Pengakuan Muslim Uighur yang Tak Bisa Salat di Kamp Vokasi Xinjiang

3 Maret 2019 19:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kashgar Kamp Vocational Center. Foto: Marcia Audita/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kashgar Kamp Vocational Center. Foto: Marcia Audita/kumparan
ADVERTISEMENT
Usai mendeklarasikan diri menjadi Republik Rakyat China (RRC) pada 1949, China memiliki tiga fase Revolusi Kebudayaan (RK) terkait pendekatan agama rakyatnya. Yakni era RK, pra RK, dan pasca RK.
ADVERTISEMENT
Pra RK, pemerintah menjamin kebebasan warga negara untuk tidak ataupun memeluk agama. Era RK, seluruh aktivitas keagamaan patut dihentikan. Rumah ibadah dihancurkan karena dianggap takhayul yang akan menghambat pertumbuhan negara China yang dipimpin Partai Komunis.
Bendera China Foto: REUTERS/Tyrone Siu
Namun pasca RK, Open Door Policy oleh pemerintah China mulai terbuka. Ideologi sosialis dan agama digaungkan untuk berdampingan. Terlebih pada 2018, China juga menerbitkan buku putih bertajuk "Kebijakan dan Praktik China dalam Melindungi Kebebasan Beragama". China kini mengklaim diri menganut kebijakan melindungi kebebasan beragama warga negaranya.
Shule Kamp Vocational Learning Center. Foto: Marcia Audita/kumparan
Akan tetapi, kebijakan itu bertolak belakang dengan apa yang kumparan lihat dan dengar dari kesaksian muslim etnis Uighur di kamp vokasi Xinjiang. Para penghuni kamp yang dianggap terpapar radikalisme dan ekstremisme agama dilarang salat lima waktu.
Ti Ai Ken, muslim Uighur Kamp Shule. Foto: Marcia Audita/kumparan
"Saya masih salat, meskipun disekolahkan di sini, hanya saja saya tak bisa salat di sini setiap waktu karena sekolah adalah tempat umum. Dan itu dilarang dalam Undang-Undang China," ujar Ti Ai Ken, muslim Uighur yang baru sembilan bulan masuk dalam kamp vokasi Kabupaten Shule, Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang.
Abdul Quddus, muslim Uighur Kamp Hotan. Foto: Marcia Audita/kumparan
Mereka mengaku diizinkan pulang sehari dalam seminggu, di hari-hari yang ditentukan. Di saat pulang itulah mereka bisa melaksanakan ibadah salat.
ADVERTISEMENT
"Saya Senin kemarin pulang dan salat di rumah," kata murid kamp lainnya, Abdul Quddus, di kamp vokasi prefektur Khotan, Xinjiang.
Padahal ibadah salat wajib dilakukan umat Islam lima kali sehari, dalam kondisi apa pun, bukan seminggu sekali. Pembatasan salat wajib ini berarti adalah pengekangan beribadah.
Namun, Quddus terlihat pasrah dengan peraturan di kamp itu. "Karena ini sekolah, saya tidak beribadah di sini, Ini tempat umum. Ketika saya pulang saya baru salat," kata dia.
Mamat Yusuf, muslim Uighur Shule Foto: Marcia Audita/kumparan
Hal serupa juga dialami oleh Mamat Yusuf, warga Uighur di kamp vokasi lainnya di Shule. "Menurut UU salat di sekolah dilarang," kata dia.
Sebagai catatan, saat kumparan mencuri waktu mewawancarai para penghuni kamp, kumparan dan rombongan jurnalis mendapat pengawasan super ketat, dihantui banyak CCTV bahkan dikelilingi lima hingga enam penjaga sekolah dan kerap diikuti, hingga membuat ruang gerak kami terbatas. Selengkapnya sudah kami tulis di artikel berikut:
ADVERTISEMENT
Larangan untuk beribadah di tempat umum tak hanya berlaku untuk Islam, melainkan untuk semua agama. Misal, per 1 Februari 2018, China mengeluarkan aturan anak di bawah usia 18 tahun dilarang memasuki gereja.
Dilansir NCR Online, otoritas di Provinsi Hebei, Xinjiang, dan Gangsu, meminta pendeta-pendeta untuk memajang tanda di depan gereja bahwa anak-anak dilarang masuk.
Ilustrasi sekolah di China. Foto: Facebook/Anna Reizen
Apalagi, sekolah formal di China juga tak menerapkan pelajaran agama. Sehingga, tempat ibadah menjadi satu-satunya tempat untuk menyiarkan agama.
Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) per 2018 melaporkan sebanyak satu juta Muslim Uighur yang diduga terpapar radikalisme, terorisme, dan ekstremisme, dimasukkan ke dalam kamp. Tujuannya tak lain untuk melaksanakan program deradikalisasi.
Wakil Presiden China Islamic Association, Abdul Amin Jin Rubin, sebelumnya mengungkapkan China tak pernah menjunjung adanya diskriminasi agama.
ADVERTISEMENT
Hal itu dibuktikan dengan banyaknya penduduk Muslim di China, yakni sekitar 22 juta yang tersebar di berbagai provinsi, yakni Ganzu, Xinjiang, Qinghai, Yunnan, Ningxia, Hebei, Shandong, hingga Henan.
Wakil Presiden China Islamic Association, Abdul Amin Jin Rubin. Foto: Marcia Audita/kumparan
"Muslim di China menikmati kebabasan, di Beijing, masjid selalu terbuka. Banyak pula restoran halal di sini. Bahkan sengaja diangkat untuk menumbuhkan ekonomi pasar. Pemerintah justru mendukung produk halal di China," imbuhnya saat ditemui di kantornya, Beijing.
"Saya menganggap tidak ada diskriminasi melawan orang-orang di Xinjiang. Pemerintah justru melindungi hak hukum, kekerasan melalui pendidikan edukasi di Xinjiang. Saya tak melihat adanya kekerasan dan diskriminasi di sana," tegasnya.