Sekda Jabar Diduga Terima Rp 900 Juta untuk Pengurusan Izin Meikarta

29 Juli 2019 19:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sekda Jawa barat Iwa Karniwa usai diperiksa KPK. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sekda Jawa barat Iwa Karniwa usai diperiksa KPK. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
KPK menetapkan Sekretaris Daerah Jawa Barat, Iwa Karniwa, sebagai tersangka baru kasus suap izin proyek Meikarta.
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, mengatakan penetapan itu tak lepas karena Iwa diduga menerima Rp 900 juta untuk pengurusan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi Tahun 2017. RDTR itu diperlukan untuk menyesuaikan Wilayah Pengembangan (WP) pembangunan proyek Meikarta.
Saut menyebut, uang itu diduga berasal dari pihak PT Lippo Cikarang yang diberikan melalui Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, Neneng Rahmi Nurlaili. Kemudian Neneng memberikan uang itu ke Iwa melalui perantara.
"Beberapa waktu kemudian pihak Lippo menyerahkan uang pada Neneng Rahmi dan kemudian sekitar Desember 2017 dalam dua tahap, Neneng melalui perantara menyerahkan uang pada tersangka IWK (Iwa Karniwa) dengan total Rp 900 juta terkait dengan pengurusan RDTR di Provinsi Jawa Barat," ujar Saut dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (29/7).
ADVERTISEMENT
Saut mengatakan dugaan pemberian suap ke Iwa itu bermula saat Neneng menerima sejumlah uang terkait dengan pengurusan Perda RDTR yang kemudian diberikan kepada beberapa pihak dengan tujuan agar memperlancar proses pembahasannya.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang konpers mengenai kasus BLBI. Foto: Fanny Kusumawrdhani/kumparan
"Sekitar bulan April 2017, setelah masuk pengajuan rancangan Perda RDTR, Neneng diajak oleh Sekretaris Dinas PUPR untuk bertemu pimpinan DPRD di Kantor DPRD Kabupaten Bekasi," kata Saut.
"Pada pertemuan tersebut Sekretaris Dinas PUPR menyampaikan permintaan uang dari pimpinan DPRD terkait pengurusan tersebut," lanjutnya.
Setelah itu raperda RDTR disetujui DPRD Kabupaten Bekasi dan kemudian dikirim ke Provinsi Jabar untuk dilakukan pembahasan.
"Namun Raperda tidak segera dibahas oleh Pokja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD), sedangkan dokumen pendukung sudah diberikan," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Neneng mendapat informasi agar RDTR diproses, ia harus bertemu dengan Iwa.
"Neneng kemudian mendapatkan informasi bahwa tersangka IWK meminta uang Rp 1 miliar untuk penyelesaian proses RDTR di provinsi," kata Saut.
Hingga akhirnya uang itu disiapkan oleh pihak PT Lippo Cikarang dan akhirnya terealisasi pemberian Rp 900 juta.
CEO Lippo Cikarang Toto Bartholomeus usai diperiksa KPK, Kamis (25/10). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Peran Eks Presdir Lippo Cikarang
Dalam perkara ini, KPK juga menetapkan tersangka baru lainnya yakni Bartholomeus Toto selaku Presiden Direktur Lippo Cikarang.
Toto ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menyetujui pemberian suap kepada Neneng Hasanah Yasin selaku Bupati Bekasi senilai Rp 10,5 miliar. Pemberian itu untuk memuluskan Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) proyek Meikarta.
"Tersangka BTO diduga menyetujui setidaknya 5 kali pemberian tersebut kepada Bupati Neneng, baik dalam bentuk USD dan Rupiah dengan total Rp 10,5 miliar," kata Saut.
ADVERTISEMENT
Saut mengatakan, pemberian itu bermula saat Lippo Cikarang berniat membangun Meikarta tahap 1 di lahan seluas 143 hektare. Namun pembangunan itu harus memiliki izin, salah satunya IPPT.
Untuk mengurus IPPT itu, PT Lippo Karawaci menugaskan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro, Toto, Henry Jasmen, Taryudi, Fitra Djaja Purnama, dan pihak pegawai PT Lippo Cikarang lainnya.
"Mereka melakukan pendekatan kepada Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yasin, melalui orang dekatnya dengan cara melakukan beberapa pertemuan. PT Lippo Cikarang kemudian mengajukan IPPT seluas 143 hektare," ucap Saut.
Setelah itu, kata Saut, pihak yang mewakili PT Lippo Cikarang meminta untuk bertemu Bupati Neneng. Pada April 2017, pihak yang mewakili PT. Lippo Cikarang bertemu dengan Bupati Neneng di rumah pribadinya dan menyampaikan 'mohon bisa dibantu'.
ADVERTISEMENT
"Neneng menyanggupi dan meminta pihak PT. Lippo Cikarang berkomunikasi dengan orang dekatnya," kata Saut.
Terdakwa kasus suap perizinan proyek Meikarta Neneng Hasanah Yasin menghadiri sidang dengan agenda pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Bandung, Jawa Barat, Rabu (29/5). Foto: ANTARA FOTO/Novrian Arbi
Dalam mengurus IPPT, Toto mendapat pesan bahwa Bupati Neneng ingin agar izin diajukan secara bertahap. Toto juga menjanjikan uang untuk pengurusan izin tersebut.
"Pada Mei 2017, Bupati Bekasi menandatangani Keputusan Bupati tentang IPPT dengan luas +/- 846.356 m2 untuk pembangunan komersial area (apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit, sekolah, hotel, perumahan dan perkantoran) kepada PT Lippo Cikarang," jelas Saut.
Untuk merealisasikan janji pemberian suap tersebut, pegawai PT Lippo Cikarang mengambil uang dari kas perusahaan atas perintah Toto. Kemudian Toto menerima uang sejumlah Rp 10,5 miliar di di helipad PT Lippo Cikarang.
"Setelah itu, uang diberikan pada Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yasin, melalui orang kepercayaannya dalam beberapa tahap," ucap Saut.
ADVERTISEMENT