Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Mengapa Pemerintah Tidak Sebut Kata "Rohingya"?
12 September 2017 15:46 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia menjadi yang terdepan dalam upaya diplomasi menghentikan kekerasan terhadap Rohingya di Rakhine, Myanmar. Berbagai pernyataan dilontarkan pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri, bahkan Presiden Joko Widodo juga menyampaikan sikapnya dan mengirim Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengunjungi Myanmar dan Bangladesh.
ADVERTISEMENT
Dalam pernyataannya 3 September lalu, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa dia pribadi dan seluruh rakyat Indonesia menyesalkan aksi kekerasan di Rakhine State, Myanmar. Jokowi dalam pernyataan yang juga disampaikan secara tertulis kepada wartawan itu juga mengatakan perlu aksi nyata, tidak hanya kecaman, untuk mengatasi krisis kemanusiaan.
Pernyataan yang sama disampaikan oleh Menlu Retno dalam pertemuannya dengan panglima angkatan darat Myanmar dan penasihat negara itu, Aung San Suu Kyi.
Namun jika diperhatikan ada satu kata yang hilang dari berbagai pernyataan pemerintah ini, sebuah kata yang jadi inti dari konflik di Myanmar, yaitu: "Rohingya".
Etnis Muslim Rohingya adalah korban utama dalam konflik di Rakhine. Ratusan ribu dari mereka mengungsi ke Bangladesh setelah desa-desa mereka dibakar oleh pasukan Myanmar dengan alasan operasi militer sebagai pembalasan atas serangan militan ke pos-pos polisi. Agak janggal jika nama Rohingya hilang, padahal seharusnya itu yang paling lantang disuarakan.
ADVERTISEMENT
Saat dimintai konfirmasi, juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir tidak secara langsung menjawab pertanyaan mengapa kata "Rohingya" tidak pernah disebut.
Kepada kumparan, Senin (11/9), Arrmanatha mengatakan: "Fokus kita adalah memberikan bantuan kemanusiaan secara inklusif, yang jadi korban di Rakhine State dari berbagai etnis dan agama."
Kebijakan Aung San Suu Kyi
Tidak menyebut kata "Rohingya" sebenarnya adalah kebijakan pemerintah Myanmar yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, walau dia bukan presiden. Bagi pemerintah Myanmar, 1,1 juta warga etnis minoritas Muslim tanpa kewarganegaraan itu bukanlah Rohingya, tapi imigran ilegal dari Bangladesh. Istilah Rohingya sangat sensitif di Myanmar.
Sejak zaman junta militer, Rohingya yang dianggap imigran ilegal Bangladesh disebut sebagai "orang-orang Benggala" oleh pemerintah dan warga Rakhine, walau mereka telah tinggal beberapa generasi di Myanmar.
ADVERTISEMENT
Juni tahun lalu, Suu Kyi mengatakan kepada Pelapor Khusus PBB untuk HAM, Yanghee Lee, bahwa pemerintahnya menghindari kata "Rohingya".
"Dalam pertemuan pagi ini, Menteri Luar Negeri kami Daw Aung San Suu Kyi menjelaskan posisi kami dalam isu ini, bahwa kata kontroversial itu [Rohingya] harus dihindari," ujar Aung Lin, pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri Myanmar, seperti dikutip Reuters pada Juni 2016.
Laporan Lee yang menyebut kata "Rohingya" juga mendapat protes keras dari pemerintah Myanmar. Menurut pejabat Myanmar ketika berbicara dengan Dewan HAM PBB tahun lalu, Thet Thinzar Tun, penggunaan kata Rohingya oleh perwakilan PBB akan semakin "menyulut api" dan membuat "situasi semakin buruk".
Sebelum kunjungan Lee ke Myanmar Juni lalu, sebuah dokumen berlabel "rahasia" diungkap Reuters. Dalam dokumen itu, pemerintah Suu Kyi melarang seluruh pejabat Myanmar menyebut kata "Rohingya", dan menggantinya dengan "orang-orang yang meyakini Islam" atau "Muslim Rakhine State."
ADVERTISEMENT
Itulah sebabnya juga, laporan Komisi Penasihat untuk Rakhine State pimpinan mantan Sekjen PBB Kofi Annan tidak menyebut kata "Rohingya". Namun komisi itu dalam laporannya menjelaskan bahwa kata Rohingya dihilangkan atas permintaan Aung San Suu Kyi yang juga menjabat Penasihat Negara.
"Sesuai permintaan Penasihat Negara, Komisi tidak menggunakan kata 'Benggala' atau 'Rohingya', yang kemudian merujuk kepada "Muslim" atau 'Komunitas Muslim di Rakhine'. Ini tidak termasuk Muslim Kaman, yang dirujuk dengan nama 'Kaman'," tulis bab nomenklatur dalam laporan tersebut.
Jalan Aman
Menurut pengamat hubungan internasional, sikap pemerintah Indonesia yang menghindari kata "Rohingya" jika berhadapan dengan Myanmar sudah tepat. Pemerintah mengambil jalan aman demi kemaslahatan Rohingya secara jangka panjang.
"Ini demi Rohingya. Tone-nya direndahkan, intonasi se-soft mungkin. Dengan pertimbangan seperti itu, payoff untuk Rohingya besar. Dengan pendekatan Kemlu ini, Rohingya yang mendapatkan gain terbesar dari hasil diplomasi ini," kata pengamat hubungan internasional sekaligus wakil sekretaris jenderal GP Ansor, Mahmud Syaltout, kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Benar saja, pemerintah Indonesia diterima dengan baik oleh Aung San Suu Kyi. Beberapa komitmen disampaikan, termasuk memberi akses bantuan kemanusiaan asal Indonesia. Pemerintah Indonesia dalam pertemuan itu juga menyampaikan formula 4+1, berupa usulan penyelesaian konflik di Rakhine. (Baca: Kepada Suu Kyi, Menlu Serukan Usulan 4+1 untuk Akhiri Derita Rohingya )
Empat elemen dari formula tersebut adalah mengembalikan stabilitas dan keamanan, menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan, perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine tanpa memandang suku dan agama, dan pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan keamanan. Satu elemen lainnya adalah pentingnya agar rekomendasi Komisi Penasihat untuk Rakhine State yang dipimpin Kofi Annan segera diimplementasikan.
Di antara poin penting dalam rekomendasi Kofi Annan itu adalah dibukanya akses bantuan kemanusiaan, akses bagi media, penegakan hukum, kewarganegaraan dan kebebasan bergerak, dan pengembangan ekonomi sosial di Rakhine.
ADVERTISEMENT
Dengan sikap ini, lanjut Mahmud, Indonesia dan Myanmar sama-sama mengalah. Indonesia mengalah dengan tidak menyebut nama Rohingya, Myanmar mengalah dengan membuka akses ke Rakhine untuk bantuan kemanusiaan.
Walau langkah ini tepat, tapi menurut peraih gelar doktor hukum internasional dari Paris Descartes University ini, kurang sempurna. Mahmud mengatakan, Indonesia bisa melakukan pendekatan geo-politis dengan membuka dialog dengan China untuk membantu ekonomi Myanmar, sehingga kekerasan di Rakhine bisa luruh sepenuhnya.
"Ini kurang sempurna, karena penyelesaiannya sama-sama mengalah, restrain. Bukan win-win solution. Kita sebenarnya bisa menggandeng China, berdiskusi agar China bisa membantu Myanmar," lanjut Mahmud.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Hanafi Rais mengatakan pemerintah "memiliki kalkulasi sendiri" mengapa kata Rohingya tidak disebut, salah satunya agar Myanmar tidak tersinggung.
ADVERTISEMENT
"Jika Myanmar tersinggung, lantas semua akses kita untuk melanjutkan perundingan bisa diblokir," ujar politisi dari Partai Amanat Nasional ini kepada kumparan.
Namun dia mengingatkan bahwa Indonesia "jangan terlalu ikut dalam genderang permainan Myanmar". Dengan menuruti Myanmar untuk tidak menyebut Rohingya seharusnya Indonesia mendapatkan timbal balik dari pemerintah Suu Kyi.
"Apakah Myanmar mengubah sikap politiknya, membuka diri lebih luas untuk transformasi etnis Rohingya? Itu harus kita dapatkan. Jangan sampai menuruti maunya Myanmar, tapi tidak ada timbal balik," kata Hanafi.