Menanti Tahun Tanpa Kebakaran Hutan

18 Oktober 2019 13:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana kebakaran hutan di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Foto: Reuters/Willy Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana kebakaran hutan di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Foto: Reuters/Willy Kurniawan
ADVERTISEMENT
Ita tak lagi bisa sesantai biasanya. Apoteker di Apotek Azzil yang terletak di Jalan Sultan Adam, Banjarmasin, Kalimantan Selatan itu harus pontang-panting melayani konsumen yang membludak. Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) membuat warga kesulitan bernapas. Mereka, beramai-ramai memburu masker.
ADVERTISEMENT
Biasanya, kata Ita, penjualan masker di apoteknya hanya 20-30 masker sehari. Namun, semenjak kabut asap membekap Banjarmasin, penjualan meningkat hingga lebih dari 200 masker per hari.
Kebakaran hutan di Ogan Ilir Foto: Nova Wahyudi
"Padahal biasanya paling dalam seminggu kami menjual 3 sampai 5 kotak saja, minggu ini sudah lebih dari 10 kotak," ucap Ita saat ditemui banjarhits.id, partner 1001 media kumparan, awal bulan lalu.
Berdasarkan buku ‘Lindungi Diri dari Bencana Kabut Asap’ (2017) yang dirilis World Health Organization (WHO) dan Kementerian Kesehatan, asap dalam kebakaran hutan memang mengandung zat berbahaya. Oleh sebab itu, penggunaan masker merupakan cara untuk mengurangi masuknya zat berbahaya ke dalam tubuh.
Paling tidak, ada empat zat berbahaya yang terkandung dalam asap karhutla. Yakni, Karbon Monoksida (CO), Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Dioksida (NO2), dan Ozon Permukaan (O3). Keempat zat tersebut mampu merusak jaringan pernapasan makhluk hidup.
Api membakar hutan dan lahan gambut di jalan Gubernur Syarkawi, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (15/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Karbon Monoksida (CO) dapat menimbulkan sesak napas dan pusing. Sementara itu, Sulfur Dioksida (SO2) dapat menyebabkan saluran pernapasan mengecil. Belum lagi Ozon (O3) yang dapat menyebabkan tenggorokan menjadi iritasi. Ditambah lagi dengan Nitrogen Dioksida (NO2) yang memicu penyakit paru-paru kronik.
ADVERTISEMENT
Empat zat beracun itu pun disinyalir masuk ke dalam paru-paru warga di enam provinsi. Data Januari hingga 23 September menunjukkan, 909.516 orang terjangkit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Kalimantan dan Sumatera. Data tersebut merujuk pada rilis terakhir yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan.
Sementara itu, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada satu orang yang meninggal dunia akibat kabut asap pada 2019. Ia adalah Asmara bin Ripai, anggota Manggala Agni Daops Muara Bulian, korps yang dibentuk Kementerian Kehutanan. Dia kehilangan nyawa setelah tertimpa pohon saat bertugas memadamkan kebakaran hutan di Tahura Senami, Jambi, Jumat 23 Agustus.
Meski demikian, kumparan mencatat bahwa korban jiwa terkait karhutla lebih dari satu orang. Juga di Jambi, Suparlan, seorang warga Suku Anak Dalam, meninggal dunia usai empat hari mengalami sesak napas pada 17 September 2019. Sementara di Palembang, Elsa Pitaloka, bayi berusia tiga bulan juga meninggal akibat sesak napas pada 18 September 2019.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2016, BNPB mencatat bahwa ada dua orang yang meninggal. Sementara angka korban jiwa terbanyak tercatat pada 2015. Kala itu, 25 orang meninggal akibat karhutla.
Berdasarkan buku Di Balik Tragedi Asap: Catatan Kebakaran Hutan dan Lahan 2015, disebutkan bahwa tahun 2015 merupakan tahun yang kelam untuk peristiwa karhutla. Di tahun itu, kabut asap melumpuhkan aktivitas belajar-mengajar. 4,7 juta siswa tak bisa belajar akibat ditutupnya 24.773 sekolah.
Distribusi barang dan kebutuhan pokok masyarakat pun terganggu. Bahkan, 35 bandara terpaksa berhenti operasi.
Secara khusus, Bank Dunia menaruh perhatian yang besar pada peristiwa karhutla di tahun tersebut. Dalam laporan setebal 12 halaman berjudul ‘Kerugian dari Kebakaran Hutan: Analisa Dampak Ekonomi dari Krisis Kebakaran Tahun 2015’, Bank Dunia memperkirakan kerugian akibat karhutla pada Juni-Oktober 2015 mencapai Rp 228,84 Triliun (kurs Rp 14.193).
ADVERTISEMENT
Meski karhutla tahun 2015 tercatat yang paling buruk, jumlah kejadian karhutla tertinggi terjadi pada 2018 lalu. Pada tahun tersebut, BNPB mencatat terjadi 527 kasus karhutla. Jumlah itu jelas lebih banyak ketimbang tahun 2015 yang berjumlah 46 kejadian.
Di tahun 2015 pula, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat jumlah titik panas (hotspot) mencapai 136.108 titik. Titik panas sendiri merupakan area yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan sekitarnya. Titik-titiknya biasa dideteksi melalui satelit.
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI), Arya Perdana, menyoroti negara yang tak mampu menangani karhutla secara efektif. Menurut dia, negara jalan di tempat dalam mendeteksi titik panas.
Pengendara kendaraan bermotor melintas di jalan Soekarno Hatta ketika kabut asap pekat dampak karhutla menyelimuti Kota Pekanbaru, Riau, Selasa (17/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Rony Muharrman
“Lemahnya pengawasan upaya restorasi ekosistem gambut, khususnya pada kawasan konsesi mengakibatkan penanganan karhutla tidak mengalami kemajuan. Bahkan, semakin memburuk jika mempertimbangkan peningkatan data hotspot saat ini,” kata Arya saat dihubungi kumparan, Rabu (16/10).
ADVERTISEMENT
Arya memang benar. Masih berdasarkan data yang sama, tren karhutla memang mengalami peningkatan. Khususnya, dari tahun 2017 ke 2019. Dalam periode itu, titik panas yang terdeteksi oleh satelit mengalami peningkatan yang konsisten. Belum lagi perkara luas lahan dan hutan yang habis terbakar.
Menurut Arya, negara tak serius dalam mencari akar permasalahan kebakaran hutan. Ketidakseriusan itu, ditambah dengan sikap menutup mata terhadap perusahaan yang tak melakukan restorasi terhadap kawasan konsesi. Penegakan hukum yang lemah juga membuat korporasi seenaknya melanggar hukum.
“WALHI memandang penanganan kebakaran hutan dan lahan pada tahun ini tidak akan maksimal seperti tahun-tahun sebelumnya. Melindungi investasi sama saja artinya membuka ruang kompromi penegakan hukum. Apakah yang dimaksud Jokowi seperti itu?” pungkasnya.
ADVERTISEMENT