WWF: Mengusir Gajah Bukan Jawaban, Perhatikan Habitat Mereka

10 Juni 2019 10:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lipsus "Berebut Rimba", konflik antara gajah dan manusia. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus "Berebut Rimba", konflik antara gajah dan manusia. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Garis kehidupan manusia dan gajah ditakdirkan bertemu di Lampung. Pembukaan lahan untuk perkebunan dan transmigrasi sejak zaman kolonial, Orde Baru, hingga sekarang berada di habitat dan ruang jelajah gajah. Konflik pun terjadi.
Data Elephant Response Unit (ERU) mencatat setidaknya telah terjadi konflik antara gajah dan manusia sebanyak 408 kali di sepanjang perbatasan Taman Nasional Way Kambas dalam rentang 2014-2017.
Gajah dianggap sebagai hama pengganggu kebun dan tanaman. Jejak perjalanannya menyisakan kerusakan perkebunan, pertanian, bahkan korban jiwa.
Kehadiran mereka pun ditanggapi dengan pengusiran. Berbagai cara dilakukan baik cara tradisional maupun metode menggunakan gajah jinak untuk memecah kawanan gajah.
Koordinator Konservasi Gajah dan Harimau World Wildlife Fund for Nature (WWF) Sunarto menganggap tak semudah itu menuntaskan konflik gajah dan manusia. Pertemuan gajah dan manusia di Sumatera, khususnya Lampung, tak bisa dihindari karena keduanya sama-sama mengincar lahan yang sama di wilayah tersebut.
“Di Sumatera, Gajah hidup di daerah yang datar. Kebetulan daerah datar itu adalah yang diincar manusia karena paling produktif. Bisa menjadi sasaran saat ini ekspansi perluasan perkebunan dan juga tempat yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi untuk manusia modern, jadi interaksi itu menjadi sangat intens,” kata lelaki yang meraih gelar doktoral dalam bidang ilmu pengetahuan alam liar di Virginia Tech, Amerika Serikat tersebut.
Gajah yang digunakan Mahout Elephant Response Unit di Tegal Yoso. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Tak pelak, pengusiran gajah dengan cara apapun tak dapat menjadi solusi abadi. Konflik antara gajah dan manusia kerap terjadi. Berikut petikan wawancara kumparan dengan Sunarto via sambungan telepon, Sabtu (1/6):
Bagaimana awal mula konflik antara gajah dan manusia di Sumatera, khususnya Lampung?
Masalahnya itu sudah turun-temurun kemudian juga kita ini sekarang sudah menanggung dampak proses puluhan atau bahkan ratusan tahun, tapi memang akselerasinya yang menggila khususnya di Sumatera.
Di Sumatera, gajah hidup di daerah yang datar. Kebetulan daerah datar itu adalah yang diincar manusia karena paling produktif. Bisa menjadi sasaran saat ini ekspansi perluasan perkebunan dan juga tempat yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi untuk manusia modern, jadi interaksi itu menjadi sangat intens.
Manusia yang tidak terbiasa hidup dengan gajah, sedangkan gajahnya penjelajah dan kadang bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tidak datang ke tempat yang sama. Orang yang datang merasa bisa membuka lahan dan sebagainya. Hasilnya menjadi konflik yang kronis di banyak tempat di Sumatera, dan sebagai spesies yang butuh ruang yang luas.
Sedangkan pemahaman kita tentang ruang itu kan minim. Padahal ruang jelajah gajah bisa mencapai 100-200 kilometer persegi untuk satu kelompok.
Jadi kalau orang membuka lahan di satu daerah, mereka mungkin tak sadar bahwa mereka sedang menekan satu kampung yang ada di kabupaten lain. Suatu kelompok gajah bisa bergerak ke sana, karena habitatnya terdesak.
Gajah di Taman Nasional Way Kambas, Lampung saat berpatroli bersama pawang gajah. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Penyebab utama merosotnya populasi gajah di selatan Sumatera ini apa?
Di Lampung itu dulu Operasi Ganesha, itu sebetulnya awalnya untuk kepunahan lokal gajah di Sumatera. Awalnya terjadi drastis di Lampung, kenapa sekarang gajah sekarang cuma ada di Way Kambas dan Bukit Barisan? Di Bukit Barisan Selatan pun mengalami penurunan yang sangat drastis beberapa tahun terakhir ini, dan tidak banyak yang terdokumentasi. Bahkan banyak yang menyangkal dan menolak bahwa gajah itu sudah menurun drastis.
Padahal dulu bisa dibilang hampir semua daerah di Lampung itu terdapat gajah. Kemudian pelan-pelan ada transmigrasi, perkebunan dan macam-macam. Akhirnya gajah terdesak, gajah menjadi pihak yang harus menyingkir, banyak yang diambil dari alam, banyak juga yang didorong, ujung-ujungnya ya sekarang tinggal di dua tempat itu.
Operasi Ganesha itu ya itu, antara lain ya itu dulu ada program yang dikenal Tata Liman, Guna Liman dan Bina Liman. Liman itu artinya gajah.
Zaman Presiden Soeharto dulu, pengelolaan gajah dengan tiga pendekatan itu. Gajah seperti ditata, dibina dan digunakan. Tata itu seolah seperti pengelolaan. Tapi pada praktiknya dulu ya itu tempat-tempat memang sudah diincar untuk jadi area perkebunan.
Sekarang ada itu Pusat Latihan Gajah (PLG), termasuk di Way Kambas. Ada gajah jinak, itu kebanyakan gajah yang diambil dari alam, dijinakkan. Nah dijinakkan itu istilahnya Bina Liman.
(Operasi Ganesha adalah operasi pemindahan ratusan gajah dari Kecamatan Air Sugihan di Kabupaten Ogan Komering Ilir,Sumatera Selatan menuju Kecamatan Lebong Hitam, Lampung. Pemindahan ratusan gajah ini diinisiasi Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil era Soeharto, Emil Salim. Kala itu Emil tak rela niat pemerintah yang ingin membuka lahan bagi para transmigran justru mengorbankan ratusan gajah. Oleh karena itu, ia memberanikan diri mendiskusikan hal itu dengan Presiden Soeharto. Soeharto mendengarkan aspirasi Emil. Ia pun meminta Panglima Kodam Sriwijaya saat itu Try Sutrisno untuk membantu memindahkan ratusan gajah tersebut. Try, yang di kemudian hari menjadi wakil presiden itu pun memerintahkan Letkol I Gusti Kompyang Manila untuk memimpin operasi yang dilaksanakan pada 1982 tersebut)
Berapa kantong gajah yang masih ada di Lampung sampai saat ini?
Saya mengusulkan kata kantong itu direvisi. Apa sebetulnya yang kita maksud dengan kantong? Beberapa kali rancu. Satu orang bilang kantong itu seperti ini, orang lain menyebutnya lain. Saya cenderung menyebutnya metapopulasi, kumpulan. Hewan seperti gajah itukan kelompoknya bisa dibagi paling kecil itu kelompok keluarga, betina dengan beberapa anak, dan tante. Gajah biasanya betina kelompok besarnya itu.
Pejantan dewasa itu memisahkan diri. Pejantan baru mencari gajah yang siap dikawini. Tapi selebihnya yang jantan itu punya kelompok sendiri. Para pejantan ini seperti satelit. Mereka mengikuti kelompok betina tapi dari jauh.
Kelompok betina itu bisa 20-40 ekor, itu juga tergantung konfigurasi habitatnya, itulah kelompok klan, kumpulan dari beberapa kelompok, kelompok sendiri kumpulan dari beberapa keluarga. Klan ini lah yang dipahami kebanyakan orang yang disebut dengan kantong gajah, ruang jelajah dari satu klan,
Satu klan dengan klan lain, kadang-kadang masih terhubung juga, tapi hanya sesekali
Gajah yang biasa digunakan Mahout Elephant Response Unit di Tegal Yoso. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Gajah-gajah di Way Kambas saya yakin itu masih satu metapopulasi, mungkin ada beberapa kelompok, ada beberapa klan. Di Bukit Barisan Selatan juga begitu. Kalau yang tidak terkoneksi sama sekali biasanya yang ada barrier yang sangat signifikan. Misalnya wilayah yang dikelilingi sama dengan tebing, lantas mereka enggak bisa bersatu. Tapi sebetulnya kalau di Sumatera pasti ada suatu masa pernah terhubung. Tapi kalau sudah terjebak sangat jauh atau sekarang terhalang sama perkotaan misalnya sekarang antara di Bukit Barisan Selatan dan di Way Kambas bisa dibilang enggak mungkin nyambung, sudah ada barrier. Bisa dibilang itu sudah enggak metapopulasi.
Gajah mencari tempat-tempat bukan hutan primer, tapi yang ada makanan. Jadi ada kecenderungan juga gajah akan menghuni pinggir hutan, apalagi kalau di pinggir hutan itu banyak perkebunan yang ditanam tanaman yang disukai gajah. Tanaman padi saja bisa menarik gajah alami untuk keluar, begitu.
Gajah di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Anda menyebut ada barrier kalau gajah masuk ke desa penyangga, lalu dihalau lagi masuk ke hutan. Apa itu bisa merusak pola daya jelajah gajah?
Ya. Yang jelas mereka terpaksa beradaptasi juga dengan kondisi seperti itu. Tentu tidak ideal, tapi yang namanya satwa dia pasti punya kemampuan beradaptasi sampai tingkat tertentu. Kalau diusir di satu tempat, tentu dia belajar juga kan. Apa alasan diusir, apakah mereka masih mengakali, atau ada tempat lain yang lebih aman buat dia. Pasti hampir semua satwa punya kalkulasi cost and benefit seperti itu.
Mahout Elephant Response Unit menyalakan petasan untuk mengusir gajah liar. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Apa gajah akan menjadi lebih agresif setelah ditekan manusia?
Kalau mereka sudah tidak punya tempat lagi untuk lari, biasanya mereka akan berupaya dengan segala cara untuk beradaptasi atau lebih beringas dan sebagainya. Ini yang bikin kita khawatir, di Sumatera kecenderungannya seperti itu.
Jadi agresif itu kan respons saja dari apa kita lakukan terhadap mereka. Kalau satwa itu tidak diperlakukan dengan baik biasanya mereka juga tidak menjadi beringas. Kalau kita beringas ke mereka, dia juga akan seperti itu ke kita. Gajah itu kan punya ingatan yang sangat kuat. Makannya penanganan konflik itu enggak cukup hanya dengan misalnya mengusir saja, jadi harus holistik
Idealnya apa yang harus dilakukan?
Pertama kebutuhan habitat harus diperhatikan dulu ya cukup atau tidak habitatnya. Kalau misalnya sudah menyempit, apa bisa diperkaya. Kemudian ada tempat-tempat tertentu menjadi obligat (kondisi dasar) untuk dia bergerak, karena dia juga perlu berinteraksi. Gajah makhluk sosial yang sangat kuat, bahkan sepertinya lebih daripada kita. Saya beberapa kali mengamati mereka betul-betul setia kawan. Misalnya satu temannya dalam kawanan sedang terjebak, mereka akan menunggu temannya itu.
Saya pernah pasang GPS ke satu ekor gajah. Dia menunggu dengan kawanannya sampai temannya betul-betul sadar dan bisa diajak jalan lagi. Padahal sudah diusir tetap saja mereka di situ. Video-video kita di tempat lain juga banyak sekali menunjukkan ketika kawanan gajah melihat anggota kelompok yang terjebak, teman-temannya harus menunggu, bantu menarik dan sebagainya.
Sangat tinggi sekali ikatan sosialnya. Mungkin saya pikir mungkin manusia bisa kalah. Dan gajah multidimensi. Mereka bisa berbahasa lewat banyak hal. Kita enggak bisa memahami bahasa mereka. Tapi mereka akan sangat sensitif dengan keadaan.
Nasib Para Gajah. Foto: Basith Subastian/kumparan dan Rina Nurjanah/kumparan
Kami mendengar cerita warga bahwa semakin meningkatnya interaksi antara gajah dengan manusia, menyebabkan para gajah semakin berani dengan manusia. Bagaimana penjelasan Anda soal ini?
Terlebih lagi kalau mereka sudah tidak punya tempat lain. Mau tidak mau akhirnya melawan. Terlebih lagi kalau mereka tahu bahwa berinteraksi manusia tidak apa-apa.
Terlebih lagi bila mitigasi konfliknya hanya fokus pada pengusiran misalnya. Mereka akan belajar dari situ. Makanya kita harus berpikir bagaimana mengubah mindset kita. Bagaimana mencari cara untuk hidup berdampingan secara lebih damai, itu memang tidak mudah tapi harus dicari, di beberapa tempat dimungkinkan.
Contoh penanganannya?
Saya pernah lihat di Thailand, ada Taman Nasional Kuiburi di Phetchaburi. Di situ ada pengayaan habitat. Tapi memang perlu komitmen high level di situ. Kalau di Thailand rajanya langsung yang menitahkan, ini kawasan harus diamankan buat gajah. Waktu itu dia memerintahkan tentara untuk menjaga keamanan tempat itu. Kemudian ada dana khusus juga, dan sekarang menjadi tempat wisata. Sedangkan di Afrika dan India, konflik secara sporadis juga masih terjadi.