Posisi ‘Merek Nasional’ di Dalam Perpres Kendaraan Listrik

16 Agustus 2019 14:52 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi mobil listrik. Foto: Dok: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mobil listrik. Foto: Dok: kumparan
ADVERTISEMENT
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2019, tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan akhirnya terbit, setelah digodok kurang lebih 2 tahun.
ADVERTISEMENT
Namun, pertanyaan yang timbul kemudian, seberapa berpihak Perpres tersebut terhadap produsen kendaraan listrik asli Indonesia atau yang bermerek nasional?
Mengingat, sepanjang proses perumusan Perpres, para pemain lokal berharap mendapat tempat istimewa, supaya bisa menikmati pasar dalam negeri. Apalagi dari sisi SDM, sudah banyak anak bangsa mampu menguasai teknologinya.
Mobil listrik BLITS hasil karya mahasiswa ITS (tampak depan) Foto: Aditya Pratama Niagara/kumparanOTO
Hanya saja, harapan bisa mendapat proteksi itu langsung disanggah Presiden Joko Widodo November 2018 lalu. Dirinya mengatakan, upaya untuk memproteksi barang di industri usaha itu tak mendidik.
Meski begitu, ternyata Perpres masih tetap memberikan perhatian lebih, buat industri kendaraan listrik dengan embel-embel ‘merek nasional’. Walaupun memang kriteria ‘merek nasional' seperti apa tak begitu jelas.
Berikut beberapa pasal di dalam Perpres kendaraan listrik yang menyinggung soal ‘merek nasional’.
Perpres kendaraan listrik bermerek nasinoal. Foto: Istimewa

Pasal 1 poin 13.

KBL Berbasis Baterai Bermerek Nasional adalah KBL Berbasis Baterai yang menggunakan tanda, gambar, logo, nama, dan kata yang berciri khas atau karakteristik Indonesia.
ADVERTISEMENT

Pasal 14

Perusahaan industri KBL Berbasis Baterai Bermerek Nasional merupakan perusahaan yang:
a. Menggunakan komponen KBL Berbasis Baterai dalam negeri yang memenuhi kriteria TKDN sesuai dengan ketentuan di dalam Perpres.
b. Memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, yaitu didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan beroperasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan memiliki izin usaha industri untuk merakit atau memproduksi KBL Berbasis Baterai.
Mobil listrik buatan mahasiswa UII Yogyakarta. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
c. Penanaman modal dalam negeri yang dapat diberikan insentif fiskal tambahan, yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, serta insentif nonfiskal tambahan yang ditetapkan oleh menteri terkait, setelah mendapat masukan dari Tim Koordinasi percepatan program KBL Berbasis Baterai.
d. Melakukan peneilitian dan atau inovasi teknologi industri KBL Berbasis Baterai di dalam negeri.
ADVERTISEMENT

Pasal 15

Perusahaan industri KBL Berbasis Baterai Bermerek Nasional, yang membangun fasilitas manufaktur dan perakitan KBL di Indonesia, dapat diberikan fasilitas tambahan.
Presiden Joko Widodo menjajal motor listrik buatan dalam negeri Gesits seusai melakukan audiensi dengan pihak-pihak yang terlibat proses produksi. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Pasal 17 ayat 3 angka e

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan insentif untuk mempercepat program KBL Berbasis Baterai untuk transportasi jalan, salah satunya kepada perusahaan industri KBL Berbasis Baterai Bermerek Nasional, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.

Pasal 21

Dalam rangka percepatan industri KBL Berbasis Baterai dalam negeri untuk memproduksi KBL Berbasis Baterai Bermerek Nasional, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan:
a. Insentif fiskal dan insentif nonfiskal yang sudah tertera pada Perpres (pasal 19-20)
b. Insentif fiskal dan nonfiskal tambahan.
Namun, dari ketentuan tersebut --khususnya soal perusahaan yang bisa disebut sebagai ‘bermerek nasional' pada pasal 14--, tak tercantum satu syarat penting lain, yaitu harus bekerjasama dengan merek asli dalam negeri (joint venture), yang komposisi sahamnya 51 persen dimiliki oleh pemegang saham Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ketua Program Percepatan dan Pengembangan Kendaraan Listrik dan Penasihat Khusus Menko Maritim Satryo Soemantri Brodjonegoro, sebelumnya menyebutkan, klausul tersebut pernah disinggung saat perumusan Perpres. Namun kini setelah terbit, persyaratan tersebut tak tercantum.