Untaian Doa untuk Gunung Agung

12 Oktober 2017 10:08 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Alkisah, saat Jawa--pulau di barat Bali--belum dihuni manusia, ia terombang-ambing di tengah samudra, terapung-apung tak stabil. Pulau itu senantiasa bergerak dan berubah arah, tak punya poros pengikat.
ADVERTISEMENT
Batara Guru sang dewa tiga dunia--Mayapada (dunia para dewa atau surga), Madyapada (dunia manusia atau bumi), Arcapada (dunia bawah atau neraka)--kemudian menciptakan sejoli di Pulau Jawa, yang lalu beranak pinak.
Para manusia Jawa itu masih telanjang, belum dapat bicara, dan hidup nomad alias mengembara berpindah-pindah.
Dewa-dewa lantas diperintahkan turun ke Pulau Jawa untuk mengajar manusia membuat pakaian, rumah, dan perabot. Namun penduduk Jawa belum merasa tenang karena pulau mereka terus berayun-ayun dan berubah arah.
Untuk menenteramkan hati mereka, Batara Guru meminta agar Pulau Jawa dipaku memakai gunung. Maka, satu dewa mencabut puncak Gunung Mahameru di India, dan membawanya terbang menuju Jawa melewati Pulau Sumatera.
Dalam perjalanan, puncak gunung itu berceceran di sepanjang Sumatera, mewujud Bukit Barisan. Sampai di barat Jawa, puncak Mahameru ditancap sebagai paku, tapi ternyata Pulau Jawa jadi berat sebelah.
ADVERTISEMENT
Alhasil, puncak Mahameru diterbangkan lagi untuk dipakukan di bagian timur Jawa. Lagi-lagi, saat dibawa ke timur, puncak itu berceceran menjadi Gunung Ceremai, Gunung Slamet, Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Gunung Kelud, Gunung Lawu, Gunung Wilis, Gunung Anjasmoro, dan lain-lain.
Setelah semua gunung itu tersebar merata dari barat ke timur Jawa, barulah pulau itu diam stabil, tak lagi berayun-ayun.
Sama seperti Jawa, konon Pulau Bali juga bergoyang-goyang seperti daun mengambang di tengah lautan. Karenanya, puncak Mahameru lantas dibawa ke Bali untuk dipakukan di pulau itu. Bali pun akhirnya kokoh stabil.
Potongan puncak Mahameru di Bali itu ialah Gunung Agung dan Gunung Batur. Keduanya menjadi pusat mandala (area sakral) di pulau itu.
ADVERTISEMENT
Babad di atas berasal dari naskah Jawa Kuno, Tantu Pagelaran. Juga sejumlah naskah lontar Bali, salah satunya Usana Bali. Seluruh cerita tersebut termuat dalam makalah berjudul Letusan Gunung Agung dalam Catatan Lontar Bali yang disusun oleh Sugi Lanus, pembaca lontar Bali.
Gunung Mahameru yang disebut dalam riwayat tersebut, tak bakal kita temukan di India meski memeloti atlas sekalipun. Mahameru, seperti dijelaskan Sugi dalam makalahnya, ialah gunung mitologis dalam Hinduisme dan Buddhisme. Gunung itu dianggap sebagai pusat jagat--titik pertemuan dunia dengan alam kematian.
Asap kawah Gunung Agung. (Foto: ANTARA/Nyoman Budhiana)
Magma masih terus menggelegak sejak Gunung Agung dinaikkan statusnya ke level tertinggi, Awas, pada Jumat, 22 September. Artinya, gunung berapi itu dalam kondisi kritis dan dapat segera meletus.
ADVERTISEMENT
Sejak akhir September hingga awal Oktober ini, aktivitas vulkanik Gunung Agung terus berfluktuasi. Asap belerang putih terlihat menyembur tipis dari atas kawah dengan ketinggian tak tentu--kadang 200 meter, pernah juga hingga 1.500 meter.
Dua hari pasca-Gunung Agung berstatus Awas, Minggu 24 September, seorang budayawan Bali yang berbincang dengan kumparan menangis sedih. Ia menganggap letusan Gunung Agung sebagai bentuk peringatan bagi manusia, seakan-akan orang Bali melakukan dosa besar hingga gunung mereka yang selama 54 tahun tenang, kini kembali bergemuruh.
Gunung Agung, seperti disebut dalam naskah lontar Bali, memang bukan sekadar bentang alam bagi penduduk Hindu Bali.
“Di sana banyak tempat sembahyang. Orang bersembahyang di gunung untuk meminta keselamatan,” kata Kadek Yulianti, salah satu pengungsi di Karangasem, lokasi berdirinya Gunung Agung.
ADVERTISEMENT
Para pengungsi--yang mencapai lebih dari 140.000 jiwa--meyakini betul aktivitas vulkanik gunung itu tak selayaknya dilihat sebagai fenomena alam semata. Para dewa sedang mengirim pesan penting.
Gunung Agung merupakan takhta Batara Siwa, satu dari tiga dewa utama (Trimurti) dalam agama Hindu. Gunung itu menjadi poros sembahyang seantero pulau. Peradaban Bali bermula di kaki gunung tersebut.
Tak heran bila para pengungsi rutin bersembahyang di pura terdekat yang berjarak kurang dari 100 meter dari tenda mereka. Canang sari, sesajen bunga berwadah sulaman daun kelapa yang digunakan untuk upacara keagamaan umat Hindu Bali, banyak dijumpai di tenda-tenda pengungsian.
Kondisi pengungsi Gunung Agung. (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Ulakan ialah lapangan terbuka terbesar di Karangasem yang digunakan untuk menampung pengungsi. Di sana, 20 tenda terpasang untuk menampung sekitar 5.481 orang.
ADVERTISEMENT
Hebatnya, di sudut tenda pengungsian yang sesak, senyum hangat dan paras ramah terpancar dari para bocah, perempuan berjarik, hingga pecalang (penjaga adat) berbadan tegap. Di sudut tenda lain yang kecil, sumbangan Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Provinsi Bali, empat perempuan duduk bercengkerama.
Di antara mereka, yang paling sepuh, tampak berseri. Perempuan 60 tahun itu bernama Ni Made Rumpi. Ia termasuk satu dari sedikit orang yang mengalami letusan Gunung Agung 54 tahun lalu.
“Saya jadi pengungsi dua kali, sekarang dan dulu tahun 1963,” saat tim kumparan menyapanya, Senin (2/10). Kami lantas berbincang santai sambil bersila bersama di teras tenda kecilnya.
Rumpi ialah penduduk Desa Budakeling, Kecamatan Bedandem, yang terletak di sisi tenggara Gunung Agung. Berada dalam radius 12 kilometer dari Gunung Agung, Budakeling dimasukkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ke dalam zona merah. Pada area ini, masyarakat dilarang melakukan aktivitas demi keselamatan mereka jika gunung sewaktu-waktu meletus.
ADVERTISEMENT
Maka warga Desa Budakeling, termasuk Rumpi, kini mengungsi ke tenda-tenda di Kecamatan Manggis. Rumpi sendiri tak banyak tanya ketika diminta mengungsi, sebab ia melihat sendiri bagaimana lahar melintas tak jauh dari rumahnya pada 1963 silam. Ia pun mengajak kerabatnya untuk ikut mengungsi.
Status Awas Gunung Agung kini mau tak mau memicu ingatan kolektif tentang dahsyatnya letusan sang jabal pada 1963 itu. Angka korban tewas mencapai 1.543 orang. Bukan main banyaknya. Siapapun tak ingin bencana besar itu terulang.
Namun bahkan ketika bencana di depan mata, Bali tetaplah Bali, dengan segala keindahan dan aura mistisnya. Alunan gamelan dan lantunan doa berpadu dalam semesta pulau itu, mengalir syahdu di antara sawah-sawah subak bertingkat yang asri.
Ni Made Rumpi, pengungsi Gunung Agung (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Seperti Rumpi, Nyoman Ratniasih (40 tahun) juga melemparkan senyum berseri. Ia tengah memasak bersama empat perempuan lain, saat kami masuk ke dapur umum Balai Banjar Adat Desa Sibetan.
ADVERTISEMENT
Ratna sudah 10 hari mengungsi ketika kami bertemu pekan lalu. Ia meninggalkan rumahnya di Desa Jungutan yang masuk zona merah, yakni Kawasan Rawan Bencana III.
Meski tinggal di pengungsian dalam kondisi serbaterbatas, Ratna dan para “tetangga” barunya tak tampak murung. Mereka memasak bersama dengan senyum tersungging di bibir. Di balai pengungsian yang disekat-sekat terpal itu, para perempuan biasa memasak untuk makan malam bagi seluruh pengungsi yang tinggal di balai tersebut.
Dari 450 titik pengungsian yang tersebar di Karangasem, tak semuanya berwujud tenda-tenda di tanah lapang. Ada pula rumah permanen, termasuk balai. Melintasi jalan terjal menuju Desa Sibetan misalnya, rumah-rumah khas Bali memiliki “ornamen” baru berupa plang bertuliskan “Posko Pengungsi.”
Sibetan, meski berada dalam radius 12 kilometer dari puncak Gunung Agung seperti Desa Budakeling, masih termasuk zona aman. Karenanya ia kini menjadi lokasi pengungsian penduduk desa tetangga, Jungutan yang masuk zona merah.
Pemangku memberi air suci di pura. (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Menjelang sore, Pura Puseh Desa Adat Sibetan yang tak jauh dari lokasi pengungsian berdenyut riuh. Warga desa berpakaian adat berjalan membawa bunga. Para pengungsi dari desa tetangga ikut melangkah di antara mereka.
ADVERTISEMENT
Bencana memang mengintai, namun Pura Puseh justru bersolek, tak seperti biasanya yang dibiarkan tanpa dekorasi. Umbul-umbul menyambut jumlah pengunjung yang terus meningkat sejak Desa Sibetan menjadi rumah sementara warga Desa Jungutan.
Sembahyang di Pura Puseh. (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Sebanyak 80 orang silih berganti masuk ke pura, lalu duduk berjajar rapi di rerumputan. Di belakang mereka, terdapat sebuah rumah kecil untuk pemuka agama yang memimpin persembahyangan.
Sore itu, Jero Mangku Pasek dan Jero Mangku Yasa memimpin peribadatan. Sambil memegang mikrofon, Pasek malafalkan doa dan memimpin para jemaah melaksanakan sembahyang Panca Sembah.
Untaian doa yang terucap dari bibir Jero Mangku Pasek terdengar melebur mesra dengan suara lonceng dan gamelan Bali, membuat para jemaah kian khidmat. Raut mendalam terukir di wajah tiap jemaah ketika mereka mengangkat kedua tangan yang dikatupkan rapat ke depan kening.
ADVERTISEMENT
Ini adalah ibadah khusus untuk ia yang bergolak: Gunung Agung yang hampir meletus.
Sembahyang untuk Gunung Agung (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Jero Mangku Pasek, pemimpin peribadatan, termasuk di antara pengungsi dari Desa Jungutan. Ia biasa melakukan upacara keagamaan di kaki gunung, namun kini lokasi peribadatan dipindahkan. Semua bersatu dalam doa di Pura Puseh Sibetan, memohon ampun dan keselamatan.
“Semua turun ke sini, memohon doa restu kepada Ida Sang Hyang Widhi supaya Gunung Agung, kalau memang nanti meletus, meletusnya agak ringan. Kalau bisa minta dibatalkan meletusnya karena itu membahayakan masyarakat,” kata Pasek, sungguh berharap.
Selaku pemuka agama Hindu Bali, Pasek merasa ada peringatan di balik aktivitas vulkanik Gunung Agung.
“Persembahyangan ini mohon ampun kepada Beliau (Sang Hyang Widhi), menyerahkan diri kepada-Nya, agar Ia bisa memberikan pengampunan terhadap umat-Nya apabila ada tutur dan kesalahan umat Hindu, khususnya di desa saya,” ujar Pasek.
ADVERTISEMENT
Disebut Penguyuh-uyuhan atau Nyejer, persembahyangan tersebut dilakukan lebih dari satu hari guna memohon tujuan tertentu. Pada kondisi di ambang bencana seperti sekarang ini, lantunan doa tentu bertambah, yakni permohonan selamat dari marabahaya.
Ritual Meayu-ayu Gunung Agung (Foto: ANTARA/Nyoman Budhiana)
Bencana memang kerap dianggap sebagai pengingat agar manusia hidup selaras dengan bumi yang mereka pijak. Manusia seperti diajak untuk kembali ke kemurniannya sebagai makhluk yang dekat dengan alam.
Pemuka agama Ida Pedanda Gede Buruan Diler Peling meyakini, Sang Hyang Widhi pasti merasa perlu mengingatkan manusia akan ibadahnya. Dan segala sesuatu bisa dimaknai dalam berbagai arti. Begitu pula dengan gunung suci umat Hindu Bali itu.
Gunung misalnya, dapat disimbolkan sebagai pengayom dengan ketinggian dan keluhurannya. “Budi pekerti manusia juga harus seperti itu, semakin tinggi.”
ADVERTISEMENT
Ratu Prada--panggilan Ida Pedanda Gede Buruan Diler Peling--tak terlalu ambil pusing tentang pemaknaan Gunung Agung. Ia berkata, selama Tuhan menjadi tujuan, jalan hidup manusia pasti dipenuhi keberkatan.
Dan tetap tinggal di zona bahaya Gunung Agung untuk menunjukkan kecintaan semisal, tak disarankan oleh Ratu Prada karena hal tersebut menantang bahaya.
“Saya pribadi selaku pedanda dan rohaniwan mengimbau kepada masyarakat yang ada di bawah Gunung Agung, sebaiknya mengungsilah. Di manapun berada, berdoalah di sana.”
Upacara Purnama Kapat Pura Besakih (Foto: Antara/Nyoman Budhiana)
Kamis pekan lalu, 5 Oktober, peribadatan Purnama Kapat--purnama keempat dalam penanggalan Bali, salah satu hari suci umat Hindu Bali--yang biasa digelar di Pura Besakih, sempat dicemaskan batal karena pura itu berlokasi 9 kilometer dari kawah Gunung Agung yang masuk Kawasan Rawan Bencana III.
ADVERTISEMENT
Namun sembahyang Purnama Kapat, ritual setahun sekali di Pura Besakih itu, akhirnya tetap digelar guna merawat batin masyarakat di tengah bencana.
Peribadatan dihadiri ratusan orang, termasuk Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Mereka memohon keselamatan, berdoa agar status Gunung Agung turun dan letusan tak terjadi.
Pura Besakih punya fungsi penting bagi umat Hindu Bali. Dalam kosmologi Bali, terdapat istilah Gunung Caturlokapala. Caturlokapala ialah konsep ruang dan pemujaan Tuhan yang menekankan pada keseimbangan semesta lewat representasi arah mata angin.
Gunung Caturlokapala dalam Kosmologi Bali. (Foto: Makalah Letusan Gunung Agung dalam Catatan Lontar Bali oleh Sugi Lanus)
Dalam konsep Caturlokapala itu, Gunung Lempuyang berada di sisi timur, Gunung Bratan di sisi barat, Gunung Mangu di utara, dan Gunung Andakasa di selatan. Keempatnya berporos di Gunung Agung dan Gunung Batur--dan Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah poros mandala dari Gunung Caturlokapala tersebut.
ADVERTISEMENT
Tak hanya di Pura Besakih, pura-pura di seluruh Bali pun tekun menggelar peribadatan.
Sampai Rabu (11/10), kondisi Gunung Agung masih berbahaya. Aktivitas vulkanik tinggi, dan ratusan gempa tetap terjadi, menandakan magma dari perut gunung terus merayap naik ke kawah. Gunung bahkan terlihat lebih gembung, seiring tekanan magma dari dalam.
Letusan bisa terjadi kapan pun.
Bersimpuh di Kaki Gunung Agung (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Om nama devaa adhisthanaaya Sarva vyaapi vai sivaaya Padmaasana ekapratisthaya Ardhanaresvaryai namo namah
Oh keseluruhan yang lengkap Kepada dewata yang bersemayam pada tempat yang tinggi Kepada Hyang Siwa yang sesungguhnya berada di mana-mana Kepada dewata yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai, hamba memuja-Mu