Tragedi Siti Mati di Tangan Suami

4 Januari 2018 13:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Siti Saidah masih muda. Usianya baru 19 tahun saat mengucapkan janji pernikahan dengan Muhammad Kholili. Keduanya amat serasi, ayu dan tampan. Keduanya seolah tak mungkin salah pilih satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Kisah cinta Siti dan Kholili diawali obrolan santai di pesan Facebook Messenger. Kemudian beranjak lebih serius saat Siti meminta Kholili menemuinya di Semarang, Jawa Tengah.
Pertemuan pertama itu menyakinkan perasaan masing-masing bahwa mereka jatuh cinta. Namun jarak Semarang-Karawang membuat mereka harus rela sesekali saja bertemu.
Hingga pada tahun 2015, pasangan muda ini memutuskan untuk mengakhiri hubungan jarak jauh yang sudah dijalani setahun. Siti meninggalkan kehidupannya di Semarang untuk ikut merantau bersama Kholili di Karawang, Jawa Barat.
Di perantauan, mereka tinggal di rumah kontrakan di Desa Pinayungan, Telukjambe, Karawang. Siti-Kholili betul-betul bikin iri. Para tetangga melihat mereka sangat serasi dan kerap bermesraan.
Siti selalu memeluk Kholili saat mereka berboncengan motor, dan Kholili mengumbar momen manisnya bersama Siti di akun Instagram miliknya. Mereka seperti pasangan tanpa cela. Makin sempurna dengan kehadiran seorang putra yang kini berusia 13 bulan.
Siti Saidah alias Nindya dan suami. (Foto: Instagram @muhamad.kholili)
Nyatanya, tak ada yang sempurna di dunia. Kehidupan rumah tangga mereka tak sehangat pelukan Siti di motor Kawasaki Kholili, dan tak semanis senyum-senyum mengembang mereka di akun IG Kholili.
ADVERTISEMENT
Pertengkaran kecil sering terjadi, yang kemudian bertimbun dan meledak di malam 4 Desember 2017. Malam itu, kasih sayang yang dibangun hampir 2 tahun seperti lenyap tak bersisa, seiring melayangnya nyawa Siti di tangan Kholili.
Kholili yang kini mendekam di Rutan Polres Karawang mengatakan, ia memang kerap bertengkar dengan Siti. Salah satu penyebab utama cekcok itu adalah persoalan ekonomi.
“Kebanyakan (permintaan Siti) enggak bisa keturutan. Ke salon biasanya sebulan sekali ya masalah juga,” kata Kholili kepada kumparan, Jumat (29/12/2017).
Di Balik Tindakan Mutilasi (Foto: Intan Alfitry/kumparan)
Pendapatan Kholili sebagai office boy tak sanggup memenuhi permintaan Siti. Gaji Kholili yang Rp 3,8 juta per bulan habis untuk sewa rumah kontrakan Rp700 ribu, dan untuk cicilan motor Kawasaki Ninja Rp1,3 juta.
ADVERTISEMENT
Siti pun terdorong untuk membantu Kholili. Ia mencari penghasilan sendiri. Karena sama-sama bekerja, putri mereka dititipkan ke rumah orang tua Kholili di Bogor.
Siti memulai usaha dengan berdagang baju dan kosmetik. Ia menjajakan dagangannya ke tetangga-tetangganya, dan beberapa dia jual secara online di media sosial.
“Awalnya laku, bajunya bagus-bagus, tetangga pada beli,” kata tetangga Siti yang punya hubungan cukup dekat dengan Kholili-Siti.
Tapi, kata dia, Siti kemudian lelah menjajakan baju ke daerah yang lebih jauh. Padahal, tetangga dekat tak selalu beli baju. Ia pun menyerah, berhenti berjualan baju. Siti ganti berjualan kosmetik dan es bubble. Ia membuka toko di tepi jalan.
“Jual hape untuk modal buka usaha kosmetik, tapi enggak berjalan,” tutur Kholili.
ADVERTISEMENT
“Nyewa toko tapi cuma ditempati paling seminggu-dua minggu. Habis itu enggak buat jualan lagi,” tutur Walijah, tetangga terdekat Siti-Kholili di Karawang.
Siti memang menutup toko kosmetiknya, tapi dia tak menyerah. Ia berniat mencari kerja.
“Pernah curhat pengen nyari kerjaan yang sesuai UMR (Upah Minimum Regional), pengen biar bisa buat angsuran mobil,” ujar Walijah.
Tapi karena hanya lulusan SMP, Siti lantas memalsukan ijazah. Dia melamar pekerjaan di Meikarta dengan ijazah SMA orang lain bernama Dewi. Ini sebabnya dia dipanggil Dewi oleh rekan kerjanya di Meikarta.
Dewi bukan satu-satunya sapaan Siti. Ia juga dipanggil Sinok--seperti tertulis pada akun Facebook miliknya. Sinok, menurut Kholili, ialah panggilan Siti di lingkungan keluarga--yang dalam Bahasa Jawa bisa diartikan “gadis Jawa”.
ADVERTISEMENT
Tapi di lingkaran pertemanan Siti di Semarang, ia disapa Nindy. Nama Nindy itu pula yang dikenal oleh para tetangganya di Karawang.
Siti Saidah alias Nindya dan suami. (Foto: Instagram @muhamad.kholili)
Baru empat hari Siti bekerja sebagai sales promotion di Meikarta, ia kembali bertengkar dengan Kholili. Menurut Kholili, cekcok bermula dari desakan Siti meminta mobil.
“Permintaan mobil ini memang sudah dari lama, sudah empat bulananlah. Desember pengen keturutan gitu, Desember 2017, sekarang. Targetnya gitu,” tutur Kholili.
Kasat Reskrim Polres Karawang AKP Maradona Armin Mappaseng mengatakan, cekcok soal mobil sesuai dengan bukti yang ditemukan selama penyidikan.
“Awalnya masalah mobil. Kami yakini benar karena ada brosur mobil di kontrakan, kemudian di hape ada komunikasi yang mencoba untuk menjual motor untuk DP mobil. Ini bersesuaian dengan bukti yang lain,” kata Maradona di Mapolres Karawang.
ADVERTISEMENT
Pertengkaran soal mobil lantas merembet ke masalah lain. Siti menyinggung orang tua Kholili yang mengganti susu formula anaknya dengan merek yang lebih murah. Menurut Kholili, Siti mengucapkan kata-kata kasar tentang orang tuanya.
“Kenapa diganti yang murah? Enggak sanggup apa gimana ngurusin anak di sana?” kata Kholili menirukan ucapan yang menurutnya dilontarkan sang istri.
Pertengkaran demi pertengkaran membuat suasana rumah kontrakan mereka malam itu panas. Siti dan Kholili sama-sama naik pitam. Kholili mengklaim, Siti lebih dulu menyerang dengan mencekik lehernya.
Kholili kemudian membalas cekikan Siti dengan pukulan keras di kepala yang membuat Siti terpelanting ke lantai. Siti tewas seketika.
“Bukti kematian dari hasil visum adalah pendarahan di bagian kepala. Ini sesuai dengan rekonstruksi yang kami lakukan, dan sesuai dengan keterangan tersangka. Tidak ada saksi,” kata AKP Maradona.
Siti Saidah alias Nindya dan suami. (Foto: Instagram muhamad.kholili)
Melihat istrinya tergeletak tak bernyawa di lantai rumah, Kholili bingung. Bukan rasa sedih atau sesal yang menguasai hatinya kala itu, tapi: bagaimana menutupi perbuatannya?
ADVERTISEMENT
“Saya sempet nonton bola sesudah kejadian untuk ngilangin ini (stres). Sebentar doang sih itu, mikirin lagi gimana caranya (sembunyikan jasad Siti), sempet panik juga gitu,” tutur Kholili dengan wajah sedikit menyeringai.
Kebingungan itu menggerakkan Kholili untuk melakukan kekejaman berikutnya, yakni memutilasi Siti.
Muhammad Kholili di Polres Karawang (Foto: Intan Alfitry Novian/kumparan)
Pagi hari sesudah pembunuhan, Kholili ke pasar membeli golok, plastik, dan tas belanjaan. Pulang dari pasar, dia memotong-motong jasad Siti di ruang tengah kontrakannya, kamar tidur mereka.
“Enggak ada rasa apa-apa. Enggak tahu itu istri atau apa. Yang dipikirin gimana caranya biar cepet selesai,” kata Kholili.
Jasad Siti dipotong menjadi tiga bagian--kepala, badan, dan kaki. Bagian kepala dan kaki dibuang malam itu juga di daerah Cicurug, Kerawang. Namun bagian badan Siti dibawa kembali ke rumah karena Kholili merasa sudah terlalu larut untuk mencari lokasi pembuangan lain.
ADVERTISEMENT
Maka, tanggal 5 Desember itu, Kholili bermalam bersama potongan tubuh istrinya. Esoknya, ia baru membawa badan Siti ke daerah perumahan di Ciranggon, Majalaya, dan mengguyurnya dengan sebotol bensin, lalu membakarnya.
Kholili menunggu sekitar 30 menit. Setelah yakin api benar-benar membakar potongan tubuh Siti, dia baru beranjak pergi.
Kholili juga membakar hampir semua surat-surat identitas Siti, termasuk KTP dan buku nikah, kecuali fotokopi KTP dengan nama Nindy dan Dewi.
“Yang itu (KTP atas nama Nindy dan Dewi) tidak dihilangkan tapi yang asli dihilangkan, tujuannya adalah agar ketika jasad teridentifikasi sebagai SS (Siti Saidah), dia (Kholili) merasa aman dengan alibi, istri saya bukan SS, tapi Dewi atau Nindy,” ujar AKP Maradona.
Muhammad Kholili di Polres Karawang (Foto: Intan Alfitry Novian/kumparan)
Keesokan harinya, 7 Desember, polisi menemukan potongan tubuh Siti yang sudah 98 persen terbakar.
ADVERTISEMENT
“Ternyata pembakarannya tidak sempurna. Setelah jenazah dicuci, tatonya masih bisa kelihatan. Dari situlah kami melakukan identifikasi utama, karena dari sidik jari dan wajah tidak memungkinkan,” kata AKP Maradona.
Polisi kemudian menyebar sketsa tato Siti ke awak media dan media sosial.
Para tetangga dan kerabat yang mengenal Siti, familiar dengan tato tersebut. Siti, menurut cerita tetangga, sehari-hari memang kerap mengenakan baju yang memperlihatkan tato di bagian dadanya itu. Sehingga orang-orang yang sering bertemu dengannya jadi familiar.
Itu sebabnya, mereka menghubungi Kholili dan mengatakan, mungkin saja mayat tak dikenal itu Siti.
Kholili yang merasa tertekan dengan desakan-desakan tersebut, terpaksa melapor ke Polres Karawang bahwa istrinya hilang, dan ciri-cirinya sama dengan jasad yang ditemukan di Ciranggon.
ADVERTISEMENT
“Tanggal 12 Desember dia melapor dengan alibi kehilangan istri, bukan sebagai pelaku (pembunuhan),” kata Maradona.
Kholili merangkai cerita lengkap tentang bagaimana dia kehilangan istrinya. Masalahnya, ada bolong besar pada cerita itu. Kholili bilang, hari Kamis tanggal 7 Desember Siti masih pulang ke rumah kontrakan mereka.
Padahal, polisi menemukan jasad Siti pada hari Kamis itu, dan hasil forensik menunjukkan korban telah meninggal tiga hari sebelum ditemukan.
Polisi lalu mendatangi rumah kontrakan Kholili, dan ia tak bisa lagi menyembunyikan perbuatannya. Di rumahnya, polisi menemukan bukti-bukti pembunuhan berupa bercak darah di sofa, dan kain pel bekas membersihkan darah.
Polisi juga menemukan dua helai kertas berisi curahan hati Siti yang ingin berpisah dengan Kholili karena tidak tahan dengan sifat suaminya.
ADVERTISEMENT
Lembar 1: Pengen pulang ke rumah, tapi malu sama keluarga, malu juga sama tetangga. Punya suami tapi gak tinggal bareng, pikirannya pasti banyak yang negatif.
Lembar 2: Yah, Bunda pamit aja ya... udah capek ngadepin sifat kamu. Kamu lebih sayang mereka ketimbang aku.
“Dari keterangan orang tua korban (Siti), sekitar enam bulan lalu korban sempat kembali ke Semarang karena ada permasalahan orang ketiga. Tapi pelaku (Kholili) menjemput korban untuk dibawa kembali ke Karawang,” kata Maradona.
Menurut Maradona, persoalan orang ketiga itu sesungguhnya saat itu sudah selesai. Namun ia tak bisa memastikan apakah hal itu turut terakumulasi pada emosi Kholili yang akhirnya membunuh Siti.
“Yang tahu ya si tersangka saja. Dalam penyidikan, fakta yang sedang diributkan adalah masalah mobil yang kemudian berkembang pada orang tua tersangka,” kata Maradona.
Surat SS untuk suaminya MK (Foto: Dok. Istimewa)
“Saya yang membunuh istri saya,” kata Maradona menirukan ucapan Kholili usai proses interogasi.
ADVERTISEMENT
Cinta manis yang berawal dari perkenalan di media sosial tahun 2014, kini berakhir tragis. Siti mati di tangan suami.
Setelah berkas penyidikan lengkap, Kholili akan disidangkan dengan sangkaan pasal pembunuhan. Ia terancam hukuman 15 tahun penjara, atau penjara seumur hidup, atau hukuman mati.
Saat ini Kholili belum bisa dituntut pasal pembunuhan berencana karena belum ada bukti bahwa pembunuhan Siti direncanakan.
“Mutilasinya memang direncanakan, tapi bukan pembunuhannya,” ucap Maradona.
Potongan tubuh Siti Saidah (Foto: Dok. Istimewa)
Penyidik menyakini motif mutilasi oleh Kholili murni untuk menghilangkan jejak. Menurut Maradona, dalam kriminologi ada dua faktor dominan yang menyebabkan seseorang melakukan mutilasi terhadap korbannya.
Pertama, karena kelainan jiwa. Kedua, untuk menghilangkan jejak.
“Untuk kasus ini yang dominan adalah alasan yang kedua. Untuk psikologis atau kelainan, masih belum melalui pemeriksaan,” tutur Maradona.
ADVERTISEMENT
Kriminologi Universitas Indonesia Profesor Muhammad Mustofa sependapat.
“Untuk melindungi diri sebagai orang terhormat, dia menghilangkan jejak dengan melakukan tindakan mutilasi. Jadi mutilasi itu rangkaian dari cara pelaku melindungi diri agar tetap terlihat seperti orang baik,” kata dia.
Mustofa mengatakan, orang-orang seperti itu biasanya menyesali perbuatannya. Namun Maradona sang Kasat Reskrim menyangsikan pengakuan menyesal yang keluar dari mulut Kholili.
Menurutnya, jika Kholili benar-benar menyesal, dia akan datang melapor sebagai pembunuh istrinya, bukannya malah mengarang ragam alibi.
Menyesal atau tak menyesal, yang jelas Siti tak bisa lagi kembali. Putra kecil mereka terpaksa harus hidup tanpa ibu, pula dengan ayah berada di jeruji penjara.
Tewas di tangan suami (Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan)