Malam Jahanam di Pondok Gede

19 November 2018 9:20 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lipsus “Selasa Berdarah di Pondok Gede”. (Foto: kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus “Selasa Berdarah di Pondok Gede”. (Foto: kumparan)
Murder is like potato chips: you can’t stop with just one. ― Stephen King
Djemmy Worang merasa ada yang janggal malam itu. Namun saat itu ia belum tahu malam bisa menjelma begitu jahanam di tempatnya tinggal. Ia baru tahu beberapa jam kemudian, kala fajar merekah.
Senin malam (12/11) pukul 23.30, sepi menyambut Djemmy ketika sampai di depan indekosnya di Jalan Bojong Nangka II, Pondok Melati, Bekasi. Gemerencing dan gesekan rantai dengan gerbang yang dibuka anaknya, Haeril, tak berbalas.
Biasanya, istri pengelola indekos, Maya Sofya Ambarita, melongok dari jendela rumahnya, persis di balik gerbang, lalu menyapa, “Pak Djemmy baru pulang, ya?”
Djemmy Worang, salah satu penghuni indekos yang dikelola almarhum Daperum Nainggolan. (Foto: Reki Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Djemmy Worang, salah satu penghuni indekos yang dikelola almarhum Daperum Nainggolan. (Foto: Reki Febrian/kumparan)
Djemmy adalah penghuni istimewa di indekos itu. Ia sudah tinggal di sana selama empat tahun, ketika tempat tersebut mulai dikelola Daperum Nainggolan pada 2014. Djemmy dan seorang penghuni lain, Dokter Feby Lola, diberi akses kunci gerbang. Penghuni lain tidak.
Indekos yang terletak di kecamatan hasil pemekaran dari Pondok Gede itu terdiri dari dua lantai dengan total 28 kamar―14 kamar di lantai dasar dan 14 kamar di lantai atas. Kosan itu milik Dogalas Nainggolan, kakak kandung Daperum.
Daperum Nainggolan dan Maya Ambarita, korban pembunuhan di Pondok Gede. (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Daperum Nainggolan dan Maya Ambarita, korban pembunuhan di Pondok Gede. (Foto: Dok. Istimewa)
Dogalas menyerahkan pengelolaan indekos kepada Daperum pada 2014. Daperum yang semula tinggal di Bojong Gede lantas memboyong istrinya, Maya, dan dua anak mereka, Sarah Marisa Putri Nainggolan serta Yehezkiel Arya Paskah Nainggolan, pindah ke Pondok Gede dan menetap di sana.
Keluarga Daperum menempati rumah bagian depan indekos sembari membuka toko kelontong yang laris manis. Sementara Dogalas tinggal di kos itu, di kamar yang paling dekat dengan rumah depan.
Menuju indekos dari jalan, para penghuninya harus melewati gerbang yang juga jadi pintu masuk rumah Daperum. Dari total 28 kamar di indekos itu, hanya 14 kamar yang dihuni―10 kamar di lantai dasar dan 4 kamar di lantai atas.
Di lantai atas, Djemmy Worang menyewa kamar. Lelaki 55 tahun itu tinggal di sana bersama dua putranya, salah satunya yang membukakan gerbang untuknya di Senin malam.
Indekos di belakang rumah keluarga Daperum, korban pembunuhan Pondok Gede. (Foto: Reki Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Indekos di belakang rumah keluarga Daperum, korban pembunuhan Pondok Gede. (Foto: Reki Febrian/kumparan)
Empat tahun tinggal di sana membuat Djemmy hafal betul kebiasaan pengelolaan indekos, termasuk soal waktu dan cara penguncian gerbang.
Biasanya, pengelola indekos―suami-istri Daperum-Maya―akan mengunci gerbang dengan cara sama: gerbang dililit rantai besi sebanyak tiga kali, sebelum dikunci dengan gembok berukuran besar.
“Polanya sama, nggak berubah," kata Djemmy kepada kumparan di indekos itu.
Hanya Daperum, Dogalas, Djemmy, dan Dokter Feby yang punya kunci gerbang. Sementara penghuni lain harus menghubungi Daperum atau Maya lewat telepon untuk minta dibukakan gerbang jika pulang larut malam di atas pukul 23.00 WIB.
Membuka dan menutup gerbang selalu menimbulkan suara berisik akibat gesekan besi dan rantai. Itu sebabnya Maya tahu bila ada penghuni kosan datang, dan ia biasa menyapa mereka.
Namun tidak malam itu, dan hal tersebut di luar kelaziman yang telah berjalan selama bertahun-tahun. Djemmy dihinggapi perasaan ganjil, tapi tak terlampau memikirkannya karena fisik yang lelah. Ia baru pulang dari dinas luar kota, dan langsung menuju kamar untuk pulas terlelap.
Lipsus “Selasa Berdarah di Pondok Gede". (Foto: kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus “Selasa Berdarah di Pondok Gede". (Foto: kumparan)
Ketika Djemmy telah tidur pukul 01.00 dini hari, penghuni indekos di kamar nomor lima di lantai dasar, Nining, terbangun. Ia mendengar jerit kesakitan seorang perempuan.
Jeritan itu terdengar selama satu menit dan membuat Nining merinding. Ia gelisah dan tak bisa kembali tidur. Ia mengira suara itu lengkingan setan.
“Saya cuma istigfar. Siapa yang tidak merinding (mendengarnya), sampai saya nggak bisa tidur lagi. Saya tidak tahu (itu suara apa), setan saja mungkin,” ujar Nining.
Satu setengah jam kemudian, pukul 02.30 WIB, Sulistyaningsih yang menghuni kamar nomor tiga di lantai satu, tak jauh dari Nining, terbangun dari tidur. Ia biasa bangun di sepertiga malam untuk salat tahajud.
Sulis belum sepenuhnya terjaga ketika mendengar suara mesin mobil dihidupkan. Lamat-lamat terdengar bunyi mobil bergerak mundur, seperti keluar dari indekos.
Ada yang aneh. Sulis mendengar gerak-gerik tak lumrah dari mobil itu. Biasanya, pemilik dan pengelola indekos akan memanaskan mesin mobil selama beberapa waktu sebelum memakainya. Tapi kali itu tidak. Mobil segera tancap gas.
“Mobil langsung jalan. Biasanya kalau mereka pergi, mobil dipanasin dulu, lama,” kata Sulis yang tinggal di indekos itu bersama dua anaknya.
Meski begitu, Sulis tak melongok keluar, sehingga tak tahu siapa yang menggunakan mobil tersebut pada pagi buta itu.
Sementara Muhammad Soleh, satpam setempat, mengatakan, “Sekitar jam 02.30 WIB, (ada mobil) melaju kencang sekali (di jalanan kampung yang sempit), sampai polisi tidur saja dihajar.”
Rumah keluarga Daperum Nainggolan, korban pembunuhan Pondok Gede. (Foto:  Andreas Ricky Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rumah keluarga Daperum Nainggolan, korban pembunuhan Pondok Gede. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
Satu jam setelah terdengar bunyi mobil keluar dari rumah Daperum, pukul 03.30 WIB, Dokter Feby yang menempati kamar nomor dua di lantai dasar, hendak membukakan gerbang untuk adiknya yang akan berangkat kerja.
Ia punya kunci gerbang, dan sudah hafal kebiasaan Daperum yang baru membuka gerbang pukul 05.00 WIB. Namun tak seperti biasanya, jam 03.30 dini hari itu ternyata gerbang sudah terbuka lebar.
Feby terkejut, sebab tahu betul pasangan Daperum dan Maya sangat teliti soal mengunci gerbang. Ia makin heran karena suara televisi masih terdengar dari dalam rumah, dan mobil Nissan X-Trail yang terparkir di depan kamar Dogalas tak kelihatan.
Deretan hal di luar kelaziman itu membuat Feby berinisiatif mengetuk pintu rumah Daperum untuk memastikan keadaan. Namun ketukan itu tak mendapat jawaban. Feby lantas menelepon ponsel Maya, dan mendapati nomor telepon seluler ibu kosnya itu tak aktif.
Alih-alih Daperum atau Maya yang muncul, justru Sulis yang keluar dari kamar kosnya karena mendengar ketukan Feby di pintu rumah depan. Melihat Sulis, Feby memberi tahu keganjilan-keganjilan yang ia lihat kepada tetangga kamarnya itu.
Mereka berdua kemudian menyimpulkan, mungkin Daperum atau Dogalas sedang pergi menggunakan mobil, sedangkan anggota keluarga lain masih tidur. Feby dan Sulis kemudian masuk kembali ke kamar masing-masing.
Pintu rumah keluarga Daperum Nainggolan, korban pembunuhan Pondok Gede. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pintu rumah keluarga Daperum Nainggolan, korban pembunuhan Pondok Gede. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Tiga jam kemudian, pukul 06.30 WIB kala hari telah terang, Feby keluar kamar dan melihat keadaan di rumah induk semangnya masih tak berubah. Televisi terdengar menyala dari dalam, dan gerbang tetap terbuka lebar.
Lebih aneh lagi, Daperum belum juga tampak. Padahal pada jam tersebut, ia biasa mengantar anak-anaknya ke sekolah.
“Jam setengah tujuh, anaknya harusnya berangkat sekolah, bertepatan dengan Daperum berangkat kerja,” kata Feby saat berbincang dengan kumparan.
Gelagat janggal tuan rumah membuat Feby kembali mengetuk pintu rumah Daperum. Tapi lagi-lagi, ketukan itu tak mendapat jawaban. Feby lalu kembali mengirim pesan ke nomor WhatsApp Maya, dan masih juga tak berbalas.
Keterangan pada WhatsApp Maya menunjukkan, aplikasi itu terakhir dilihat sang empunya pukul 23.13 WIB. Kecurigaan Feby semakin menjadi-jadi. Ia berinisiatif mencongkel jendela untuk mencari tahu kondisi di dalam rumah.
Jendela berterali besi itu pun terbuka, dan Feby menyingkap gorden. Ia langsung berteriak histeris ketika melihat induk semangnya tergeletak bersimbah darah di lantai. Maya dan Daperum mati ditikam linggis.
Teriakan Feby membuat penghuni kos lain keluar. Suasana kian riuh karena kondisi sekitar juga ramai, berbarengan dengan jam masuk anak sekolah. Kebetulan di dekat indekos itu terdapat dua sekolah, yakni SD Jatirahayu II dan SMP Nasional I.
Suasana di depan rumah keluarga Daperum Nainggolan, korban pembunuhan di Pondok Gede, Selasa (13/11). (Foto: ANTARA FOTO/Risky Andrianto)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di depan rumah keluarga Daperum Nainggolan, korban pembunuhan di Pondok Gede, Selasa (13/11). (Foto: ANTARA FOTO/Risky Andrianto)
Warga Jatirahayu beserta para orang tua siswa yang terpancing rasa penasaran, berduyun-duyun mendatangi rumah Daperum. Sementara Rahmad, satpam SMP Nasional I, mencoba masuk ke rumah Daperum melalui rolling door toko kelontong milik keluarga itu yang terletak di depan rumah.
Rahmad, atas persetujuan warga, berupaya masuk untuk melihat kondisi kedua anak Daperum yang hingga saat itu belum diketahui. Dari jendela, hanya terlihat Daperum dan Maya yang terkapar di lantai ruang tengah. Warga berharap Sarah dan Arya selamat.
Anehnya lagi, rolling door toko kelontong yang menyambung ke rumah Daperum ternyata tak dikunci. Padahal, ujar Haji Abdul Salim tetangga korban, rolling door itu biasanya terkunci dan bila dibuka akan berbunyi berisik yang terdengar sampai ke rumahnya.
Rahmad pun masuk ke rumah dengan mudah melalui rolling door yang tak terkunci itu. Tragisnya, Sarah dan Arya Nainggolan juga telah tewas. Kakak-adik berusia 9 dan 7 tahun itu ditemukan di kamar mereka dalam kondisi tak bernyawa. Mereka mati dicekik.
Dari kamar Sarah dan Arya, polisi membawa keluar boneka beruang ungu. Boneka itu diduga sempat dipegang oleh sang pembunuh. Maka ia didekatkan ke hidung anjing pelacak untuk diendus-endus guna mencari jejak pelaku.
Saksi Bisu Pembantaian Pondok Gede. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Saksi Bisu Pembantaian Pondok Gede. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Ketua RT setempat, Agus Sany, tiba di kediaman Daperum pukul 06.45 WIB. Saat itu, rolling door rumah Daperum sudah terbuka lebar, dan warga menyemut di depannya.
Lima belas menit kemudian, pukul 07.00 WIB, tim penyelidik dari Polresta Bekasi tiba di sana dan melakukan olah tempat kejadian perkara. Tidak ditemukan kerusakan pada pintu masuk ke rumah korban, dan tidak ada harta korban selain mobil Nissan X-Trail yang hilang.
Terbunuhnya keluarga Daperum tak pelak mengejutkan warga Jatirahayu. Terlebih, kediaman mereka berlokasi di permukiman padat penduduk.
Berjarak 20 meter dari rumah Daperum, terdapat gedung SMP Nasional I yang dijaga satpam 24 jam. Sementara dalam jarak 10 meter, tiang listrik di lingkungan itu selalu dipukul oleh petugas ronda malam setiap satu jam begitu lewat tengah malam.
Daperum pun memelihara anjing jenis mongrel bernama Si Kancil―yang biasa menggonggong kepada mereka yang mendatangi rumah tuannya.
Anehnya, di malam jahanam itu, para penghuni indekos dan tetangga sama sekali tak mendengar Si Kancil menggonggong. Menurut Hilarius, salah satu penghuni kos, Si Kancil menggonggong kepada orang baru, namun sekadar mengendus kepada orang lama.
Jenazah Daperum Nainggolan sekeluarga, korban pembunuhan di Pondok Gede. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jenazah Daperum Nainggolan sekeluarga, korban pembunuhan di Pondok Gede. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Esoknya, Rabu (14/11), jasad keluarga Daperum dibaringkan di empat peti terbuka, dikelilingi para pelayat berselempang ulos.
Jenazah Daperum, Maya, Sarah, dan Arya dilepas dari rumah duka di samping Gereja Lahai Roi, Cijantung, Jakarta Timur, menuju kampung halaman mereka di Pulau Samosir, Sumatera Utara, diiringi isak tangis tak putus para kerabat dan sahabat.
Pada saat yang sama, pembunuh mereka, Haris Simamora, berada dalam bus yang melaju ke kaki Gunung Guntur di Garut, Jawa Barat.
Ikuti detail perburuan terhadap Haris Simamora di sini:
------------------------
Simak rangkaian laporan lengkapnya dalam Liputan Khusus kumparan: Selasa Berdarah di Pondok Gede