Penggugat Minta MK Batalkan Revisi UU KPK: Paripurna DPR Tak Kuorum

30 September 2019 11:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman memimpin sidang perdana pengujian UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Mahkamah Konstituai, Jakarta, Senin (30/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman memimpin sidang perdana pengujian UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Mahkamah Konstituai, Jakarta, Senin (30/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana terkait permohonan pengujian yudisial terhadap revisi UU KPK yang baru disahkan DPR.
ADVERTISEMENT
Pengujian UU KPK itu diajukan 18 pemohon yang mayoritas merupakan mahasiswa. Dalam permohonan uji formil, para pemohon mempersoalkan pengesahan revisi UU KPK oleh DPR.
Kuasa pemohon, Zico Leonard Simanjuntak, mengatakan pengesahan revisi UU KPK oleh DPR penuh kejanggalan. Sebab rapat paripurna DPR untuk mengesahkan revisi UU KPK tak kuorum.
Dia menjelaskan, rapat paripurna saat itu hanya dihadiri 80 anggota DPR. Sedangkan pimpinan DPR menyebut anggota yang hadir sebanyak 289 orang.
Zico Leonard Djagardo Sumanjuntak, salah satu anak muda yang mengajukan gugatan uji materi UU MD3 ke MK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
"Terdapat kejanggalan dalam proses pengambilan suara untuk pengesahan UU a quo. Berdasarkan hitung manual, rapat paripurna hanya dihadiri 80 anggota DPR saat dibuka. Meski demikian, Fahri (Hamzah) menyatakan ada 289 yang tercatat hadir dan izin dari 560 anggota dewan," ujar Zico di ruang sidang gedung MK, Jakarta, Senin (30/9).
ADVERTISEMENT
Diketahui pengesahan RUU di DPR harus memenuhi syarat kuorum. Hal itu ada di Pasal 232 UU MD3 yang berbunyi:
(1) Setiap rapat atau sidang DPR dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
(2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah fraksi, kecuali dalam rapat pengambilan keputusan terhadap pelaksanaan hak menyatakan pendapat.
(3) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam.
(4) Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPR.
ADVERTISEMENT
Dalam permohonan uji formil UU KPK, para pemohon juga menilai pengesahan UU tersebut terkesan tertutup. Hal itu menurut Zico tak sesuai prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur di Pasal 188 ayat 1-3 Perpres No. 87 Tahun 2014 tentang Pembentukan Perundang-undangan.
Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman memimpin sidang perdana pengujian UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Mahkamah Konstituai, Jakarta, Senin (30/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
"Tidak terpenuhinya asas keterbukaan ini dapat dilihat dari keputusan revisi yang diambil secara tiba-tiba serta pembahasan yang dilakukan secara tertutup dan dalam waktu yang sangat terbatas. Bukannya terlebih dahulu melibatkan partisipasi masyarakat untuk mendengar, pembentuk UU justru tetap mengesahkan UU a quo meski telah ditolak habis-habisan," jelas Zico.
Untuk itu dalam permohonannya, Zico meminta MK untuk membatalkan UU KPK hasil revisi yang belum diundangkan tersebut. Sebab pembentukan UU itu tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
"Menyatakan Undang-Undang Nomor… Tahun… tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ucap Zico dalam petitumnya.
Menanggapi gugatan tersebut, hakim MK Enny Nurbaningsih meminta kepada pemohon untuk memastikan UU KPK mana yang digugat. Sebab UU KPK yang baru saja disahkan DPR belum diundangkan oleh pemerintah dan belum diberi nomor.
"Karena yang diminta oleh pemohon kan juga kepastian hukum. Sehingga harus ada kepastian pula UU mana yang dimintakan pengujiannya oleh MK. Itu harus, pokok itu ya. Karena dalam judulnya sendiri diberi tulisan titik titik," ujar Enny.
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Enny Nurbaningsih saat sidang perdana pengujian UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Mahkamah Konstituai, Jakarta, Senin (30/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Sebab menurut Enny, UU KPK hasil revisi tersebut belum memiliki kekuatan hukum mengikat lantaran belum diundangkan dan belum diberi nomor.
ADVERTISEMENT
"Kalau UU masih titik titik gitu (belum ada nomor -red), dia (UU) belum punya kekuatan mengikat. Kekuatan mengikat setelah dia diundangkan. Misalnya ingin dibatalkan MK, itu yang disebutkan nanti ini di lembaran negara mana, tambahan lembaran negara mana dari UU itu," ucap Enny.
Enny juga meminta para pemohon untuk menguraikan kerugiannya masing-masing terhadap berlakunya UU tersebut.
"Hak konstitisional apa yang dirugikan akibat berlakunya norma dari ketentuan yang sudah mengikat itu. Itu harus diuraikan. Kalau ternyata uraian pemohon 1 dan pemohon sekian sama, tak usah diulangi berkali-kali," tutup Enny.