Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Melihat Wajah Baru Desa "Idiot" di Karangpatihan, Ponorogo
12 Juli 2018 9:50 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Sebuah desa di Kabupaten Ponorogo , Jawa Timur, memiliki ciri khas yang unik. Desa itu disebut sebagai desa 'idiot' karena banyak penduduknya yang merupakan orang-orang penderita tuna grahita atau keterbelakangan mental. Nama desa itu adalah Karangpatihan, terletak di Kecamatan Balong.
ADVERTISEMENT
Desa ini sudah lama dikenal sebagai desa 'idiot'. Namun perlahan, stigma negatif itu mulai terkikis berkat upaya dari Eko Mulyadi, warga asli Karangpatihan yang juga menjabat sebagai kepala desa.
"Dahulu banyak sekali, jumlahnya ratusan orang-orang yang seperti itu (tuna grahita). Orang-orang ini kebanyakan kelahiran tahun 1960-an, jadi usia mereka saat ini sekitar 40 hingga 60 tahun," ujar Eko Mulyadi saat bercerita kepada kumparan, Rabu (11/7).
Eko yang tumbuh besar di Karangpatihan mengaku terpanggil dan merasa kasihan terhadap penduduk desa yang mengalami keterbelakangan mental. Berdasarkan informasi yang dia terima, kebanyakan dari mereka menderita cacat fisik karena kekurangan gizi.
"Menurut cerita kakek-nenek saya, tahun 1960-an itu kondisi desa masih terbelakang. Banyak warga yang tidak memperhatikan pemahaman gizi. Makannya nasi tiwul bahkan nasi aking, juga tidak mengenal garam yodium," cerita Eko.
Ketika masuk usia SMA, rasa iba Eko mulai berubah menjadi aksi nyata. Ia perlahan membantu penduduk tuna grahita dengan mencari bantuan bahan makanan pokok seperti beras dan pakaian layak pakai.
ADVERTISEMENT
"Yang saya lakukan saat itu masih konsumtif," lanjut Eko.
Pada tahun 2010, lelaki yang kini berusia 35 tahun itu akhirnya membentuk sebuah kelompok masyarakat yang bernama "Karangpatihan Bangkit". Tujuan kelompok itu adalah untuk mencari formula agar para warga tuna grahita bisa hidup mandiri.
"Baru tahun 2013, begitu saya jadi kepala desa, saya buat program untuk mereka, agar mereka punya pendapatan ekonomi dengan konsep pendapatan harian, bulanan, triwulan, serta tahunan," papar Eko.
Program itu ia wujudkan dengan pembentukan 'Rumah Harapan', sebuah tempat yang digunakan untuk melatih warga tuna grahita untuk hidup mandiri dan berwira usaha. Hasilnya, secara perlahan warga tuna grahita kini bisa menghidupi dirinya sendiri dengan usaha masing-masing.
"Memang butuh waktu, mengajari mereka sejak 2013. Rumah harapan saya bangun secara swadaya bersama masyarakat sebagai tempat untuk membina dan melatih mereka berwirausaha," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Konsep yang Eko pilih adalah penghasilan secara teratur. Untuk penghasilan harian, warga tunagrahita dibekali kemampuan untuk membuat kerajinan dari kain perca serta batik. Lalu untuk penghasilan bulanan, mereka diberikan modal induk ayam kampung untuk beternak.
"Sementara triwulannya kita ajarkan beternak lele dan tahunannya beternak kambing," terang Eko.
Eko merasa bersyukur bahwa produk-produk yang dihasilkan 'Rumah Harapan' bisa laku di pasaran, termasuk untuk daerah-daerah di luar Ponorogo. Kini ia berharap, Desa Karangpatihan bisa mengubah citranya sebagai desa wisata bukan lagi desa 'idiot'.
"Harapan saya, pelan-pelan bisa merubah image itu, mengubah pandangan masyarakat dengan berbagai cara salah satunya dengan program desa wisata atau wirausaha mandiri," pungkasnya.