Nasib Nahas Manusia Albino di Afrika

5 Februari 2017 17:12 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Josephat Torner, aktivis albino di Tanzania. (Foto: standingvoice.org)
zoom-in-whitePerbesar
Josephat Torner, aktivis albino di Tanzania. (Foto: standingvoice.org)
Keselamatan manusia albino di Afrika terancam.
Albino, kondisi genetis tak sempurna yakni kekurangan pigmen yang ditandai dengan warna kulit dan rambut yang putih, bahkan membuat seorang anak dianggap penyihir di benua tersebut. (Simak: )
ADVERTISEMENT
Dalam laporan berjudul Children Accused of Witchcraft: An Anthropological Study of Contemporary Practices in Africa yang diterbitkan UNICEF pada 2010, diungkapkan data-data yang begitu mencemaskan terkait keberadaan orang-orang dengan albinisme di Afrika.
Perlakukan diskriminasi ekstrem dan kekerasan terhadap orang albino terjadi di Burundi, Tanzania, Pantai Gading, Kongo, Senegal, dan Zimbabwe.
Di Tanzania, kekerasan terhadap orang-orang albino telah mencapai angka yang amat mengkhawatirkan. Lusinan orang albino dibantai pada 2008, terutama di Danau Victoria daerah Mwanza, Shinyanga, dan Mara.
Vedastus Chinese Zangule, pemuda albino Tanzania. (Foto: standingvoice.org)
zoom-in-whitePerbesar
Vedastus Chinese Zangule, pemuda albino Tanzania. (Foto: standingvoice.org)
Di negeri tetangga Tanzania, Burundi, 3 anak kecil dan 2 orang dewasa albino dibunuh, sedangkan 35 orang albino lainnya melaporkan bahwa diri mereka pernah diancam dan diserang pada 2008.
Meskipun angka kekerasan terhadap orang-orang albino di negara Afrika lain tak sebanyak di Tanzania, tapi kondisi mereka secara umum tetap mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT
Seorang perempuan albino dibunuh di Kenya pada Mei 2008. Sementara kepala seorang anak albino ditemukan dalam koper lelaki yang melintasi perbatasan Kongo.
Di Benin, seorang albino berusia 18 tahun melarikan diri dari negeri itu karena takut dibunuh dalam sebuah ritual pembantaian.
Di Zimbabwe, 55 perempuan albino menjadi korban pemerkosaan karena menurut kepercayaan lokal, HIV dapat disembuhkan dengan cara berhubungan intim dengan perempuan albino.
Perempuan albino di Afrika (Foto: Standing Voice/Facebook)
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan albino di Afrika (Foto: Standing Voice/Facebook)
Di negara-negara Afrika lain seperti Kamerun, Mali, dan Senegal, sebanyak 56 orang albino mendapat stigma dan perlakuan diskriminasi yang berat.
Di Kamerun, Jean-Jacques Ndoidounmou, Presiden Association for the Defence and Solidarity of Albinos (Asmodisa), mengatakan, “Orang-orang berpikir kami adalah makhluk ajaib, bahwa kami kembali lagi dari kematian sebagai hukuman dari Tuhan untuk sesuatu yang kami lakukan pada kehidupan kami sebelumnya.”
ADVERTISEMENT
Selain dianggap sebagai dengan bocah “penyihir” yang membawa keburukan dan kesialan, di beberapa negara Afrika anak-anak albino diserang dan dibunuh demi kemakmuran, kekayaan, dan kekuatan lebih besar.
Beberapa bagian tubuh orang albino seperti kulit, lidah, tangan, telinga, tengkorak, jantung, dan organ kelamin mereka, dipercaya memiliki kekuatan magis. Potongan-potongan tubuh itu lantas digunakan untuk membuat ramuan dan mantra.
Bagian-bagian tubuh tersebut kadang disebut dengan istilah “suku cadang” dan diperjualbelikan secara komersial.
Kondisi mengkhawatirkan terkait keselamatan manusia albino di Afrika pernah diangkat ke dalam film dokumenter berjudul In the Shadow of the Sun.
Film yang dirilis pada 2012 itu menceritakan tentang kehidupan orang-orang dengan albinisme di Tanzania, tepatnya di Pulau Ukerewe.
ADVERTISEMENT
Kisah In the Shadow Of The Sun berfokus pada dua orang anggota Tanzanian Albino Society di pulau tersebut. Mereka adalah Vedastus Chinese Zangule, seorang pemuda yang berusaha mencari tempat aman di dunia, dan Josephat Torner, advokat yang memiliki kemauan kuat untuk membantu orang-orang dengan albinisme dan berjuang menyatukan semua orang di negaranya.
Ketika terjadi kenaikan angka pembantaian di daerah mereka, Vedastus melarikan diri dari pulau tersebut, sedangkan Josephat tetap teguh berdiri menghadapi pembunuhan di depan mata kepalanya.
Film berdurasi 1 jam 28 menit itu mendapat apresiasi begitu besar, terbukti dengan banyaknya penghargaan yang didapatkan.
Poster film 'In the Shadow of the Sun' (Foto: standingvoice.org)
zoom-in-whitePerbesar
Poster film 'In the Shadow of the Sun' (Foto: standingvoice.org)
Beberapa hal yang tampak tak masuk akal di sebuah film, ternyata kerap dijumpai dalam kehidupan nyata. Demikian pula dengan tragedi yang menimpa orang-orang albino di Afrika.
ADVERTISEMENT