Membendung Bahaya Asbes

11 Januari 2018 16:16 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ada puluhan pabrik berbahan baku asbes, ribuan buruh bekerja di industri asbes, dan jutaan warga mengonsumsi produk berbahan baku asbes. Sebanyak itulah jumlah yang diperkirakan terkena risiko kesehatan akibat asbes.
ADVERTISEMENT
Bahan baku yang dikenal murah, tahan api dan panas, serta kuat ini digunakan sebagai bahan campuran atap, semen, kampas rem, hingga tekstil. Sebegitu banyaknya asbes digunakan oleh Indonesia --satu dari dari lima konsumen asbes terbesar di dunia.
Pada 2012, impor asbes di Indonesia meningkat enam kali lipat dibanding pada 1990, mencapai 161.823 metrik ton. Baru pada 2014 impor asbes menurun sebesar 32 persen menjadi 109 ribu metrik ton.
Peringkat konsumen tertinggi asbes diduduki oleh China, disusul Rusia, India, Brasil, Indonesia, Uzbekistan, Vietnam, Sri Lanka, Thailand, dan Kazakhstan. Sepuluh negara ini mengonsumsi total 95 persen dari asbes di seluruh dunia.
Sementara produsen terbesar diduduki oleh Rusia, China, Brasil, dan Kazakhstan yang menghasilkan hampir 100 persen asbes yang diperjualbelikan. Rusia sendiri menggantikan Kanada yang kini telah melarang total penggunaan asbes setelah angka kematian akibat paparan asbes meningkat 60 persen dalam 12 tahun di wilayahnya.
ADVERTISEMENT
“Industri ini sebenarnya tengah sekarat,” ujar Direktur LION Indonesia (Local Initiative OSH Network) Wiranta Yudha pada kumparan, Kamis (4/1).
Pabrik Pengguna Bahan Baku Asbes di Cikarang (Foto: Bay Ismoyo/AFP)
Semakin banyak negara yang melarang penggunaan asbes, terutama negara-negara maju, membuat permintaan asbes semakin berkurang. Seperti pada umumnya teori ekonomi--sedikit permintaan dari pasar membuat produksi asbes juga berkurang.
“Dalam posisi sekarat, dia berusaha sekuat tenaga untuk bertahan hidup,” kata Wira.
Setelah Kanada menutup tambangnya dan berhenti mengekspor asbes, disusul Brasil yang segera berhenti memproduksi dan melarang penggunaan asbes, kini tinggal Rusia produsen terbesar yang tersisa.
Di negerinya sendiri pun, Rusia mengurangi penggunaan asbes hingga 91 persen, sementara produksinya menurun 41 persen dari 1,1 juta metrik ton pada 2015 menjadi 645 ribu metrik ton pada 2016.
ADVERTISEMENT
Bagi Wira, industri asbes sebetulnya tinggal menunggu mati saja. Kesadaran akan bahaya paparan asbes terhadap kesehatan mendorong lahirnya kebijakan pelarangan asbes di berbagai belahan dunia.
“Dengan semakin banyaknya catatan bukti bahaya racun asbes terhadap manusia, berbagai kebijakan diambil untuk melindungi populasi,” tulis Laurie Kazan-Allen dalam artikelnya, The Fall of Asbestos Empire.
World Health Organization (WHO) memperkirakan kematian akibat pajanan asbes mencapai 107 ribu jiwa setiap tahun di seluruh dunia. Angka tersebut di luar mereka yang secara tidak langsung terpapar oleh serat-serat asbes, seperti konsumen produk berbahan baku asbes.
Sementara artikel ilmial berjudul Estimation of the Global Burden of Mesothelioma Deaths From Incomplete National Mortality Data mencatat, sebanyak 38.400 kematian terjadi akibat mesotelioma. Sebesar 90 persen penyebab penyakit itu adalah karena paparan asbes dalam jangka waktu lama, 10-20 tahun.
ADVERTISEMENT
Jika ditambahkan dengan penyakit terkait asbes lain seperti kanker paru-paru, maka jumlah kematian akibat asbes bisa mencapai 250 ribu jiwa di seluruh dunia per tahunnya.
Maka tak heran jika 62 negara di seluruh dunia memilih untuk berhenti menggunakan asbes secara total atau sebagian.
“Ini soal willingness negara saja. Apakah negara mau bersikap tegas menjamin kesehatan warga negaranya dengan melarang penggunaan asbes di Indonesia?” ujar Wira.
Sebelum asbes dilarang
Meski sejuta bahaya mengancam, pelarangan asbes tak bisa dilakukan dengan gegabah. Nyatanya, banyak hal mesti dipersiapkan terlebih dulu sebelum kepanikan melanda.
Maka perlu diperhitungkan siapa saja yang berpotensi terpapar asbes dan berisiko terkena penyakit asbestosis. Mereka ini ialah orang yang berisiko terpapar asbes, antara lain para pekerja di industri berbahan baku asbes, pengguna produk asbes, hingga pekerja yang menggunakan barang berbahan baku asbes.
ADVERTISEMENT
“Yang kita lupa adalah kalau jadi sampah. Siapa yang membuang, di mana dibuangnya, siapa yang berada di sekitar situ. Belum lagi rumah tangga, ditambah jika ada bencana, penggusuran, atau kebakaran,” papar dr. Anna Suraya, Ketua Bidang Pengembangan Ilmiah Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia, terkait mereka yang terpapar bahaya serat asbes.
Rumah Beratap Asbes. (Foto: Jafrianto/kumparan)
Perlu juga pemahaman menyeluruh agar tak tercipta ketakutan yang tak diperlukan di tengah warga. Sehingga tak timbul tindakan-tindakan yang justru menimbulkan paparan asbes seperti pembongkaran.
Jika semua orang takut lalu, misalnya, ramai-ramai membongkar atap asbes, maka bahaya justru bisa datang.
“Kalau membongkar, itu kan berarti memecah, kan tambah terhirup. Sudah dibongkar, lalu dibuang ke mana? Jadi Infrastrukturnya harus betul-betul siap,” kata dr. Anna di kediamannya, Jakarta, Kamis (28/12/2017).
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan, bahaya asbes ada pada serat-seratnya yang tipis dan tajam. Pada produk jadi, seperti atap, serat asbes bisa terhirup jika atap ini patah.
Serat Asbes Putih (Foto: Wikimedia Commons)
Oleh karenanya, bagi masyarakat yang sudah telanjur menggunakan atap asbes, disarankan untuk segera mengecat atap asbesnya agar tak terkikis. Andai dibongkar, haruslah sangat hati-hati agar atap tersebut tak patah. Kemudian sebelum dibuang, siram terlebih dulu atap asbes tersebut untuk selanjutnya dikubur.
Intinya adalah menghindari timbulnya serat asbes ke permukaan yang bisa terhirup dan mengganggu paru-paru.
Sementara jika bicara kesehatan dan keselamatan kerja, maka tingkatan teratas adalah menghilangkan bahayanya. Itu artinya menghilangkan bahan baku asbes tersebut.
“Dalam hierarki pengendalian bahaya, tingkatan paling tinggi adalah menghilangkan bahan-bahan atau menghilangkan bahayanya. Yang paling rendah adalah penggunaan alat pelindung diri,” kata Wira.
ADVERTISEMENT
Dalam manajemen kesehatan kerja, pengendalian bahaya dilakukan dalam lima tahapan. Pertama, eliminasi dengan menghilangkan bahan-bahan berbahaya. Kedua, substitusi, yakni mengganti bahan-bahan berbahaya tersebut.
Jika tidak bisa, maka ketiga, dilakukan kontrol teknik seperti sistem ventilasi, mesin penjagaan, dan sebagainya. Keempat, kontrol administratif dengan pemberitahuan tanda bahaya, prosedur keselamatan, inspeksi peralatan, kontrol akses, dan sebagainya. Paling rendah, kelima, adalah penggunaan alat pelindung diri.
“Dalam konteks asbes, bahaya yang harus dihilangkan adalah asbesnya. Jadi memang kita susah untuk mengutak-atik pekerja supaya mereka pakai ini (alat pelindung diri) tapi bahayanya tetap ada,” ujar Wira.
Baginya, itu sama saja dengan memagari lubang namun tidak menghilangkan lubang tersebut.
Kondisi Paru Penderita Asbestosis (Foto: Wikimedia Commons)
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001, asbes dikategorikan sebagai bahan berbahaya dan beracun. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014, asbes masuk kategori pertama (A1) sebagai bahan berbahaya dan beracun.
ADVERTISEMENT
Maka sebenarnya, bahaya asbes telah disadari. Setidaknya itu tercermin dalam produk hukum yang dikeluarkan.
“Artinya Indonesia sendiri punya standar ganda. Dia mengakui (bahaya asbes) tapi (asbes) masih boleh digunakan,” kritik Wira terkait penegakan kebijakan soal asbes ini.
Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan Kesehatan Kerja Sudi Astono mengatakan pemerintah telah melarang asbes biru.
“Asbes biru yang sudah dilarang oleh pemerintah Indonesia jelas dapat menyebabkan kanker. (Sementara) asbes putih memang bisa menyebabkan asbestosis. Secara teori dan literatur diketahui bahwa asbes itu bisa menyebabkan asbestosis. Makanya ada peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) pada penggunaan asbes, supaya tidak menimbulkan asbestosis,” kata Sudi kepada kumparan, Selasa (9/1).
Serat Asbestos Biru (Foto: Wikimedia Commons)
Soal apakah Indonesia berencana melarang asbes, Sudi menyatakan itu bukan kapasitasnya untuk menjawab. “Karena persoalan itu menyangkut perhitungan sosial-ekonomi dan kebijakan ketenagakerjaan yang berada di level tinggi.”
ADVERTISEMENT
Asbes yang mulai banyak ditinggalkan itu kini bisa diganti dengan material lain seperti polyurethane foams, flour fillers, cellulose fibres, thermoset plastic flour, atau amorphous silica fabrics. Kelima bahan tersebut paling sering digunakan karena aman bagi kesehatan, ramah lingkungan, dan hemat energi.
Jika pada 1980-an kita masih kesulitan mencari bahan baku pengganti asbes yang memiliki kualitas serupa dengan harga yang juga murah, maka kini pilihan lain pengganti asbes sudah banyak tersedia. Yang dibutuhkan hanyalah kehendak untuk mengganti asbes dengan bahan yang lebih aman.
Setelah upaya pencegahan dilakukan, maka kemudian yang mesti dijalani adalah pengobatan dan upaya medis. “Saya sih pengennya Indonesia memiliki standar (diagnosis) nanti seperti apa, pendidikan dokternya seperti apa, bagaimana guidance-nya, dokter ini perannya apa,” harap dr. Anna.
Hasil Diagnosa Sriyono, Penderita Asbestosis (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Idealnya, nanti akan banyak dokter terlibat menangani penyakit-penyakit terkait asbes, mulai dari dokter umum jika mendengar keluhan pekerja di industri asbes, dokter spesialis paru-paru yang harus mendiagnosis, hingga dokter rontgen dalam membedakan mereka yang terkena TBC atau asbestosis.
ADVERTISEMENT
Untuk itulah diperlukan upaya bertahap. “Jadi ini harus berakhir dengan semua aman. Bertahap dan sudah siap. Karena kalau tidak siap, akan menimbulkan kepanikan sendiri,” tutup dr. Anna.
Maka di tengah industri asbes yang sayup-sayup sudah mulai ditinggalkan, mempersiapkan Indonesia bebas asbes tampaknya perlu dilakukan mulai sekarang.
Pabrik Asbes di Cibinong. (Foto: Ridho Robby/kumparan)