
Bikin santan dari daging kelapa Tempat tinggal dari batang kelapa Atap rumahku dari daun kelapa Diperas keluar susunya



Dan engkau, hei pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi; engkau jang tentunja anti-imprialisme ekonomi, engkau jang menentang imprialisme politik; kenapa di kalangan engkau banjak jang tidak menentang imprialisme kebudajaan? Kenapa di kalangan engkau banjak jang masih rock-‘n-roll-rock-‘n-rollan, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain-lain sebagainja lagi? Kenapa di kalangan engkau banjak jang gemar membatja tulisan-tulisan dari luaran, jang njata itu adalah imprialisme kebudajaan.



Kalaulah memang kita berpisah itu bukan suratan Mungkin ini lebih baik agar kau puas membagi cinta Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku
Sejarah berulang. Raka Ibrahim merasa RUU Permusikan yang tengah dirancang sekarang punya kemungkinan mengulang kesalahan-kesalahan yang dilakukan negara pada musik di masa lalu. Namun, menurutnya, kecemasan khalayak terhadap RUU ini tak perlu berlebihan. “Mengkhawatirkan, tapi bukan sesuatu yang shocking semestinya. Dari dulu pemerintah juga nggak pernah peduli, nggak pernah memberikan perlindungan (ke musisi).”Ia menceritakan, bagaimana di Orde Lama maupun Orde Baru musik tetap bisa berkembang, mengakar, dan justru bertumbuh semakin kuat. Pada masa Orde Lama di tengah larangan musik Barat oleh Sukarno, yang banyak membawa masuk musik rock ke Indonesia justru anggota Angkatan Udara RI. Mereka membeli piringan hitam saat bertugas di luar negeri, kemudian menyetelnya di Radio Angkatan Udara sehingga khalayak bisa mendengar. Raka juga mencontohkan, bagaimana kedekatan taipan Setiawan Djody amat berpengaruh buat kelancaran konser Kantata Takwa pada masa Orde Baru. Paling banter, Djody, dalam wawancaranya dengan Republika, hanya harus menjawab pertanyaan Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani macam “Kantata itu artinya apa, Djod?” dan “Kenapa (judul lagunya) Orang Kalah, yang kalah siapa?”Raka juga menyebutkan, betapa kemunculan banyak skena musik bawah tanah yang menjamur di kota-kota besar, membuka horizon baru bagi banyak penikmat musik, meski keadaan dan larangan membatasi. “Di Jakarta ada Poster Cafe, di Bandung ada GOR Saparua. Yang penting orang-orang di industri musik bisa terus mengembangkan karyanya dan terus melawan. Ya persetan aja dengan pemerintah.”Band rock macam God Bless, misalnya, juga punya cara bertahan tersendiri dari kontrol masif pemerintah. “Mereka bikin lagu cinta-cintaan, terus di album, ada satu sampai dua lagu yang entah politis atau secara musikal kompleks. Mereka akan nyelipin metafora politis dibungkus rasa nasionalis, atau dibikin Bahasa Inggris,” jelas Raka. Salah satu lagu yang dimaksud berjudul Selamat Pagi Indonesia, yang sebetulnya berbicara secara metaforis soal eksekusi mati seorang kriminal. “Kalaupun (RUU Permusikan) ini lolos, itu bukan sesuatu yang patut membuat kita panik,” kata Raka.Sejarah soal ketakakuran musik dan negara yang panjang lebar diceritakan berulang kali, ia yakini, bukan tanpa tujuan. Ia percaya, musik akan selalu menemukan jalan untuk bersiasat.