Surabaya, Poros Evolusi Jejaring Radikal Indonesia

19 Mei 2018 9:44 WIB
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Baliho Teroris Jancuk di jalanan Surabaya. (Foto: Ferio Pristiawan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Baliho Teroris Jancuk di jalanan Surabaya. (Foto: Ferio Pristiawan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Siang Ramadhan. Surabaya berdenyut oleh aktivitas warganya meski membawa goresan luka akibat teror beruntun, disusul penggerebekan dan penangkapan yang seolah tiada habis. Separuh kota diam-diam jadi arena tempur antara pasukan Detasemen Khusus 88 Antiteror dan kelompok teroris.
ADVERTISEMENT
Di satu sudut kota, Sidotopo, Masjid Al-Ihsan Sabilillah menjadi tempat melepas penat. Warga, kebanyakan pedagang pasar dan pegawai toko kelontong, ramai mendatangi bangunan empat lantai itu untuk salat zuhur sembari beristirahat sejenak dari pekerjaan.
Azan berkumandang, dan sekitar 30 orang masuk mengisi saf, bersiap-siap salat berjemaah. Tak berbeda dengan di masjid-masjid lain.
Namun sesungguhnya, Masjid Al-Ihsan Sabilillah sempat menjadi tempat tertutup yang bikin jengah warga. Sebelum 2009, penduduk sekitar waswas untuk beribadah di sana. Sebab dulu masjid itu menjadi pusat kegiatan jaringan ekstremis.
“Masjid ini dulu pernah digerebek oleh Densus 88, karena oleh Abu Fida digunakan untuk aktivitas pengajian teman-temannya, salah satu contohnya mengundang Abu Bakar Ba’asyir,” kata Hussein, jemaah Masjid Al-Ihsan, kepada kumparan, Kamis (17/5).
ADVERTISEMENT
Abu Bakar Ba’asyir dikenal luas sebagai pemimpin spiritual Jemaah Islamiyah, organisasi militan yang berupaya mendirikan negara Islam di Asia Tenggara dan berkiblat ke Al-Qaeda. Ia kini mendekam di penjara karena terlibat pendanaan latihan teroris di Aceh pada 2009.
Sementara Abu Fida ialah tokoh yang dituakan dalam Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Surabaya, organisasi pecahan Jemaah Islamiyah yang pro-ISIS. Abu Fida pernah ditangkap Densus pada 2014 karena merekrut jaringan ISIS di Surabaya. Ia juga disebut deklarator ISIS di Surabaya, Solo, dan Malang.
Sebelum 2009, Ba’asyir setidaknya sebulan sekali menghadiri pengajian di Masjid Al-Ihsan. Pengajian rutin itu selalu penuh, siapa pun yang jadi penceramah.
“Ketika ada persoalan, mereka (ekstremis) akan membawa dan merapatkan itu di Surabaya. Kenapa di Surabaya? Karena tokoh-tokohnya rata-rata di Surabaya semua. Basisnya ya di Sidotopo itu,” ujar Kharis Hadirin, eks ekstremis Al-Ihsan.
ADVERTISEMENT
Abu Fida tinggal tepat di seberang Masjid Al-Ihsan, sebuah ruko di Jalan Sidotopo Lor. Kediamannya tertutup rapat meski pintu diketuk berkali-kali dari siang hingga sore hari.
Seorang tetangga, Parmi, mengatakan Abu Fida terakhir kali terlihat dua pekan lalu. Saat itu, salah satu kerabatnya meninggal. “Rumahnya sempat dibuka untuk tahlilan, tapi langsung ditutup lagi.”
Sepak terjang Abu Fida mengubah fungsi masjid Al-Ihsan dari milik umum menjadi sarang kelompok ekstremis, jauh terjadi sebelum Surabaya diserang teror. Juni 2009 misalnya, warga setempat menyegel masjid karena kesal rumah ibadah itu dijadikan lokasi pengajian jemaah garis keras.
Dalam pengajian garis keras itu, menurut salah seorang warga, penceramah menyebut pegawai negeri sebagai orang kafir dan perayaan Maulid Nabi adalah syirik.
Ilustrasi dalang teror. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dalang teror. (Foto: AFP)
Masjid Al-Ihsan menjadi pusat metamorfosis gerakan kelompok radikal di Surabaya. Bahkan, menurut Kharis, tiap pecahan kelompok radikal di Surabaya tak lepas dari masjid tersebut.
ADVERTISEMENT
“Seluruh komponen (radikal) yang bersinggungan bermula dari situ. Al-Ihsan Sabilillah menjadi poros gerakan radikal di Surabaya, bahkan Jawa Timur,” kata Kharis saat berbincang dengan kumparan.
Kharis yang kini peneliti di Yayasan Prasasti Perdamaian bersama pakar terorisme Noor Huda Ismail mengatakan, ruangan-ruangan di Masjid Al-Ihsan menjadi tempat diskusi beberapa ekstremis, termasuk para pentolan Jemaah Islamiyah, pada tahun 2000-an.
Empat lantai Masjid Al-Ihsan punya fungsi masing-masing. Lantai satu tempat salat berjemaah, lantai dua sering dipakai rapat, lantai tiga kini tengah direnovasi, dan lantai empat dilengkapi ranjang bertingkat yang dahulu sering digunakan untuk menginap.
Di masjid itu, dulu para tokoh garis keras mendiskusikan berbagai hal, termasuk Bom Bali. Beberapa tokoh Jemaah Islamiyah menganggap Bom Bali 2002 dilakukan oleh individu, bukan atas kesepakatan jaringan. Sementara tokoh JI yang lebih militan justru memuji aksi Imam Samudera dan kawan-kawan yang menewaskan 202 orang itu.
ADVERTISEMENT
Perbedaan sikap soal Bom Bali itu mengawali keretakan jaringan ekstremis Surabaya, juga Jemaah Islamiyah. Pertentangan pendapat makin runcing ketika Ba’asyir mendukung ISIS pada 2014, seiring deklarasi kekhilafahan Islam oleh ISIS di Suriah akhir Juni 2014.
Dukungan Ba’asyir terhadap ISIS diserukan dari balik selnya di Nusakambangan, disertai permintaan kepada pengikutnya untuk bersikap serupa.
Evolusi Kelompok Teror di Indonesia (Foto: Putri Sarah A./kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Evolusi Kelompok Teror di Indonesia (Foto: Putri Sarah A./kumparan)
Tahun 2014 usai Ba’asyir mendukung ISIS itu, para anggota Jemaah Islamiyah berdebat soal semangat jihad ISIS. Perdebatan sengit lantas mengarah pada perpecahan.
“Mereka bergesekan satu sama lain, tidak mau saling sapa, putus komunikasi,” ujar Noor Huda Ismail, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian yang kini tengah merampungkan gelar doktoral di Universitas Monash Australia.
Anggota yang menolak keputusan Ba’asyir mendukung ISIS, lalu mendirikan Jamaah Ansharusy Syariah. Salah satu pentolan JAS adalah anak kedua Ba’asyir, Abdur Rasyid.
ADVERTISEMENT
Sementara anggota yang bersikap lebih keras, bersama Ba’asyir mendirikan Jamaah Ansharut Tauhid. JAT kemudian tumbuh subur di Surabaya.
Masjid Al-Ihsan Sabilillah, Surabaya. (Foto:  Ardhana Pragota/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Al-Ihsan Sabilillah, Surabaya. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Aksi penyegelan masjid oleh warga Sidotopo pada Juni 2009 menjadi titik balik lepasnya Al-Ihsan dari tangan kelompok ekstremis. Masjid dikelola bersama oleh warga dan jadi rumah terbuka bagi umat.
Pertengahan 2014, jaringan ekstremis Jawa Timur disapu Densus 88. Beberapa anggotanya ditangkap, termasuk Abu Fida. Namun beberapa di antaranya masih bebas dan bergerak di bawah tanah.
Akhir Agustus 2014, beberapa hari setelah Abu Fida ditangkap Densus, Masjid Al-Ihsan didatangi petugas Polres Pelabuhan Tanjung Perak untuk menyosialisasikan Peraturan Gubernur Nomor 51 Tahun 2014 tentang Pelarangan ISIS di Jawa Timur.
“Daerah Sidotopo agak rawan. Kami ke sini untuk menyosialisasikan pencegahan ISIS,” kata Sukemi, Kepala Satuan Bimbingan Masyarakat Polres Pelabuhan Tanjung Perak ketika itu, seperti dikutip dari Tempo.
ADVERTISEMENT
Bertahun-tahun kemudian, Mei 2018, Surabaya diserang bom simultan, membuat Kepolisian mengerahkan pasukan ke ibu kota Jawa Timur itu dan menggelar operasi besar-besaran guna menyapu kota dari para terduga teroris.
Kenapa harus Surabaya yang jadi target serangan teroris kali ini?
“Secara historis, Jawa Timur, terutama Surabaya, sejak awal sudah menjadi tempat gerakan radikal, dari zaman Abdullah Sungkar hingga periode pengiriman (orang) ke Suriah akhir-akhir ini,” kata Noor Huda.
Mendiang Abdullah Sungkar ialah pentolan Jemaah Islamiyah bersama Abu Bakar Ba’asyir. Bersama Ba’asyir, ia mendirikan Pondok Pesantren Al-Mu’min di Ngruki, Solo. Seperti Ba’asyir, Sungkar pun melarikan diri ke Malaysia karena diburu rezim Orde Baru akibat dianggap merongrong Pancasila dan pemerintahan.
Penggeledahan rumah terduga teroris. (Foto: ANTARA/Zabur Karuru)
zoom-in-whitePerbesar
Penggeledahan rumah terduga teroris. (Foto: ANTARA/Zabur Karuru)
Surabaya, lanjut Noor Huda, telah lama menjadi ruang hidup para tokoh ekstremis. Interaksi tokoh-tokoh radikal itu meningkat selama periode eksodus ‘jihadis’ ke Ambon dan Poso pada awal 2000.
ADVERTISEMENT
Evolusi kelompok teror, mulai Jemaah Islamiyah, generasi Bom Bali, Jamaah Ansharut Tauhid, hingga Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang memayungi para keluarga bomber Surabaya 2018, sesungguhnya berasal dari satu jaringan yang sama.
JAD di bawah Aman Abdurrahman bukannya tak terkait sama sekali dengan JAT. Sebab para pengikut Ba’asyir di JAT lambat laun bergabung ke JAD yang juga mendukung ISIS.
Di Surabaya, bergabungnya orang-orang JAT ke JAD membuat keanggotaan JAD menggelembung. Radikalisme diam-diam tumbuh subuh.
“Orang-orang JAT di Surabaya cukup banyak. Dari seluruh Jawa Timur, Surabaya paling besar. Mereka (kelompok ekstremis) pecah jadi dua, tapi jumlahnya besar,” ujar Kharis.
Pula, Ba’asyir dan Aman bukannya tak saling kenal. Mereka berdua disebut terlibat pelatihan terorisme di Aceh pada 2009.
Serangan teroris. (Foto: AFP/DEDY SUTISNA)
zoom-in-whitePerbesar
Serangan teroris. (Foto: AFP/DEDY SUTISNA)
Sel-sel teroris baru yang lahir dari perpecahan lanjutan Jemaah Islamiyah, di kemudian hari menjadi lebih sulit dilacak.
ADVERTISEMENT
“Pasca-ISIS muncul, peta pergerakan kelompok radikal berubah total. Mereka membentuk sel-sel kecil. Rata-rata para ‘pemain’ Surabaya adalah orang baru,” kata Kharis.
Namun, karakteristik bom Surabaya yang berdaya ledak tinggi, membuat pengamat terorisme UI Ridwan Habib yakin ada orang lama yang berada di belakang aksi.
“Biasanya ledakan (bom JAD) tidak semasif dan sebesar itu. JAD tidak bergerak sendiri, tapi dibantu faksi-faksi lain yang cukup kuat, yaitu eks Jemaah Islamiyah pro-ISIS yang punya pengalaman andal merakit bom di masa lalu,” kata Ridwan.
Tak aneh, mengingat sebagian orang-orang JAD juga punya akar Jemaah Islamiyah. Salah satunya yang kini diburu polisi adalah Cholid Abu Bakar, ideolog para bomber Surabaya.
ADVERTISEMENT
Seminggu Aksi Teror (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Seminggu Aksi Teror (Foto: Basith Subastian/kumparan)
------------------------
Ikuti rangkaian ulasan mendalam soal Dalang Teror di Liputan Khusus kumparan.