Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Tampar Tentara Israel, Gadis 16 Tahun Jadi Pahlawan Baru Palestina
21 Desember 2017 10:09 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Seorang gadis berusia 16 tahun di Tepi Barat menjadi pahlawan baru Palestina setelah videonya yang menampar dan menendang tentara Israel viral. Namun dia langsung dibekuk di rumahnya dan akan diadili di Israel akibat tindakannya tersebut.
ADVERTISEMENT
Nama gadis itu Ahed Tamimi, warga desa Nabi Saleh, Palestina. Dalam video yang ramai dibagikan di Youtube, Tamimi dan seorang wanita lainnya terekam menghampiri dua tentara Israel, lalu meneriaki mereka.
Ahed kemudian menendang dan menampar tentara Israel itu. Bogem mentah Ahed sempat melayang ke salah satu tentara. Tapi di luar dugaan, kedua tentara itu bergeming, hanya menangkis sebisanya.
Diberitakan Associated Press, Kamis (21/12), peristiwa itu terjadi pada Jumat lalu ketika bentrokan antara warga Palestina dan tentara Israel terjadi di mana-mana. Ketika itu, seorang remaja 14 tahun bernama Mohammed Tamimi jatuh koma setelah ditembak di wajahnya oleh tentara Israel.
Menurut Bassem Tamimi, ayah Ahed, Mohammed adalah sepupu Ahed. Remaja itu sering main ke rumah mereka. Penembakan itu membuat Ahed marah dan melampiaskannya kepada tentara Israel yang ada di dekat rumahnya.
ADVERTISEMENT
Video Ahed itu menerima respons yang beragam di Palestina dan Israel. Bagi warga Palestina, wanita berambut keriting itu adalah pahlawan yang berani melawan penjajahan Israel. Di media sosial, Ahed digambarkan sebagai Joan of Arc yang mengibarkan bendera Palestina.
Namun bagi Israel, Ahed adalah pengganggu. Tiga hari setelah dia menyerang tentara, militer Israel menyerbu rumahnya dan menyeretnya ke penjara. Menurut Bassem, tentara memukuli keluarganya dan menyita handphone, kamera, dan laptop mereka ketika mencokok Ahed.
Pada pengadilan Israel sehari setelahnya, Ahed terlihat diborgol kedua kakinya. Hakim memutuskan dia harus dipenjara lima hari lagi sebelum vonis dijatuhkan.
Kabinet Israel mengaku marah dengan video tersebut. Menurut mereka, tentara Israel telah dipermalukan karena diam saja.
ADVERTISEMENT
"Ketika saya melihat itu, saya malu, saya kecewa. Insiden ini merusak kehormatan militer dan negara Israel," kata Miri Regev, salah satu menteri kabinet Israel dan mantan juru bicara militer.
Menteri Pendidikan Israel Naftali Bennett dalam wawancara dengan Army Radio bahkan mendesak agar Ahed divonis penjara seumur hidup. Wakilnya Michael Oren Kulanu, mengatakan tindakan Ahed adalah bentuk provokasi yang dilakukan warga Palestina.
"Keluarga Tamimi - yang bisa jadi bukan keluarga betulan - memakaikan anak-anak dengan pakaian Amerika dan membayar mereka untuk memprovokasi tentara di depan kamera. Ini adalah eksploitasi anak," kata Kulanu dikutip Jerusalem Post.
Apapun kata Israel, tapi Ahed telah lama membuat warga Palestina dan dunia jatuh hati. Pada 2015, dia menuai kekaguman dunia setelah menggigit tangan tentara Israel yang coba menangkap adiknya. Sejak kecil, Ahed memang dikenal sebagai pejuang yang menentang penjajahan Israel di Palestina.
ADVERTISEMENT
Tempat dia tinggal, Nabi Saleh, adalah salah satu lokasi terpanas demonstrasi terhadap Israel. Di desa berpopulasi 600 orang ini hampir setiap pekan ada demonstrasi terhadap Israel. Desa ini adalah satu dari banyak wilayah di Palestina yang sedikit demi sedikit dicaplok Israel untuk dibangun permukiman Yahudi ilegal.
Situasi kian tegang setelah Presiden Donald Trump mengklaim Yerusalem adalah ibu kota Israel.
Jumat lalu salah satunya. Sekitar 200 warga Palestina berjuang dengan batu melawan tentara Israel yang bersenjatakan peluru karet. Namanya memang peluru karet, tapi bisa melukai dan membunuh.
Bassem berharap para pemuda Palestina pantang menyerah seperti putrinya. Dia juga membantah tudingan Israel bahwa tindakan Ahed adalah provokasi belaka.
"Kami berharap generasi ini lebih kuat dari kami, dan meneruskan perjuangan kami dengan melakukan perlawanan serius untuk mengakhiri penjajahan," kata Bassem, 50, yang pernah empat tahun dipenjara di Israel karena protes.
ADVERTISEMENT