Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Malam sebelum tragedi berdarah mengoyak Surabaya, Firman Halim menangis di masjid lingkungan rumahnya, Wonorejo. Remaja 16 tahun itu lantas didekap dan ditenangkan ayahnya, Dita Oepriarto. Fragmen itu disaksikan oleh Khorihan, Ketua RT setempat.
ADVERTISEMENT
“Habis salat magrib sempat nangis-nangis terus dirangkul, dicium, di-puk-puk,” kata Khorihan. Menurutnya, Dita memang biasa merangkul dan mencium kening anaknya usai salat berjemaah.
Pagi harinya, Minggu (13/5), Dita sekeluarga, termasuk Firman, meledakkan bom bunuh diri di tiga gereja . Mereka tewas, menewaskan orang, dan menyebar teror ke penjuru kota.
Kakak Firman, Yusuf Fadhil (18 tahun), juga dua adiknya, Fadhila Sari (12 tahun) dan Famela Rizqita (9 tahun), beserta ibu mereka, Puji Kuswati, menjadi keluarga pengebom bunuh diri. Hal yang jauh dari nalar waras kebanyakan orang.
Aksi keluarga Dita disusul pula keesokan harinya, Senin (14/5), oleh keluarga Tri Murtiono yang meledakkan bom di pintu masuk Markas Polrestabes Surabaya. Itu belum termasuk keluarga Anton Ferdiantono yang tewas terkena ledakan bom yang tengah ia rakit di rusunnya sendiri, Wonocolo, Sidoarjo.
ADVERTISEMENT
Ketiga keluarga itu membunyikan alarm tanda bahaya ke level tertinggi. Indonesia menjadi negeri pertama yang diguncang family suicide bombers. Sebelum ini, para teroris tidak pernah beraksi secara berkeluarga.
“Ini mungkin kali pertama di dunia,” kata Sidney Jones, Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), dalam tulisannya, Surabaya and the ISIS family , yang dimuat di The Interpreter, Selasa (15/5).
Adalah Jamaah Ansharut Daulah yang membawa wajah baru aksi terorisme yang mengerikan itu. Dita adalah pemimpin JAD Surabaya. Dan JAD ialah satu dari berbagai kelompok pro-ISIS di Indonesia. Ia kini menggantikan era Jemaah Islamiyah (JI) yang berkiblat ke Al-Qaeda.
Dibanding kelompok pro-ISIS lain di Indonesia, menurut analis terorisme Adhe Bhakti, JAD punya struktur dan organisasi paling mapan. Anggota-anggota JAD belakangan menyerap nilai-nilai ISIS pusat di Suriah, dan kini mempraktikannya di negeri sendiri.
ADVERTISEMENT
“Al-Adnani, salah satu imam ISIS pusat, misalnya pernah berkata, ‘Hai kalian, kalau mau mendukung Syam, pergilah ke Suriah.’ Kemudian ketika banyak negara mulai membatasi orang-orang yang hendak berangkat ke Suriah, ia mengeluarkan fatwa, ‘Jika pintu-pintu hijrah tertutup untuk kalian, maka beramaliahlah di negara masing-masing.’ Fatwa itu lalu dijawab dengan berbagai serangan di negara-negara di dunia oleh kelompok pro-ISIS,” ujar Adhe.
Sejak ISIS mendeklarasikan kekhalifahan Islam pada 2014 dan mengangkat Abu Bakar al-Baghdadi sebagai pemimpin umat Islam dunia, kelompok-kelompok teroris di Indonesia--yang sempat melemah seiring kematian pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden--punya kiblat baru. Dan gaya teror ISIS berbeda dengan Al-Qaeda.
“Kalau di JI kan nggak ada perempuan disuruh aksi amaliah. Alasannya perempuan perlu dijaga untuk regenerasi. Anak juga dijaga karena generasi penerus. Kalau ISIS sama sekali berbeda, punya logika sendiri yang menjadi mula kultur jihad sekeluarga,” kata Navhat Nuraniyah, peneliti IPAC, kepada kumparan di Jakarta Selatan, Rabu (16/5).
ADVERTISEMENT
Sumber kumparan di lingkaran Jamaah Ansharut Tauhid--cikal bakal JAD--mengatakan, “Kami cuma ingin bergabung dengan negara yang berdiri berdasarkan hukum Islam. Orang beriman itu iman, hijrah (ke Syam/Suriah), wal jihad. Tidak pulang lagi ke negara ini.”
Pendukung ISIS, lanjut Navhat, memang berniat hidup di bawah naungan khilafah dan berbondong-bondong pergi ke Suriah untuk memulai hidup baru. Termasuk mereka yang berada di Indonesia.
“Mereka membawa semua anggota keluarga, supaya bahagia bersama. Jadi logikanya hijrah dan jihad dengan cara migrasi. Masalahnya, nggak semua orang bisa ke Suriah. Ada yang stuck di sini, atau tertangkap. Lalu bagaimana, padahal sudah semangat mau ke surga sekeluarga. Jadi solusinya bagi mereka ya (melakukan aksi) amaliah di sini, di Indonesia.”
ADVERTISEMENT
Kalau sudah begitu, kata eks anggota JI Sofyan Tsauri, “Mereka akan berlomba-lomba beraksi. Ada semacam sugesti untuk mati syahid bersama-sama.”
Menebar Teror
Nama Jamaah Ansharut Daulah mencuat pada 2015. Ia, berdasarkan catatan IPAC yang diperoleh dari sumber intelijen, muncul setelah terjadi konsolidasi kelompok-kelompok simpatisan ISIS di Indonesia. Setahun kemudian, 2016, JAD dituding berada di balik Bom Thamrin.
Sepekan setelah Bom Thamrin 14 Januari 2016, polisi menahan Aman Abdurrahman . Ia tokoh kunci dan pemimpin spiritual JAD. Aman dituding mendalangi teror Bom Thamrin, merancang serangan dari dalam lapasnya di Nusakambangan.
Saat itu Aman mendekam di lapas karena kasus kepemilikan senjata api dan keterlibatannya dalam pelatihan kelompok bersenjata di Aceh. Hari bebasnya sebetulnya sudah dekat, namun melayang karena kasus Bom Thamrin.
ADVERTISEMENT
“Bom Thamrin itu perintah langsung dari Aman. Pelaku-pelakunya merupakan murid langsung Aman,” kata Kurnia Widodo, mantan murid Aman, kepada kumparan.
Aman kembali dibui. Ia dipindahkan dari Nusakambangan ke Rutan Mako Brimob di Depok, Jawa Barat.
Sejak saat itu, JAD disebut polisi terus terlibat sejumlah aksi teror, mulai serangan ke Mapolres Surakarta (Juni 2016), bom molotov di Gereja Oikumene Samarinda (November 2016), Bom Kampung Melayu (Mei 2017), sampai bom panci di Bandung (Mei 2017).
JAD kembali mendapat panggung saat pecah kerusuhan di Mako Brimob , Selasa (8/5). Rutan dikuasai narapidana teroris selama 36 jam, dan anggota Densus disandera serta dibunuh. Untuk meredam huru-hara, Aman ‘turun’ membantu polisi.
Rekaman suaranya diputar polisi untuk meredakan emosi para narapidana. “…untuk urusan dunia tidak pantas terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kecuali masalah prinsipil yang tidak bisa ditolerir. [...] Untuk malam ini agar meredam dulu. Agar yang bukan penghuni pada keluar dulu saja. Tidak ada manfaat juga bikin keributan di kandang singa.”
ADVERTISEMENT
Ucapan Aman Abdurrahman berhasil menurunkan emosi narapidana teroris. Menurut Kurnia Widodo, bagi para anggota JAD, “Aman ibarat Ayatullah.”
Adhe Bhakti, Direktur Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisai, mengamini. “Aman adalah ideolog yang kata-katanya didengarkan jemaah dan dijadikan inspirasi untuk menggerakkan serangan. Ia penggerak, pendorong.”
Namun meski kerusuhan Mako Brimob berhasil diredam, ia memicu bencana lebih besar. Lima hari kemudian, bom meledak di tiga gereja, disusul serangan ke Markas Polrestabes Surabaya sehari sesudahnya, dan Markas Polda Riau hari berikutnya.
Sejak Bom Thamrin, polisi polisi menjadi target paling intens. Teroris tidak lagi menyasar warga Barat seperti Bom Bali dan Bom Kedubes Australia.
Peneliti terorisme UI Sholahudin mengatakan, terdapat pergeseran orientasi soal musuh bersama pada JAD, dan perubahan itu dibawa oleh Aman.
ADVERTISEMENT
Aman sebagai ideolog mengusup konsep perlawanan terhadap “musuh dekat”, berbeda dengan musuh jauh yang muncul akibat invasi militer negara-negara Barat.
Musuh dekat atau near enemy itu lantas direpresentasikan lewat pemerintahan yang tidak berdiri di atas hukum syariat Islam.
Lebih lanjut, konsep musuh dekat ini juga berkelindan dengan niat balas dendam para teroris atas penangkapan dan penembakan aparat negara terhadap kawan-kawan mereka.
Yang jelas, ujar peneliti terorisme Yayasan Prasasti Perdamaian Kharis Hadirin, bom bunuh diri dengan melibatkan seluruh anggota keluarga harus jadi perhatian serius. Betapa paham radikal bisa dengan mudahnya menyusup dan mengendap pekat di rumah-rumah warga.
Penanganan terorisme kian menghadapi jalan terjal.
------------------------
Ikuti rangkaian ulasan mendalam soal Dalang Teror di Liputan Khusus kumparan.
ADVERTISEMENT