Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Misi Kumandangkan Proklamasi di Sulawesi
17 Agustus 2018 12:54 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Tak mudah menyebarluaskan kabar kemerdekaan di tengah kesewenang-wenangan Jepang yang belum mau mengaku kalah dari Sekutu. Namun di tangan para pejuang, berita proklamasi disiarkan ke pelosok Sulawesi.
ADVERTISEMENT
Pada 10 Agustus 1945, utusan dari Sulawesi yang terdiri dari Sam Ratulangi, Andi Pangerang Petta Rani, Andi Sultan Daeng Radja, serta A.Z. Abidin bertolak ke Jakarta. Mereka hendak menghadiri rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang berlangsung pada 18 Agustus 1945, tepat sehari setelah proklamasi.
Di sisi lain pada 15 Agustus 1945, Jepang menandatangani perjanjian penyerahan yang menyatakan Indonesia tetap berada di bawah pengawasan mereka hingga sekutu tiba mengambil alih. Hal ini kian merintangi komunikasi Sulawesi dengan Pulau Jawa.
Simpang siur berita proklamasi
Ketika Sukarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, belum ada satupun rakyat Sulawesi yang mendengar hal itu kecuali di Luwu, Sulawesi Selatan. Menurut Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Sulawesi Selatan 1945-1950 yang diterbitkan Lembaga Penelitian UNHAS (1984), warga Luwu sempat mengetahui terjadinya proklamasi dengan cepat berkat seorang pemuda bernama Andi Ahmad.
ADVERTISEMENT
Andi Ahmad mengetahui Indonesia telah merdeka sehari sesudah proklamasi dikumandangkan lewat siaran Kantor Berita Domei. Setelah mendengar kabar ini, ia lantas menyebarkannya ke seluruh penjuru Luwu.
Tak puas hanya mengumumkan kemerdekaan, Andi beserta kawannya, M. Yusuf Arief, menggelar pertemuan yang dihadiri tokoh-tokoh pergerakan nasionalis. Pertemuan pada 23 Agustus 1945 itu menghasilkan organisasi bernama ‘Soekarno Muda’.
Meski kabar kemerdekaan telah digaungkan dan organisasi perjuangan telah dibentuk, rakyat Luwu masih menyimpan keraguan terhadap pemerintahan bumiputera. Mereka masih mencari jawaban karena tidak ada berita resmi.
Hingga pada 24 Agustus 1945, warga Luwu sepakat memberangkatkan Andi Makkulau Opu Dg Parebba dan M.Sanusi Dg Mattata ke Makassar pada 24 Agustus 45 untuk mendapatkan berita resmi. Keduanya lalu bertemu dengan Sam Ratulangi yang telah menjadi Gubernur pertama Sulawesi, dan A.Z. Abidin di Empress Hotel, kamar nomor 110.
ADVERTISEMENT
Di hari yang sama, para pemuda yang menjadi Kaigun Heiho (tentara Angkatan Laut) baru mengetahui kekalahan Jepang dan proklamasi Indonesia saat Panglima Pangkalan Istimewa XXIII (Dei Nidzu san Kokubetsu Kongkio Chitai), Laksamana Muda Sugi Mori Kadau, melakukan pertemuan dengan anggota Kaigun di Makassar.
Dalam pertemuan itu dijelaskan kekalahan Jepang, proklamasi Indonesia, dan meminta kesediaan pemuda Indonesia serta Kaigun Heiho untuk menjamin keamanan pada waktu sekutu akan mendarat.
Sam Ratulangi dikecam
Pada akhir Agustus 1945, Sam Ratulangi mengikuti rapat bersama pemimpin-pemimpin rakyat di Makassar. Pada pertemuan itu para pemimpin mengecam Sam yang dinilai lamban bertindak untuk menyatakan diri sebagai Gubernur Sulawesi atas wilayah RI yang telah diproklamirkan.
Berdasarkan sepucuk surat dari A.Z. Abidin yang ditujukan kepada Komisariat Daerah Sulawesi Kementerian Dalam Negeri di Jakarta pada 16 Juli 1946, dilaporkan bahwa “Sekembalinya Sam dari Jawa, beliau tidak bisa menjalankan instruksi dari Soekarno supaya mengambil alih pemerintahan dari tangan Minseifu (Kantor Pemerintahan Sipil yang berada langsung di bawah struktur komando AL Kekaisaran Jepang)”.
ADVERTISEMENT
“Sebab pemerintah militer Jepang di Sulawesi merebut pemerintahan tidak mungkin,” tulis Abidin.
Namun demikian, seluruh rakyat gembira dengan pengangkatan Sam sebagai Gubernur Sulawesi. Di daerah pedalaman, pimpinan pemerintahan yang sebelumnya dijabat oleh Jepang diserahkan kepada Indonesia, dan mulai bertindak sendiri tanpa memperhatikan petunjuk Jepang. Hubungan pemerintah pedalaman dengan staf gubernur dimulai sejak 1 September 45.
Menggaungkan perjuangan hingga Sulawesi Tengah
Proklamasi kemerdekaan juga sampai ke telinga masyarakat Sulawesi Tengah. Di Donggala, berita proklamasi diterima dengan gembira yang meluap-luap oleh para tokoh pergerakan walau ada cemoohan dan rasa angkuh dari golongan antiperjuangan dan antek Belanda.
Akan tetapi para pejuang kala itu baru sampai pada taraf gagasan dan pemikiran menerima berita tersebut, belum sampai pada tindakan konkret. Sebab selama pendudukan Jepang tidak ada kontak dengan Jawa sebagai pusat perjuangan.
ADVERTISEMENT
Pada medio September 45, barulah tiba Alexander Monoarfa (Kepala Kantor Minsenunkookai Donggala) dari Makassar yang membawa informasi soal pedoman perjuangan. Diadakanlah pertemuan antartokoh dan memutuskan untuk membuat organisasi badan perjuangan.
Selain Alexander, pada November 1945 seorang pemuda bernama Piola Isa menggunakan nama samaran Abdul Gani datang ke Donggala membawa informasi tertulis dari Sam untuk dijadikan pedoman dalam gerakan perlawanan terhadap kembalinya Belanda. Dari sana, Piola Isa melanjutkan misinya ke Palu untuk mengadakan pertemuan dan membicarakan instruksi Sam di rumah Lolon Tamene Lamakarate di Biromaru.
Pada 11 November 1945, di pelabuhan Donggala pemuda dari organisasi Pemuda Indonesia Merdeka (PIM) secara gerilya mengadakan upacara penghormatan bendera Merah Putih yang menggemparkan dan membingungkan kaki tangan NICA. Upacara itu dilakukan di waktu malam dengan cara merobek biru dari bendera Belanda sehingga esoknya di atas tiang berkibar Sang Saka Merah Putih.
ADVERTISEMENT
-----------------------------
Simak ulasan lengkap Gaung Proklamasi dengan follow topik Penyelamat Proklamasi. Story-story akan kami sajikan pada Kamis (16/8) hingga Sabtu (18/8).