Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
“Eh, lu nggak mau nerbangin, nih? Serius lu?”
“Hidup lu susah deh, enggak bisa jadi kapten.”
ADVERTISEMENT
Kopilot muda itu tak punya pilihan. Meski duty period-nya sudah habis dan badannya yang remuk redam buatnya tak konsen hingga bisa bahayakan penumpang, ia mau tak mau kembali terbang.
Dalam beberapa dekade pertama setelah pesawat diciptakan sebagai moda transportasi, 80 persen penyebab kecelakaan pesawat terbang diatribusikan kepada mesin dan rumit mekanikanya yang uzur. Kesalahan manusia di belakang kemudi hanya menyumbang 20 persen kecelakaan. Kecil saja.
Melompat 100 tahun setelahnya, yakni di dekade 2000-2010an, rekor tersebut berbalik. “Bicara global―bukan cuma di Indonesia, sekitar 90 persen (kecelakaan pesawat) terjadi karena manusia,” cermat pengamat penerbangan Alvin Lie.
Catatan Alvin tak jauh berbeda dari studi yang dikeluarkan Boeing pada 2007. Investigasi internal pabrikan pesawat terbesar dunia asal Seattle, Washington, Amerika Serikat itu mengungkap bahwa eror di sistem maupun mesin pesawat hanya menyumbang seperlima porsi penyebab kecelakaan. Sementara sisa 80 persen kecelakaan disebabkan oleh manusia.
ADVERTISEMENT
Bisa dipahami, manusia-manusia dalam kokpit jadi sosok yang mendapat sorotan paling tajam. Menurut Rich Stowell, instruktur terbang kenamaan dari Amerika Serikat dalam tulisannya di Aviation Safety Magazine , pilot memang bertanggung jawab dalam 90 persen kecelakaan pesawat.
Hal tersebut tak lepas dari tanggung jawab pilot yang superberat. Tanggung jawab itu berentet, dari membuat diskresi akhir untuk menentukan kelayakan terbang pesawat berdasar hasil pemeriksaan teknisi, hingga menghadapi ribuan kemungkinan yang bisa terjadi di udara, dan memutuskan dalam hitungan detik langkah tepat apa yang harus dilakukan.
Padahal, pilot yang bekerja di low-cost carrier (LCC―maskapai bertarif rendah) yang umumnya melayani rute pendek, bisa terbang sekitar 4-6 kali dalam sehari. Ini berarti, dalam 24 jam, pilot bisa berada di udara selama 5-6 jam. Akibatnya, kelelahan (fatigue) menjadi sebuah keniscayaan.
ADVERTISEMENT
Kelelahan pada pilot bukanlah hal yang boleh disepelekan. Kelelahan merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi penurunan performa seorang pilot.
Pilot yang kelelahan akan mengalami penurunan kecepatan reaksi, penurunan tingkat konsentrasi, dan penurunan mutu pengambilan keputusan. Tak heran, dari 80 persen kesalahan manusia yang menyebabkan kecelakaan pesawat, 15-20 persennya bermula dari faktor kelelahan.
Dari situ, spekulasi mengenai penyebab jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 610 tak bisa dilepaskan dari kemungkinan human error. Meski dugaan penyebab utama jatuhnya PK-LQP terfokus pada masalah pendeteksian airspeed yang mempengaruhi flight control, Gerry Soejatman, pakar penerbangan Indonesia, menilai faktor kesalahan manusia sangat mungkin punya peran dalam kejadian tersebut.
Analisis tersebut ia bangun berdasarkan masalah yang terjadi di perjalanan terakhir PK-LQP sebelum kejadian, yaitu penerbangan dari Denpasar-Jakarta sehari sebelumnya. Berdasarkan maintenance log penerbangan tersebut yang beredar di dunia maya, juga dari grafik terbang PK-LQP di dua perjalanan terakhir via Flight Radar 24 yang punya kemiripan pola, Gerry mencurigai masalah yang sama terulang.
ADVERTISEMENT
“Terbang tanpa airspeed itu bukan artinya pesawat (pasti) jatuh,” papar Gerry soal kemungkinan penyebab jatuhnya PK-LQP di kantor kumparan, Jakarta Selatan, Kamis (1/11).
Menurutnya, ketiadaan input airspeed tersebut bisa ditanggulangi pilot dengan metode terbang pitch and power. Berdasarkan grafik penerbangan di Flight Radar 24 , Gerry melihat metode ini sudah dilakukan pilot William Martinus dalam penerbangan Denpasar-Jakarta, dan Bhavye Suneja di awal-awal penerbangan JT 610.
“Kru yang sebelumnya kok bisa? Kenapa yang ini nggak bisa?”
Sambil menunjuk-nunjuk grafik penerbangan PK-LQP, Gerry menjelaskan bagaimana kombinasi fluktuasi kecepatan dan ketinggian pesawat tujuan Pangkal Pinang di lima menit terakhir itu tidak normal. Padahal, dalam tujuh menit pertama penerbangan, pilot Bhavye Suneja berhasil mengendalikan pesawat dengan baik.
ADVERTISEMENT
“Ini sepertinya capai, lelah karena konsentrasi, sampai akhirnya yang terjadi ini. Entah kenapa (ketinggian pesawat) turun (saat kecepatan ditambah), dan akhirnya jatuh. Mungkin (fatigue),” ujar Gerry memberikan analisis.
Isu fatigue pada pilot ini mendapat perhatian besar di dunia aviasi Indonesia. Melalui Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 121, Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan telah mengatur batas maksimal kerja pilot penerbangan komersial terjadwal. Secara sederhana, siklus kerja seorang pilot dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) flight time, 2) duty period, dan 3) rest period.
Menurut CASR-121, flight time pilot di Indonesia dengan skema dua pilot (satu kapten + satu kopilot) dibatasi maksimal 9 jam per hari (24 jam); 30 jam seminggu kalender; 110 jam per satu bulan kalender; dan 1.050 jam per satu tahun kalender. Flight time tersebut sudah termasuk ke dalam maksimal 14 jam duty period―waktu pilot stand by per harinya.
ADVERTISEMENT
Usai menyelesaikan duty period, pilot diberi rest period selama minimal 9 jam. Pola tersebut berulang setiap hari, dengan jeda duty free (bebas tugas minimal 24 jam) dalam kurun 7 hari dinas.
Masalahnya, penerbangan LCC yang mengandalkan rute pendek dengan intensitas cukup sering (Lion Air 700 penerbangan per hari pada 2017, Citilink 240 penerbangan per hari pada 2016, dan Indonesia AirAsia 592 per minggu pada 2017), membuat pilot bisa 4-6 kali terbang per harinya.
Itu pun tak semua maskapai taat pada aturan tersebut. Setidaknya, begitulah penuturan pilot-pilot mereka.
Bambang (bukan nama sebenarnya), pilot dari salah satu maskapai LCC, menceritakan kepada kumparan bagaimana ia pernah dipaksa terbang meski duty period-nya sudah selesai. Bambang yang mestinya bermalam di Bandung usai menyelesaikan empat kali penerbangan sebelumnya, jadi harus terbang sekali lagi ke luar pulau dan bekerja melebihi duty period yang semestinya.
ADVERTISEMENT
“Karena pesawat dari luar baru akan sampai pukul 21.45, pesawat itu nggak bisa take off lagi. Airport Husein (Sastranegara) tutup. Sedangkan gue sampai Husein jam 21.00,” ujar Bambang. Alhasil, dialah yang diminta terbang alih-alih maskapai menunggu pesawat lain yang mestinya terbang tapi belum sampai.
Jam operasional Bandara Husein Sastranegara di Bandung memang selesai pukul 21.00 WIB. Maka ketika pihak operasional maskapai meminta, Bambang tak punya pilihan.
“Itu kan ekstra jam. Kecapaian, kesel. Tapi ya waktu itu gue liat lagi, penumpang 150 orang mereka juga punya urusan. Jadi ya ngerasa tanggung jawab aja,” ujar Bambang.
Hal serupa diceritakan Soekotjo (nama disamarkan). Pilot senior yang punya pengalaman di beberapa maskapai di Indonesia tersebut menceritakan bagaimana sistem kerja di maskapai Lion Air kerap memaksa pilot-pilotnya bekerja melebihi batas maksimal yang ditentukan.
ADVERTISEMENT
“Saya senior, disuruh seperti itu saya nggak mau. Saya nolak. Tapi kan mereka juga lihat, mana domba-domba yang lemah,” ujar Soekotjo kepada kumparan. Ia kini bekerja di maskapai lain setelah sempat menjadi pilot di Lion Air selama tiga tahun sampai 2016.
Menurut Soekotjo, pemaksaan terhadap pilot untuk bekerja melebihi duty period-nya tak jarang diikuti dengan intimidasi.
“Contohnya, ada kopilot enggak mau terbang lagi. Diintimidasi. Otomatis anak umur segitu kan takut,” cerita Soekotjo, menjelaskan percakapan di awal tulisan ini.
Intimidasi yang dilakukan pihak maskapai ke kopilot-kopilot yang masih tergolong muda, menurut dia, adalah nyata. “Kalau saya enggak mempan diintimidasi. (Kalau perlu) ribut, ya ribut.”
Padahal, ujar Soekotjo, praktik semacam itu jelas membahayakan keselamatan penerbangan. “Namanya fatigue. Fatigue itu enggak kelihatan dari luar. Sehat, tidak demam, tapi fatigue,” jelas Soekotjo. “Fatigue itu lebih berbahaya, karena bisa jadi nanti blank, nggak bisa mikir.”
ADVERTISEMENT
Penelitian soal kelelahan yang dialami pilot telah banyak dilakukan. Jurnal berjudul Tingkat Kelelahan Pilot Indonesia dalam Menerbangkan Pesawat Komersial Rute Pendek (2014) karya Susanti dan Yati Nurhayati yang terbit dalam Jurnal Perhubungan Udara, Warta Ardhia, jadi salah satu contohnya.
Dalam jurnal tersebut, ada belasan dampak fisik maupun psikologis yang dirasakan saat pilot rute pendek mengalami kelelahan dalam bertugas, terutama saat menjalankan penerbangan lanjutan (penerbangan kedua atau lebih dalam satu hari yang sama). Dampak tersebut, misalnya saja, berkurangnya jarak pandang, mengantuk, berkurangnya ketelitian, dan menurunnya kesabaran.
Menurut jurnal yang sama, lima faktor menjadi penyebab utama mengapa pilot mengalami kelelahan, yaitu: 1) penerbangan lanjutan (74 persen); 2) penerbangan malam/tertunda (71 persen); 3) kebosanan (89 persen); 4) peningkatan beban kerja yang tidak disertai insentif (83 persen); dan 5) lingkungan fisik seperti tempat tinggal yang jauh dari tempat bertugas (90 persen).
ADVERTISEMENT
Meski begitu, perhatian khusus diberikan kedua penulis pada faktor penerbangan lanjutan.
“Berbeda dengan penerbangan jarak jauh yang hanya sekali lepas landas dan sekali pendaratan, (pilot pada) penerbangan rute pendek lanjutan setelah […] penerbangan pertama berpotensi menjadi lelah karena sebagian besar tugas dalam proses lepas landas dan pendaratan membutuhkan konsentrasi tinggi ditambah apabila lalu lintas (traffic) penerbangan sangat padat.”
Tentu saja, beban kerja tinggi yang mungkin menyebabkan human error tak cuma dirasakan pilot. Baik pilot, petugas ATC (Air Traffic Control), mekanis pesawat, sampai pramugari, memiliki beban yang tak kalah berat dalam memastikan pesawat (beserta penumpangnya) bisa take off dan landing di tujuan dengan selamat.
Laura Lazarus, mantan pramugari Lion Air yang mengalami kecelakaan di Solo tahun 2004, menjelaskan betapa penerbangan LCC rute pendek yang memiliki beberapa penerbangan dalam sehari, menguras fisiknya hingga ke titik maksimal.
ADVERTISEMENT
“Ada yang enam, tujuh kali landing. Beban kerja gila banget. Badan udah kayak rontok. Badan udah (kayak) kegebuk, biru-biru. Di atas ringan, tapi pas udah di bawah biru-biru,” kata Laura saat berbincang dengan kumparan di Tebet, Jakarta Selatan.
Humas Lion Air, Danang Mandala Prihantoro, menyatakan maskapainya tidak melanggar aturan soal jam terbang pilot. “Ada batasan jam terbang dalam aturan. Kami tidak bisa main-main dengan itu. Lion Air patuh terhadap standar prosedur operasional, regulasi, dan ketentuan-ketentuan internasional.”
Kepada kumparan, Jumat (2/11), Danang lanjut mengatakan, “Kesehatan kru, termasuk awak kabin dan pilot, adalah hal utama. Kami sangat concern dengan safety. Tidak benar kru kami dipaksa terbang.”
Lion Air sendiri mengantongi sertifikat IOSA (IATA Operational Safety Audit) pada Maret 2017. IOSA merupakan audit keselamatan berskala global menggunakan 900 standar internasional, untuk mengecek kualitas operasional dan pengelolaan serta pengawasan keselamatan.
Menurut Gerry Soejatman, belakangan Lion Air melakukan banyak investasi untuk meningkatkan faktor keselamatan, termasuk membangun pusat pelatihan besar di Balaraja, Tangerang. Seorang sumber di internal maskapai juga mengatakan, Lion belum lama ini merekrut teknisi-teknisi ahli yang berpengalaman di sektor keselamatan.
ADVERTISEMENT
Pendiri Lion Air, Rusdi Kirana, memohon maaf atas kecelakaan PK-LQP yang menghilangkan 189 nyawa, dan meminta publik menunggu hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
“Saya mohon maaf. Saya turut berdukacita,” ujarnya saat menemui keluarga korban.
------------------------
Simak Liputan Khusus kumparan: Lion Terempas .