Mei ‘98 dan Noktah Hitam Prabowo

19 Mei 2017 17:41 WIB
comment
24
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Prabowo Subianto saat menjabat Danjen Kopassus (Foto: Facebook: Prabowo Subianto)
Mei 1998 melahirkan hantu yang selamanya membayangi seorang Prabowo Subianto, membuat sang Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) harus mengakhiri karier militernya dengan noktah hitam.
ADVERTISEMENT
Sang Letnan Jenderal harus berhenti dari kesatuannya kala Indonesia telah memasuki gerbang Reformasi. Ia disebut melakukan sesuatu di luar komando: penculikan terhadap aktivis prodemokrasi.
Insiden penculikan ini sudah dibahas di mana-mana, diketahui banyak orang, dan selamanya meninggalkan jejak meski Prabowo kini mantap menapaki hidup barunya di jalur politik.
Rentetan penculikan itu terjadi sepanjang Februari hingga Maret, dilakukan oleh salah satu unit pasukan di bawah Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang disebut Tim Mawar. Dua bulan itu, Kopassus masih berada di bawah Prabowo.
Awal karier militer Prabowo Subianto (Foto: Facebook: Prabowo Subianto)
Ia menyandang jabatan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus sejak 1 Desember 1995 sampai 20 Maret 1998, sebelum kemudian mengemban tugas sebagai Panglima Kostrad --dan langsung dicopot usai Soeharto mundur.
Saat Orde Baru tumbang, 9 aktivis yang diculik dikembalikan, dan 13 lainnya belum diketahui nasibnya sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Prabowo dituduh secara sepihak mengerahkan pasukannya selama kerusuhan 1998. Surat rekomendasi pemecatan Prabowo tertanggal 21 Agustus 1998 menyebut Prabowo melanggar etika sebagai prajurit.
Namun “drama” dan desas-desus soal Prabowo tak hanya berhenti di seputar kasus penculikan. Prabowo juga disebut-sebut sebagai dalang kekerasan etnis yang terjadi di beberapa kota di Indonesia pada masa-masa genting itu.
Mengenang Reformasi Mei '98 (Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah)
Prabowo pun dituding menggerakkan pasukan Kostrad ke Jakarta, di luar komando resmi Wiranto sebagai Paglima ABRI, untuk mengepung rumah Presiden BJ Habibie pada 22 Mei 1998, sehari usai Soeharto lengser dan Habibie dilantik sebagai presiden menggantikannya.
Prabowo menemui Habibie, marah-marah karena sang presiden baru yang mencopot dia dari jabatan Pangkostrad, dan memutasinya menjadi Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI (Seskoad). Prabowo berkeras berdalih hendak mengamankan Habibie sembari geram karena dicopot dari jabatan strategisnya.
ADVERTISEMENT
“Atas nama ayah saya, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, dan ayah mertua saya, Presiden Soeharto, saya minta Anda memberikan saya tiga bulan untuk tetap menguasai pasukan Kostrad,” kata Prabowo seperti ditulis Habibie dalam autobiografinya, Detik-detik yang Menentukan.
Habibie menolak permintaan Prabowo, memintanya patuh pada putusan pimpinan.
“Saya berkesimpulan bahwa Pangkostrad (Letjen Prabowo Subianto) bergerak sendiri tanpa sepengetahuan Pangab (Jenderal Wiranto),” ujar Habibie.
Atas semua rumor di sekitar dirinya pada tahun 1998 itu, Prabowo terus mengatakan hal serupa: ia menghormati atasan. Intinya: ia tak mau menjelaskan apapun.
Tentu saja masa lalu semacam ini jadi batu sandungan yang cukup signifikan, misalnya ketika ia mengajukan diri sebagai calon presiden Republik Indonesia pada Pemilu 2014. Tudingan capres pelanggar hak asasi manusia (HAM) melekat erat padanya.
Prabowo Subianto. (Foto: Amanaturrosyidah/kumparan)
Pada debat calon presiden 9 Juni 2014, Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden dari kubu lawan, melontarkan pertanyaan soal penegakan HAM di masa lalu dan masa depan.
ADVERTISEMENT
“Bagaimana Bapak ingin menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dan menjaga hak asasi dipertahankan atas masyarakat?” tanya JK.
Prabowo menjawab pertanyaan itu dengan ucapan normatif.
“Dalam melaksanakan tugas sebagai prajurit dengan sebaik-baiknya, yang menilai itu atasan. Saya mengerti arah Bapak, tidak apa-apa. Saya ada di sini (sebagai capres), saya mantan prajurit, saya melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Selebihnya atasan yang menilai,” kata Prabowo.
Prabowo kemudian melanjutkan kegeramannya. “Bahwa saya tidak bisa menjaga HAM karena saya pelanggar HAM, kira-kira begitu kan Bapak arah (pertanyaan)-nya. Saya 30 tahun adalah abdi negara, petugas, yang membela kemerdekaan, kedaulatan, dan hak asasi manusia.”
[Baca: ]
Prabowo muda (Foto: Instagram/@prabowo)
Dalam sebuah wawancara dengan Majalah DeTak yang dimuat dalam buku Prabowo sang Kontroversi: Kisah Penculikan, Isu Kudeta, dan Tumbangnya Seorang Bintang, sikap Prabowo serbaambigu.
ADVERTISEMENT
Dalam wawancara pada 19 Juli 1998 tersebut, Prabowo yang saat itu masih aktif di Kesatuan Angkatan Darat memilih mengeluarkan pernyataan aman.
Setiap ditanya soal penculikan dan kerusuhan Mei 1998, pola jawabannya serupa. Ia merasa tersinggung, tidak menjelaskan duduk perkara, namun menyatakan bertanggung jawab.
“Heran saya, kenapa sih kalian senang sekali menyebut saya sebagai biang keladi penculikan,” ujar Prabowo kesal.
“Saya seorang beragama. Tuhan maha tahu. Saya cinta negeri ini. Saya orang yang menghargai kemanusiaan. Demi Allah, saya tidak serendah itu. Saya memilih no comment. Semua persoalan menyangkut diri saya sudah saya serahkan ke Panglima ABRI,” kata dia.
Agustus 1998, Prabowo menjalani sidang Dewan Kehormatan Perwira (DKP), dan setelah melalui proses panjang, ia direkomendasikan diberhentikan dari ikatan kedinasan.
ADVERTISEMENT
Semua bayang hitam itu, mungkin, bagi Prabowo ialah masa lalu yang tak penting lagi diungkit. Ia kini terus melaju di kursi Ketua Umum Partai Gerindra.