar seperti Aksi 411 dan Aksi 212. Tensi politik kembali naik, hingga akhirnya Jokowi datang ke kediaman Prabowo di Hambalang pada 21 Maret 2016.
Dalam kunjungan itu, Jokowi didampingi oleh Luhut yang menjabat Menko Maritim, bukannya Wiranto selaku Menkopolhukam. Ini tentu karena pertemuan Jokowi-Prabowo terselenggara berkat andil Luhut.
Kini, Luhut disinyalir akan kembali mengambil peran untuk meredam ketegangan usai Pemilu 2019. Di tengah gertakan people power kubu Prabowo, Luhut kembali mengajak Prabowo bertemu untuk makan siang.
Namun, rencana itu belum terlaksana karena muncul penolakan dari pendukung Prabowo . Maka sampai saat ini, Prabowo belum lagi mendengar sapa khas Luhut yang biasa ditujukan padanya—“Apa, kau?”