Slamet Ditolak Tinggal di Dusun Karet, Bantul, karena Bukan Muslim

2 April 2019 13:30 WIB
Slamet Jumiarto, warga non-muslim yang ditolak tinggal di Padukuhan Karet RT 8, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Foto: Arfiansyah Panji/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Slamet Jumiarto, warga non-muslim yang ditolak tinggal di Padukuhan Karet RT 8, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Foto: Arfiansyah Panji/kumparan
ADVERTISEMENT
Slamet Jumiarto (42), seorang ayah dengan dua orang anak itu tak menyangka keputusan pindah kontrakan ke Padukuhan (Dusun) Karet RT 8, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, pada Jumat (29/3) berbuntut panjang. Dia ditolak oleh perangkat desa di daerah itu karena non-muslim.
ADVERTISEMENT
“Jadi mulai tanggal 29 Maret kemarin saya dan istri serta mulai menempati kontrakan ini. Sebelum menempati kita juga konfirmasi dulu kepada pemilik rumah dan yang mencarikan katanya tidak apa-apa non-muslim,” ujar Slamet ditemui di kontrakannya, Selasa (2/4).
Slamet yang berprofesi sebagai seniman lukis ini pada Minggu (31/3) lantas melapor ke ketua RT. Di sana ia memberikan fotokopi KTP, KK, hingga surat nikah. Namun lantaran diketahui agamanya Katolik, dia dan keluarganya ditolak menempati kontrakan dan lingkungan sekitar oleh ketua RT dan kepala dukuh.
“Kemudian paginya saya ketemu ketua kampung itu pun juga ditolak kemudian saya ingin ketemu Pak Dukuh, cuma waktu kemarin belum tahu rumahnya belum tahu namanya. Mungkin karena saya terlalu emosi dengan hal ini kemudian saya langsung melaporkan hal ini ke sekretaris Sultan HB X (Hamengku Buwono X),” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Slamet penolakan perangkat desa itu didasarkan pada Surat Keputusan Pokgiat Tentang Persyaratan Pendatang Baru di Padukuhan Karet yang ditandatangani oleh Ketua Pokgiat dan Kepala Dusun Karet.
Slamet Ditolak Tinggal di Salah Satu Dusun di Bantul Lantaran Non-Muslim Foto: Afriansyah Panji/kumparan
Dalam surat yang dibuat pada 19 Oktober 2015 itu salah satu syarat pendatang baru di Karet adalah harus Islam. Di situ dituliskan Islam yang dimaksud adalah sama dengan paham yang dianut oleh penduduk Padukuhan Karet yang sudah ada.
Di surat itu juga tertuang bahwa penduduk Pedukuhan Karet keberatan untuk menerima pendatang baru yang menganut aliran kepercayaan atau agama di luar Islam.
“Kemudian (setelah lapor sekretaris Sultan) ditindaklanjuti saya dipanggil di kantor Sekda DIY kemudian ke Sekda Bantul kemarin diantar ke Kelurahan (kantor desa) Pleret, di sana saya bertemu Pak Lurah, Pak Dukuh, Pak Ketua (RT) dipanggil. Musyawarah, tapi ditolak,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Lantaran ditolak, Slamet bersikeras untuk mediasi. Pada Senin (1/4) malam, Slamet mediasi dengan warga hingga pukul 22.00 WIB. Beberapa sesepuh warga menurutnya telah memperbolehkan dirinya tinggal di situ. Ketua RT lantas memberikan opsi agar Slamet bisa tinggal di Karet selama 6 bulan.
Slamet keberatan dengan opsi itu. Musababnya, dia sudah mengeluarkan kocek sebanyak Rp 4 juta untuk satu tahun ngontrak. Dia bahkan sudah mengeluarkan duit sebesar Rp 800 ribu untuk renovasi rumah dan Rp 400 ribu untuk transpor renovasi.
“Terus yang 6 bulan lagi dikembalikan dalam bentuk uang. Kalau tidak satu tahun saya mending minta uangnya lagi full satu tahun ke pada saya. Kalau hanya 6 bulan kan buat apa. Sama aja penolakan secara halus kepada saya. Kalau memang boleh ya boleh kalau nggak ya nggak gitu aja,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kini, Slamet mengaku memilih mengalah dan akan pindah setelah uangnya dikembalikan pemilik kontrakan. “Saya mengalah asalkan surat mereka direvisi karena bagi saya itu bertentangan dengan ideologi Pancasila dan undang-undang, mengharuskan supaya warga pendatang yang ngontrak atau tinggal harus beragama Islam itu tertulis di dalam di surat peraturan. Surat Oktober 2015. Sudah berlaku sudah 2015,” ujarnya.
Penolakan ini menjadi pengalaman pertamanya selama 19 tahun tinggal di DIY. Sebelumnya, ketika mengontrak di daerah Mancasan, Kota Yogyakarta, Slamet tidak pernah menerima perlakuan seperti ini.
“Saya asli Semarang tapi sejak 2009 sudah menjadi warga KTP Yogyakarta. Baru kali ini di tempat ini saya mendapati penolakan hanya gara-gara non-muslim. Ironis dan aneh intoleransi seperti ini perlu dihindari supaya Yogyakarta di mata nasional juga baik,” harap Slamet.
ADVERTISEMENT
Kepala Dusun Karet, Iswanto, membenarkan adanya penolakan itu. Menurut Iswanto, penolakan itu karena di dusunnya ada surat keputusan dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Kelompok Kegiatan Dusun Karet.
“Aturannya itu intinya, penduduk luar Karet yang beli tanah (mengontrak) itu tidak diperbolehkan yang non-muslim. Sudah kesepakatan warga masyarakat,” ujar Iswanto.