news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Sebelum Invasi Venezuela, AS Harusnya Belajar dari Kasus Afghanistan

2 Maret 2019 11:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tentara Amerika yang sedang berbaris. Foto: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Tentara Amerika yang sedang berbaris. Foto: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Presiden Donald Trump, mulai mewacanakan medan perang baru bagi tentara-tentara Amerika Serikat. Sasarannya adalah negara kaya minyak di Amerika Selatan: Venezuela. Trump berulang kali melontarkan retorika-retorika ancaman untuk mengakhiri krisis politik di sana.
ADVERTISEMENT
“Kami mencari transisi kekuasaan yang damai, meski semua opsi terbuka,” kata Trump di hadapan imigran yang kebanyakan berasal dari Venezuela dan Kuba, Selasa (19/2) lalu.
‘Opsi terbuka’ itu tak lain pengerahan kekuatan militer. Sejak 2017, Trump sudah mengisyaratkan akan menempuh upaya militer bila dibutuhkan. Skenario ini kontras dengan sikap Gedung Putih yang mewacanakan menarik mundur separuh pasukan dari Afghanistan.
Di sana, AS babak belur. Bukan karena kalah, melainkan lantaran besarnya sumber daya yang dibutuhkan untuk operasi militer. Trump mengistilahkan operasi di Afghanistan sebagai ‘peperangan tak berujung'. Bila menilik sejarah, invasi atas nama perang melawan teror itu menjadi preseden perang terpanjang yang dilakukan AS di negara lain.
Invasi AS ke Afghanistan pada awalnya dilakukan untuk merespons serangan teroris ke Gedung World Trade Center dan Pentagon pada 11 September 2001, yang kemudian dikenal sebagai 9/11. Al Qaeda yang dipimpin Osama Bin Laden dituding berada di balik aksi tersebut.
ADVERTISEMENT
“Perang melawan teror dimulai dari Al Qaeda, tetapi tidak berakhir di situ saja. Perang ini tak akan berakhir sampai setiap kelompok teroris di dunia ditemukan, dihentikan, dan dikalahkan,” kata George W. Bush, Presiden AS yang menginisasi serangan ke Afghanistan kala itu.
Menurut laporan Congressional Research Service (CRS, 2017), AS awalnya hanya menurunkan 1.000 personel tentara dan anggota intelijen CIA. Mereka bertugas membantu pasukan Aliansi Utara dan orang Pashtun yang anti-Taliban untuk mengarahkan pesawat-pesawat pengebom B-52 dari darat.
Namun seiring berjalannya waktu, AS terus menambah personel militernya. Pengiriman tentara terbanyak terjadi pada tahun 2010-2011 di mana ada 100 ribu tentara AS di Afghanistan. Bersamaan dengan itu, tahun 2011, pimpinan Al Qaeda Osama bin Laden, berhasil dibunuh. Setelahnya, pasukan AS dikurangi secara bertahap dari tahun ke tahun hingga jumlahnya kini diperkirakan hanya 14 ribu.
Ilustrasi tentara Amerika di Afghanistan. Foto: AFP/JOHNNY BIVERA
Meski pada akhirnya Osama berhasil dieliminasi, invasi AS di Afghanistan rupanya tidak berjalan mulus. Penempatan pasukan di Afghanistan selama 18 tahun, tak lantas meredam aksi teror.
ADVERTISEMENT
Lantas apa hasilnya?
Setelah invasi AS, aksi terorisme di Afghanistan justru bertambah. Data Global Terrorism Index 2018 mencatat, Afghanistan berada di peringkat pertama negara paling terdampak terorisme diukur dari jumlah kematian yang ditimbulkan pada 2017.
Pada tahun tersebut, tercatat 1.168 insiden serangan teroris yang mengakibatkan 4.653 korban tewas. Pada periode yang sama, juga terdapat 5.015 korban luka-luka. Taliban bertanggung jawab atas sekitar 77 persen insiden, sedangkan sisanya dilakukan oleh ISIS di wilayah Khurasan dan sejumlah teroris yang tak dikenal.
Afghanistan secara konstan berada di peringkat 3 besar negara terdampak terorisme sejak tahun 2007. Padahal, tahun 2001, ketika AS baru menginvasi Afghanistan, negara itu hanya menempati peringkat ke-6 dari 163 negara.
ADVERTISEMENT
Sejak 2001 hingga 2017, kematian total akibat terorisme di Afghanistan berjumlah 31.965. Angka ini merupakan jumlah terbesar kedua di dunia setelah Irak (65.519).
Korban 18 Tahun Invasi AS di Afghanistan
Serangan Taliban Foto: AFP/JAVED TANVEER
Korban dalam perang merupakan keniscayaan. Tak cuma tentara AS dan lawannya, pihak non-kombatan yang kebetulan terjebak di lokasi perang di Afghanistan pun turut menjadi korban.
Watson Institute International & Public Affairs Brown University merilis sebuah studi bertajuk Cost Of War pada November 2018. Studi tersebut melaporkan dampak perang AS di Afghanistan telah menyebabkan 147,124 orang tewas dalam rentang tahun 2001-2018. Mayoritas korban didominasi tentara dan polisi Afghanistan. Jumlahnya mencapai 58.596 orang.
Klaster korban tewas terbesar kedua berasal dari milisi oposisi sebanyak 42.100 jiwa. Pihak sipil berada di posisi ketiga dengan 38.480 jiwa. Sementara, jumlah korban dari tentara AS tergolong kecil dibandingkan angka-angka tadi, hanya 2.401 jiwa.
ADVERTISEMENT
Namun tewasnya korban akibat perang bukanlah satu-satunya mimpi buruk yang dibawa invasi AS di Afghanistan. Veteran AS yang terluka bahkan lebih banyak jumlahnya. Mereka kembali dari medan perang dengan beban fisik maupun psikologis.
Departemen Pertahanan AS (15/2/2019) merilis jumlah tentara terluka (wounded in action) akibat perang di Afghanistan mencapai 20.461 orang. Dari jumlah tersebut, laporan CRS (2015) menunjukkan—sejak pertama perang berkobar hingga pertengahan 2015–833 veteran AS yang terluka menjalani amputasi mayor. Mereka harus menjalani sisa hidup dengan kehilangan sebagian hingga satu atau lebih anggota badan.
Sementara itu, sebagian tentara yang kembali ke tanah air juga mengalami posttraumatic stress disorder (PTSD). Ini adalah kondisi gangguan kesehatan mental berupa trauma yang diakibatkan oleh perang. Departemen AS untuk Urusan Veteran memperkirakan rata-rata 11-12 persen tentara yang berperang di Afghanistan mengalami PTSD.
ADVERTISEMENT
Berakhir Buntu
Ilustrasi tentara Amerika di Afghanistan. Foto: AFP/TAUSEEF MUSTAFA
Perang AS di Afghanistan kini menemui jalan buntu (stalemate). Berkaca dari data yang ada, invasi AS ke Afghanistan pun tampak kontradiktif dengan tujuannya untuk membasmi terorisme.
Tahun 2014, Presiden Obama mengakhiri misi perang AS (Operation Enduring Freedom) di Afghanistan. Ia mengubahnya dengan misi pelatihan tentara dan polisi lokal serta kontraterorisme (Operation Freedom’s Sentinel).
“Di titik tersebut, semua pihak yang berperang (kombatan) –Amerika Serikat, NATO, pemerintah Afghanistan, dan Taliban—mengklaim kemenangan,” tulis Aaron B. O’Connell, mantan Director for Defense Policy & Strategy, Dewan Keamanan Nasional AS (NSC) dalam Understanding the U.S. Wars in Iraq and Afghanistan (2015).
Di perang Afghanistan, O’Connell mencatat, AS mampu memukul mundur Taliban pada awal invasi tahun 2002. Akan tetapi, Afghanistan sekarang tidaklah lebih aman dibanding tahun tersebut, karena Taliban belum sepenuhnya menyerah.
ADVERTISEMENT
“Lebih lanjut, pemerintah (Afghanistan) korup dan tak efektif, masalah narkoba merebak, serta tentara dan polisi Afghanistan terpukul akibat korupsi dan tingginya tingkat desersi,” terang O’Connel.
Ilustrasi tentara Amerika di Afghanistan. Foto: AFP/MUNIR UZ ZAMAN
Kondisi ini barangkali membuat komunitas internasional bertanya, mengapa tentara AS tetap bertahan di Afghanistan meskipun misi perangnya sudah selesai?
Pengamat isu-isu keamanan dan Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Rizki Ananda Ramadhan memaknai tindakan itu sebagai upaya AS untuk tetap punya pengaruh meski sudah tak lagi menjejak di Afghanistan.
“Bahkan mungkin masih bisa mengendalikan (Afghanistan),” kata Rizki kepada kumparan.
Menurut Rizki, konteks invasi AS ke Afghanistan tidak sekadar untuk mencari kemenangan melawan terorisme semata. Namun, AS juga ingin melakukan test the water untuk melihat reaksi komunitas internasional saat melakukan invasi di negara-negara Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
“Serangan ke Afghanistan itu mungkin hanyalah pemicu, sebagai alasan buat dia melakukan serangan-serangan lainnya, di Irak, menjatuhkan rezim-rezim yang selama ini mengancam Amerika Serikat,” ujar Rizki.
Memang setelah Afghanistan diinvasi tahun 2001, AS juga menginvasi Irak tahun 2003. Di Irak, AS menumbangkan rezim Saddam Hussein yang saat itu dianggap melindungi terorisme dan memiliki senjata pemusnah massal.
Hasil invasi ke Irak pun tak jauh berbeda dari Afghanistan. Korban berjatuhan dan terorisme makin merebak. Kini Irak menempati peringkat pertama negara yang paling terdampak terorisme di dunia menurut Global Terorism Index. Kelompok teroris ISIS pun muncul mendeklarasikan diri sebagai negara pertama kali di Irak tahun 2014.
Lantas apa hasil yang didapat AS bila nantinya ternyata jadi menyerang Venezuela? Anda mungkin bisa menilai sendiri.
ADVERTISEMENT