Masalah Papua Dibawa ke Dewan HAM PBB, Indonesia Harus Apa?

20 September 2019 13:11 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aliansi Mahasiswa Papua Se-Jabodetabek menggelar aksi damai di Gedung Juang 45, Jumat (6/9). Foto: Dwi/Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Aliansi Mahasiswa Papua Se-Jabodetabek menggelar aksi damai di Gedung Juang 45, Jumat (6/9). Foto: Dwi/Kumparan
ADVERTISEMENT
Vanuatu dan Kepulauan Solomon berencana mengangkat isu dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua ke Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss.
ADVERTISEMENT
Kedua negara Pasifik ini menduga Indonesia telah melakukan sejumlah pelanggaran HAM, termasuk di antaranya pembatasan kebebasan berpendapat dan tidak memberikan izin Komisioner Tinggi HAM PBB untuk mengunjungi Papua.
Vanuatu dan Solomon pun mendesak pemerintah Indonesia untuk segera melaporkan situasi terkini di Papua kepada Dewan HAM.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, menilai apa yang dilakukan Vanuatu dan Kepulauan Solomon adalah bentuk solidaritas antarsesama pulau Melanesia.
Namun, Reza cukup menyayangkan tindakan dari dua negara Pasifik tersebut. Sebab, apabila permasalahan Papua benar-benar dibawa ke Dewan HAM PBB dampaknya akan dirasakan oleh Indonesia sendiri.
Ilustrasi logo PBB Foto: Reuters
Lalu, apa dampak yang bisa terjadi jika permasalahan Papua ini benar-benar dibawa ke Dewan HAM PBB?
ADVERTISEMENT
"Menurunnya kredibilitas RI yang saat ini sedang menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, yang dengan pemikiran dan prestasi diplomatiknya di tingkat global selama ini telah berperan luar biasa dalam turut memelihara perdamaian di seluruh bagian dunia," tutur Reza.
Selain itu, dampak lainnya adalah Indonesia dapat dituduh sebagai negara yang sulit mengurusi dirinya sendiri dan bisa dinilai menjadi negara yang kurang demokratis. Hal ini dapat berdampak pada menurunnya investasi dan wisatawan asing.
Reza juga berpendapat tuduhan dari Vanuatu dan Kepulauan Solomon berpotensi menggalang solidaritas seluruh anggota Melanesian Spearhead Group (MSG atau organisasi empat negara di Melanesia) untuk memusuhi Indonesia. Hal ini tentunya akan menyulitkan penyelesaian prakarsa perdamaian di Papua.
Rapat sidang dewan keamanan PBB Foto: Reuters/Brendan McDermid
"Konsekuensi terburuk yang dapat terjadi adalah terjadinya internasionalisasi masalah Papua. Yakni adanya potensi di mana negara dan pihak yang selama ini mendukung keutuhan wilayah RI, untuk menekan RI dengan mempermainkan pasal-pasal dalam Konvensi Genosida dan Statuta Roma, perihal kehancuran kelompok, ras, moral, fisik, dan agama yang ada di Papua," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Pendekatan Sosial Budaya
Maka dari itu, Reza memiliki sejumlah saran untuk pemerintah Indonesia. Pertama, pemerintah Indonesia harus segera menyelesaikan permasalahan Papua.
Menurut Reza, permasalahan di Papua bisa diselesaikan dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Pendekatan model ini, sudah mulai dilakukan pemerintah Indonesia dengan mengirim sejumlah pimpinan dan tokoh nasional di Papua.
Kedua, Reza juga mengimbau pemerintah Indonesia untuk menjalankan program-program pembangunan yang sejalan dengan prinsip-prinsip Sustainable Development Goals (SDG) di Papua.
Presiden Joko Widodo (kanan) memberikan salam kepada sejumlah tokoh Papua sebelum pertemuan di Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/9). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
"Ketiga, benar-benar mengawasi WNA di seluruh wilayah nasional RI, terutama sekali mereka yang mengunjungi Papua dan berada di Papua, untuk tidak sekali-kali menyalahgunakan izin yang telah mereka terima dari pemerintah RI. Dalam konteks ini, pemerintah perlu bersikap tegas dan berani, dengan menyegerakan seluruh prosedur hukum atas terjadinya pelanggaran sekecil apapun," ungkap Reza.
ADVERTISEMENT
"Keempat, secara khusus berkonsultasi dengan pemerintah-pemerintah asing yang selama ini diam-diam mengizinkan wilayah mereka menjadi basis kampanye kotor atas RI. Dalam hal ini, pemerintah RI menjadikan konsistensi pemerintah tersebut sebagai indikator bagi hubungan bilateral yang baik," lanjutnya.
Reza juga mengharapkan pemerintah agar menjalankan praktik diplomasi publik khususnya terkait kondisi Papua terkini di tingkat dunia. Salah satu caranya dengan memperbanyak informasi terkait Papua yang disajikan dalam berbagai bahasa.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Shofwan Al Banna Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan
Indonesia Perlu Waspada
Sementara itu, pengamat hubungan Internasional Universitas Indonesia Shofwan Al Banna menilai tuduhan Kepulauan Solomon dan Vanuatu atas dugaan pelanggaran HAM di Papua masih dianggap belum memberikan dampak yang signifikan. Hal ini disebabkan karena sejauh ini masyarakat dunia masih mengakui Papua sebagai bagian dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dukungan dari masyarakat ini yang menurut Shofwan akan mempersulit aduan Kepulauan Solomon dan Vanuatu diproses Majelis Umum PBB. Namun, Shofwan meminta agar pemerintah tetap waspada dan segera menyelesaikan permasalahan Papua.
"Hal ini menunjukkan bahwa dunia mengamati. Dan meskipun Indonesia bisa mengatakan bahwa Papua adalah bagian dari kedaulatan Indonesia, Indonesia memiliki kewajiban-kewajiban perlindungan dan penghormatan HAM yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan isu Papua," tutup Shofwan.
Vanuatu dan Kepulauan Solomon menganggap persoalan yang terjadi di Papua dan Papua Barat sangat memprihatinkan. Dalam KTT Negara Pasifik di Tuvalu pada 13-16 Agustus 2019, mereka meminta Indonesia memastikan kapan waktu kunjungan Komisioner HAM PBB. Mereka pun memberikan batas waktu hingga KTT Negara Pasifik pada 2020 mendatang.
ADVERTISEMENT
"Kami prihatin atas Pemerintah Indonesia yang menunda pemberian konfirmasi waktu untuk Komisioner HAM untuk mengunjungi Papua," sebut Wakil Tetap Vanuatu untuk PBB Sumbue Antas seperti dikutip dari Radio New Zealand, Kamis (19/9).
"Kami menyerukan agar Komisioner dan Pemerintah Indonesia mempercepat pengaturan waktu untuk menilai situasi terkini yang ada dan melaporkannya Dewan HAM untuk dipertimbangkan," imbuhnya.
Suasana salah satu pusat perbelanjaan di Kota Jayapura, Papua, Minggu (1/9). Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Sementara itu, delegasi Indonesia menggunakan hak jawab (right of reply) menanggapi pernyataan Vanuatu dan Kepulauan Solomon yang mempolitisasi isu Papua dan Papua Barat dalam Sidang Dewan HAM PBB ke-42 pada 17 September lalu.
Delegasi Indonesia menyambut baik pengakuan para pemimpin Kepulauan Pasifik atas kedaulatan Indonesia atas Papua. Mereka juga menegaskan rasisme dan diskriminasi tidak memiliki ruang di Indonesia yang majemuk.
ADVERTISEMENT
"Pemerintah Indonesia juga telah dan akan terus mengambil langkah-langkah agar hak dan kebebasan Warga Negara Indonesia (WNI), termasuk di Papua terlindungi. Pemerintah Indonesia telah memfasilitasi agar kebebasan berekpresi secara damai dapat terus dilakukan. Hal ini tercermin dari adanya keputusan mencabut pembatasan internet sementara terhitung 4 September 2019," tulis keterangan tertulis PTRI Jenewa, dilansir Antara.
Terkait rencana kunjungan Komisioner Tinggi (KT) HAM, PTRI Jenewa menyampaikan sebelum KT HAM Zeid Ra'ad Al Hussein ke Indonesia pada Februari 2018, pemerintah telah mengundang terbuka untuk mengunjungi Papua secara langsung.
Kunjungan akan tetap dilakukan oleh perwakilan KT HAM di Bangkok antara KT HAM Michelle Bachelet dengan pemerintah Indonesia.