Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
24 Mei 2019. Tim Hukum BPN Prabowo-Sandi menyodorkan permohonan Perselisihan Hasil Pilpres setebal 37 halaman yang berisi 41 dalil. Dua minggu tiga hari setelahnya, mereka merevisi dokumen itu. Dokumen menebal jadi 146 halaman dan berisi 226 dalil permohonan.
Tuntutan utama dokumen tersebut adalah membatalkan hasil penghitungan suara KPU, mendiskualifikasi pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin, dan menetapkan Prabowo-Sandi sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.
Sementara tuntutan minimalnya adalah melakukan pemungutan suara ulang di setidaknya 12 provinsi, memberhentikan seluruh komisioner KPU, serta mengevaluasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng).
Begitulah bunyi petitum (gugatan yang dimohonkan kepada pengadilan untuk diputuskan) yang disusun Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi dalam dokumen revisi permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden 2019.
Pada dokumen awal, Tim Prabowo-Sandi hanya mencantumkan pilihan pemungutan suara ulang di seluruh wilayah di Indonesia, selain tuntutan diskualifikasi Jokowi-Ma’ruf dan penetapan Prabowo-Sandi sebagai pemenang.
Maka, dalam dokumen perbaikan, perubahan tak cuma ada di petitum, tapi juga pada dalil gugatan yang jadi beranak pinak sehingga dokumen menebal hampir empat kali lipat.
Jumat (14/6), nasib dua dokumen permohonan PHPU yang disampaikan Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi ditentukan dalam sidang pendahuluan yang mengagendakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Hal itu, menurut Juru Bicara MK Fajar Laksono, mencakup apa-apa saja yang harus diperbaiki dan dilengkapi.
Dokumen mana yang akan digunakan oleh Majelis Hakim MK, apakah dokumen awal atau dokumen revisi, akan diputus dalam sidang perdana ini.
“Sepenuhnya kewenangan Hakim MK untuk memutuskan apakah yang disebut sebagai (dokumen) perbaikan itu akan dipertimbangkan. (Nanti) hakim akan memberi penilaian hukum,” kata Fajar kepada kumparan, Jumat (13/6).
Kubu Prabowo yang sempat menolak mengajukan sengketa pilpres ke MK, akhirnya mengutus mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) dan mantan Wakil Menkumham Denny Indrayana, beserta enam kuasa hukum lain, untuk mengajukan gugatan resmi sengketa Pilpres 2019 ke MK.
Dalam berkas gugatan itu, Tim Prabowo-Sandi menuding Jokowi-Ma’ruf telah melanggar asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil), serta melakukan kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Tudingan tersebut disertai berbagai argumen, baik kualitatif maupun kuantitatif. Secara umum, pada dokumen awal maupun revisi, terdapat lima dasar argumen kualitatif. Inti argumen itu adalah: kubu Prabowo menuduh Jokowi telah menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) sebagai petahana demi memenangi Pilpres 2019.
Penyalahgunaan Anggaran Belanja Negara dan Program Pemerintah
Kubu Prabowo menuding Jokowi menggunakan posisinya sebagai capres petahana untuk memenangi Pilpres 2019. Dalam gugatannya, Tim Prabowo-Sandi menulis, “Capres 01 yang juga Presiden Jokowi menggunakan instrumen Anggaran Belanja Negara dan program pemerintah untuk mempengaruhi pemilih agar memenangkan Pilpres 2019.”
Penyalahgunaan anggaran negara dan program pemerintah yang disebut kubu Prabowo itu adalah kebijakan menaikkan gaji pegawai negeri sipil, serta anggota TNI dan Polri; menjanjikan pembayaran gaji ke-13 dan THR lebih awal; menaikkan gaji perangkat desa; mencairkan dana bantuan sosial; menaikkan dan mempercepat penerimaan Program Keluarga Harapan; serta menyiapkan skema rumah dengan DP 0 persen untuk aparatur sipil negara, termasuk anggota TNI dan Polri.
Setumpuk kebijakan tersebut, bagi kubu Prabowo, adalah “modus lain dari money politics atau lebih tepatnya vote buying” yang dilakukan secara terstruktur dan berdampak masif pada pilihan politik pemilih. Untuk memperkuat tudingan tersebut, terdapat setidaknya 31 tautan berita media online dan video YouTube yang dicantumkan sebagai bukti.
Penyalahgunaan Birokrasi dan BUMN
Tim Prabowo-Sandi mencurigai segala jenis program atau kegiatan Jokowi. Menurut mereka, “tidak sulit untuk mengetahui bahwa program dan anggaran yang digunakan oleh birokrasi dan BUMN itu adalah untuk pemenangan Capres Paslon 01.”
Beberapa contoh penyalahgunaan birokrasi dan BUMN yang mereka maksud antara lain ucapan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang meminta ASN untuk menyampaikan keberhasilan empat tahun pemerintahan Jokowi-JK.
Contoh lainnya, Silaturahmi Nasional Desa se-Indonesia yang disebut kubu Prabowo sebagai bentuk penggalangan dukungan aparat desa.
Jokowi juga diduga kubu 02 mengerahkan pegawai BUMN untuk mengikuti kampanye akbar di Gelora Bung Karno. Menurut Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, terdapat surat dari Sekretaris Kementerian BUMN yang berisi upaya pengerahan 150 ribu pegawai BUMN untuk memperingati Hari Ulang Tahun BUMN pada 13 April 2019.
BPN menduga, menteri-menteri dan pejabat negara di bawah pemerintahan Jokowi melakukan “penyelundupan hukum berkampanye terselubung” melalui berbagai acara dan agenda yang digelar kementerian atau BUMN.
Untuk memperkuat tudingan tersebut, sekitar 28 tautan berita online dicantumkan sebagai alat bukti.
Ketidaknetralan Aparatur Negara: Polisi dan Intelijen
Salah satu contoh ketidaknetralan aparat yang disebut Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi dalam gugatan mereka adalah kasus mantan Kapolsek Pasirwangi Kabupaten Garut, AKP Sulman Aziz, yang sempat mengaku diperintah menggalang dukungan untuk Jokowi pada akhir Maret 2019.
Sulman menuding mantan atasannya, Kapolres Garut AKBP Budi Satria Wiguna, memobilisasi dan mendata massa demi memenangkan Jokowi-Ma’ruf. Ia bahkan menyebut ada ancaman mutasi jika Jokowi kalah di wilayahnya.
Beberapa hari kemudian, Sulman meralat seluruh ucapannya. Ia beralasan, mengucapkan hal tersebut lantaran kesal karena dipindah tugas dari jabatan sebelumnya—Kapolsek Pasirwangi—menjadi anggota Dirlantas Polri.
Namun bagi kubu Prabowo, pencabutan pernyataan Sulman itu justru menjadi indikasi bahwa apa yang ia ucapkan adalah benar. Hanya saja, menurut Tim 02, terdapat tekanan dari pihak lain yang membuat Sulman mencabut ucapannya.
Pembatasan Kebebasan Media dan Pers
Contoh kasus yang disebut oleh kubu 02 terkait pembatasan kebebasan media dan pers adalah “istirahatnya” tayangan ILC. Opini Djadjang Nurjaman yang tayang di situs suaramerdeka.id menjadi salah satu alat bukti yang dicantumkan untuk memperkuat tudingan itu.
Kubu 02 juga memprotes peliputan Reuni 212 yang menurut mereka minim. Dalil tersebut berbunyi bahwa dalam reuni 212 akhir Desember 2018 lalu, banyak media mainstream tidak meliput kegiatan tersebut.
Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo membantah tuduhan media mainstream tidak meliput kegiatan Reuni 212. Menurutnya semua media meliput kegiatan tersebut.
“Tapi besar kecilnya pemberitaan, ada di halaman berapa, itu privilege masing-masing media. Kita tidak bisa memaksa media untuk begini-begitu pemberitaannya. Itu menjadi haknya setiap media,” kata Agus kepada kumparan, Kamis (13/6).
Dalil selanjutnya adalah pemblokiran situs jurdil2019.org. Situs itu diblokir oleh Menkominfo atas permintaan Bawaslu sebab situs bukan terdaftar sebagai lembaga survei yang bisa menyiarkan hasil hitung cepatnya. Kabiro Humas Kominfo Ferdinandus Setu menjelaskan pemblokiran tersebut karena situs Jurdil 2019 menyalahgunakan izin yang diberikan.
Diskriminasi Perlakuan dan Penyalahgunaan Penegakan Hukum
Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi menuding adanya tebang pilih penindakan yang terus merugikan paslon 02, namun menguntungkan paslon Jokowi-Ma’ruf.
Dalam tulisannya, BPN mencontohkan salam dua jari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di acara Gerindra dituding melanggar aturan kampanye. Sementara pose satu jari (jempol) yang dilakukan oleh Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani di acara sidang IMF di Bali tidak diproses.
Selain itu, dalam dokumen revisi, tim kuasa hukum Prabowo-Sandi memprotes beragam deklarasi dukungan kepala daerah untuk Jokowi yang tidak dihukum. Sementara kepala daerah yang menyatakan dukungannya untuk Prabowo-Sandi diberi sanksi.
Sementara itu, pada dokumen gugatan revisi yang diajukan ke MK pada Senin (10/6), kuasa hukum Prabowo-Sandi memasukkan argumen untuk semakin menunjukkan adanya kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Salah satunya adalah terkait jabatan calon wakil presiden Ma’ruf Amin sebagai Dewan Pengawas di dua bank syariah.
“Bahwa Calon Wakil Presiden Ma’ruf Amin sesuai dengan pernyataan KPU tertanggal 9 Agustus 2018 menyatakan tidak mengundurkan diri sebagai karyawan atau pejabat BUMN/BUMD sejak ditetapkan sebagai pasangan calon (angka 12 huruf D),” tulis dalil tersebut.
Ma’ruf memang tercatat sebagai Dewan Pengawas Syariah di Bank Syariah Mandiri dan BNI Syariah. Akan tetapi mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, BNI Syariah dan BSM tidak termasuk dalam BUMN melainkan hanya sebagai anak perusahaan BUMN.
BNI Syariah dan BSM tidak dimiliki secara langsung oleh negara. Lembaga yang termasuk sebagai BUMN adalah perusahaan induknya, yakni BNI dan Bank Mandiri yang dimiliki langsung oleh negara. Selain itu, posisi Dewan Pengawas tidak bisa disamakan dengan pegawai atau komisaris melainkan setara dengan kuasa hukum atau penasihat.
Selain cacat formil terkait jabatan Ma’ruf Amin, kubu 02 juga menambahkan persoalan cacat materil dalam gugatannya. Mereka menyebut adanya penggunaan dana kampanye yang absurd dan melanggar hukum.
BPN mempertanyakan dana sumbangan kampanye pribadi capres Joko Widodo yang mencapai Rp 19 miliar, sementara harta kekayaan kas dan setara kas Jokowi dua minggu sebelumnya dilaporkan sebesar Rp 6 miliar.
Tidak hanya itu, BPN juga menggunakan argumen Indonesia Corruption Watch (ICW) tanggal 9 Januari 2019 yang memuat kecurigaan sumbangan dana sebesar Rp 33 miliar dari Golfer TRG dan Golfer TBIG untuk paslon 01. Dana tersebut diduga berasal dari dua perusahaan yang sahamnya dimiliki Sakti Trenggono, Bendahara TKN.
“Dana kampanye Jokowi-Ma’ruf mayoritas berasal dari sumbangan dua kelompok, yaitu Perkumpulan Golfer TBIG (Rp 19,7 M) dan Perkumpulan Golfer TRG (Rp 18,2 M). Sumbangan mencapai 86% dari total penerimaan,’’ tulis ICW dalam keterangan resmi yang diterima kumparan.
Menurut Peneliti ICW Donal Fariz dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa masing-masing paslon memiliki temuan terkait sumber kewajaran dan akurasi pelaporan dana kampanye. Menurut Donal kejanggalan mayoritas penyumbang dana kampanye juga ditemukan di paslon 02.
“Temuan 02 itu adalah mayoritas penyumbang dari Sandiaga Uno. Sandi mengklaim sudah menghabiskan uang, menjual saham Saratoga waktu itu Rp 500 miliar. Ternyata jumlah sumbangannya tidak sama dengan jumlah yang dilaporkan,” kata Donal, Jumat (13/6). Dalam temuan ICW sendiri, dari LPSDK, Sandi baru mengeluarkan dana sebesar Rp 39,5 miliar.
Sementara untuk argumen kuantitatif yang disusulkan di dokumen revisi halaman 96 dituliskan bahwa KPU tidak menjalankan rekomendasi Bawaslu Surabaya untuk menjalankan penghitungan suara ulang di 8.146 TPS. Selain itu KPU juga tidak menjalankan 22 rekomendasi Bawaslu di Papua.
Lebih lanjut, BPN juga menulis menemukan sebanyak 1.984 TPS siluman, 37.324 TPS baru, penambahan daftar pemilih khusus (DPK) sebanyak 5,7 juta orang, kejanggalan nol suara yang diperoleh paslon 02 di 5.268 TPS. Selain itu, kubu Prabowo-Sandi menduga adanya rekayasa DPT dan kesengajaan salah input dalam Situng KPU.
Dalam beberapa argumen baik kualitatif maupun kuantitatif yang dimasukkan kubu paslon 02 sebenarnya sudah diputus kasusnya di Bawaslu. Misalnya dugaan pelanggaran kampanye Gubernur DKI Anies Baswedan dan pelanggaran deklarasi dukungan kepada paslon 01 Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo beserta 31 Kepala Daerah se-Jawa Tengah.
Bawaslu juga pernah menolak gugatan TSM yang diajukan BPN karena bukti print out berita yang dimasukkan terlapor belum memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum.
“Bukti print out berita online tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus didukung dengan alat bukti lain berupa dokumen, surat, maupun video yang menunjukkan adanya perbuatan masif yang dilakukan oleh terlapor yang terjadi paling sedikit di 50 persen dari jumlah daerah provinsi di Indonesia," kata anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo.
Yang kemudian menarik untuk diperbincangkan adalah bagian petitum. Apabila dibandingkan dengan tuntutan Prabowo-Hatta Rajasa pada 2014, kali ini permohonan Prabowo-Sandi sebagai pemohon amat berbeda. Prabowo tak lagi hanya meminta MK membatalkan hasil hitungan suara KPU dan kemudian memenangkan pihaknya; kali ini Prabowo menekankan permintaan agar paslon lawan didiskualifikasi dari keikutsertaannya di Pilpres 2019.
Sayangnya, kebanyakan ahli sepakat tuntutan tersebut terlampau sulit untuk dikabulkan MK.
Maruarar Siahaan, misalnya. Mantan hakim MK 2003-2006 itu melihat tuduhan pelanggaran pilpres yang TSM sebagai dasar permohonan diskualifikasi paslon 01 sulit dibuktikan.
“Sangat berat. Terstruktur itu ada surat perintahnya dari presiden, misal, kepada menteri-menteri (untuk mengajak pilih paslon 01). Dia (harus terbukti) ikut memerintahkan, bukan hanya menyetujui,” kata Maruarar kepada kumparan, Kamis (13/6).
“Misal PAN, sempat ada menterinya di kabinet Jokowi (Asman Abnur sebelumnynya menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Ia mundur setelah PAN resmi tidak mendukung Jokowi di Pilpres 2019), dia bisa rekam kalau memang betul dan itu bisa jadi alat bukti. Kalau itu tidak ada ya kita tunggu lah, kita masih harus menunggu tampilan mereka dengan bukti-buktinya ada isi atau tidak.”
Selain terstruktur, tuduhan sistematis juga diragukan Maruarar akan berhasil sepenuhnya dibuktikan pemohon. Menurutnya, kecurangan yang sistematis adalah ketika “... money politics dilakukan sedemikian rupa dan tersusun dalam satu rencana yang, misalnya, dirancang oleh tim atau badan pemenangan.”
“Di situ unsur pertama harus ada bukti bahwa pasangan calon sebagai inkumben turut memerintahkan untuk memakai struktur pemerintahan, sistemnya, money politic-nya, dan membagikan (perintah) itu secara langsung,” kata Maruarar.
Soal masifnya dugaan kecurangan, menurut Maruarar, berarti pemohon harus mampu membuktikan bahwa kecurangan terjadi dan mempengaruhi setengah suara di Indonesia. “Itulah pembuktian yang menjadi jurus atau contoh di masa lalu,” katanya.
Contoh di masa lalu, maksudnya, adalah kasus yang terjadi di Pilkada Kotawaringin Barat pada 2010. Saat itu MK mendiskualifikasi calon yang oleh KPU diputuskan menjadi pemenang pilkada karena terbukti melakukan kecurangan yang TSM. Dampaknya, Ujang Iskandar yang sebelumnya kalah suara dilantik menjadi bupati yang sah berdasarkan putusan MK.
Uniknya, kuasa hukum Ujang saat itu tiada lain tiada bukan adalah Bambang Widjojanto, yang saat ini menjadi kuasa hukum Prabowo-Sandi. Kasus Kotawaringin Barat tersebut juga kerap disebut-sebut dalam gugatan tim kuasa hukum Prabowo-Sandi. Agaknya, berbeda dengan 2014 yang memprotes jumlah perolehan suara, kemenangan BW di Kotawaringin Barat tersebut ingin diulangi oleh Prabowo-Sandi.
“Keliatan banget, jadi keliatannya mereka melarikan ke TSM lalu melarikan ke kualifikasi pencalonan,” kata Zainal Arifin Mochtar, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) bidang hukum tata negara.
Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara yang juga salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), dan Hadar Nafis Gumay, mantan Komisioner KPU 2012-2017 yang juga pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), juga berpendapat bahwa TSM ini dikejar sebagai jalur lain tim kuasa hukum Prabowo-Sandi untuk memenangkan sengketa, mengingat jalur sengketa hasil penghitungan suara berjarak terlampau jauh, yaitu 16.957.123 suara.
“Dulu memang mereka minta diskualifikasi juga tapi basisnya TSM. Kalau sekarang mereka minta diskualifikasi untuk basis TSM dan basis cacat formal. Jadi saya kira ini kayak amunisi baru yang mereka temukan,” kata Bivitri saat ditemui kumparan di Matraman, Jakarta Timur, Kamis (16/3).
Sementara, Hadar, yang juga menghadapi gugatan Prabowo pada 2014, menduga akan lebih sulit kubu Prabowo memenangkan sengketa apabila yang dipermasalahkan hanya hasil penghitungan suara.
“Bukti yang paling aktual tentu saja salinan C1 itu. Tapi itu bukan pekerjaan ringan. Waktu itu (2014) saksinya nggak ada bukti C1 dan segala macem itu. Nah setelah itu akan semakin susah. Jadi, saya bisa maklum kalau kemudian mereka [...] mengubah strategi,” kata Hadar.
Namun, senada dengan pendapat Maruarar, baik Zainal, Bivitri, maupun Hadar menilai amat sulit untuk membuktikan tuduhan TSM itu—apalagi untuk mendiskualifikasi paslon 01.
“Kalau TSM sih memang menarik untuk diperbincangkan, tapi pembuktiannya tidak sederhana. Gimana caranya membuktikan TSM? Ya kalau misalnya ada perintah dari Jokowi untuk mencurangi pemilu. Lalu bagaimana membuktikannya bahwa itu ada perintah dari Jokowi? Gimana?” tanya Zainal beretorika, Kamis (13/6).
Zainal kemudian mencontohkan, gugatan tim kuasa hukum Prabowo-Sandi yang menilai adanya penyalahgunaan birokrasi macam menteri yang ikut kampanye. Jika tidak ditemukan bukti perintah Jokowi kepada menteri-menteri tersebut, maka posisi Jokowi akan aman saja dari ancaman diskualifikasi.
“Misalnya, kalau dituduh menggerakan PNS maka pertanyaannya adalah siapa yang menggerakkan? Kalau hanya menterinya yang menggerakkan, tidak bisa menjadi tanggung jawab pasangan calon,” kata Zainal.
Lagipula, menurut Bivitri, setiap tudingan itu harus dikaitkan dampaknya terhadap selisih perolehan suara. "Jadi argumen diskualifikasi itu satu hal. Tapi argumen kualitatif dan kuantitatif itu semua harus di-link, punya pengaruh signifikan nggak terhadap hasil suara. Bener nggak kalau misalnya hal-hal itu terjadi maka sekian juta suara itu akan jatuh ke Pak Prabowo."
Misi mengulangi keberhasilan kasus Kotawaringin Barat juga terkendala beberapa masalah lain. Perbedaan skala magnitude antara Pilkada Kotawaringin Barat yang jumlah pemilihnya pada 2010 hanya 128 ribu dan Pilpres 2019 yang hingga lebih dari 150 juta menjadi salah satu yang utama.
“Kalau di kasus Kotawaringin Barat memang dia didiskualifikasi. Tapi itu soal pembuktian yang sangat (mungkin), di Kotawaringin kan kecil, penduduknya hanya 128 ribu pemilih. Dan itu bisa mereka buktikan di antara pemilih itu, 72 persen menjadi relawan salah satu paslon, kemudian mendapat honor,” ujar Maruarar.
“Tapi, untuk republik Indonesia dengan jumlah pemilih mungkin 150 juta? Itu tidaklah suatu hal yang mudah,” tambahnya.
Selain itu, berubahnya peran MK dalam penyelesaian sengketa yang tertulis dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu juga menjadi salah satu hambatan. Bivitri berujar, “Rezim pengaturannya berbeda. Antara Pilkada dengan Pilpres, itu pengaturannya beda sekali.”
“(Kritik) mahkamah kalkulator saja sebenarnya applicable-nya hanya untuk isu Pilkada, yang hanya 2 persen minimal selisih (MK hanya menerima gugatan apabila selisih suara hasil penghitungan KPU tak lebih dari 2 persen). Kalau di pilpres kan nggak ada,” kata Bivitri. Menurutnya, pola Kotawaringin Barat tak akan semudah itu “difotokopi” ke sengketa pilpres kali ini.
Zainal berpendapat serupa. “Kalau ada kecurangan, maka harus bisa dibuktikan bahwa kecurangan itu semasif dan seluas apa sehingga mempengaruhi perolehan suara. Harus dinilai, sekuat dan semasif apa kecurangan, sehingga itu masuk akal untuk terjadi penggelembungan 18 juta (maksudnya 17 juta) suara,” ujar Zainal.
“Sepanjang itu nggak bisa dibuktikan bahwa terjadi pergeseran 17 juta suara, ya susah,” katanya.
Selain itu, Bivitri juga berpendapat bahwa petitum yang diminta oleh tim Prabowo-Sandi dengan dalil-dalil yang disampaikan tampak tak koheren. "Antara yang didalilkan dalam permohonan dengan petitumnya itu agak tidak nyambung terutama bagian akhir, bukan hanya soal diskualifikasi, tapi permintaan memecat semua anggota KPU dan lain sebagainya."
"Pertama nggak koheren dengan permohonan secara umum, dan kedua di luar isi undang-undang terkait biasanya petitum itu seperti apa," pungkas Bivitri.