Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
MUI: Bolehkan Vaksin MR Tunjukkan Fleksibilitas Hukum Islam
20 Agustus 2018 22:59 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memutuskan fatwa bahwa vaksin campak (Measles) dan Rubella (vaksin MR ) produk Serum Institute of India (SII) haram karena dalam proses produksinya menggunakan bahan dari kulit babi. Meski demikian, MUI memperbolehkan penggunaan vaksin MR (mubah) karena adanya kondisi keterpaksaan dan belum ditemukannya vaksi MR yang halal dan suci.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan, dibolehkannya penggunaan vaksin MR sampai ditemukannya vaksin yang halal menunjukkan fleksibilitas hukum Islam. Asrorun mengatakan hukum di Islam tidak kaku sehingga vaksin MR masih bisa menjadi solusi untuk mengatasi penyakit campak dan rubella.
"Ini sekaligus menegaskan fleksibilitas hukum Islam. Tidak mungkin (ada) jalan buntu di dalam Islam, selalu ada jalan keluar. Kalau ada kesulitan, muncul kemudahan," ujar Asrorun di Gedung MUI, Jakarta, Senin (20/8).
"Termasuk kalau tak ada obat halal, atau ada obat halal tapi tak bisa menjangkau karena persoalan jarak, persoalan akses, maka dibolehkan menggunakan barang najis untuk kepentingan pengobatan," imbuhnya.
Asrorun menambahkan, pada dasarnya Allah melarang penggunaan bahan yang haram dalam pengobatan. Namun jika dalam kondisi yang tidak normal tidak ditemukan obat yang halal, maka bahan yang haram tersebut diperbolehkan untuk digunakan.
ADVERTISEMENT
"Ini sebagai stimulasi untuk hanya menggunakan bahan halal dan suci untuk kepentingan pengobatan, ini dalam kondisi ordinary, kondisi ikhtiari, kondisi normal. Tapi dalam praktiknya tidak semulus kondisi normalnya. Ada kondisi yang abnormal yang akhirnya diberikan jalan keluar oleh Islam," ucapnya.
Meski demikian, penggunaan vaksin MR itu hanya dibolehkan untuk sementara waktu hingga ditemukan vaksin MR yang halal.
"Tanggung jawab akademik bersifat wajib kifayah. Kalau tidak ada dan belum ada, kita semua masih terus memiliki tanggung jawab untuk terus melakukan kajian penelitian dan ikhtiar mewujudkan vaksin yang halal," tutup Asrorun.