Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
4 Mekanisme yang Bisa Sebabkan Volcanogenic Tsunami di Selat Sunda
23 Desember 2018 12:30 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:51 WIB
ADVERTISEMENT
Sejumlah daerah di pesisir Selat Sunda terkena dampak tsunami dengan ketinggian gelombang rendah yang beragam pada Sabtu (22/12) malam sekitar pukul 21.15 WIB. Air laut tiba-tiba naik hingga merobohkan sejumlah bangunan di Anyer, Lampung, dan daerah pesisir Selat Sunda lainnya.
ADVERTISEMENT
Gelombang tsunami yang mencapai garis pantai ini tidak didahului oleh adanya gempa tektonik. Meski awalnya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan bahwa kejadian tersebut hanyalah gelombang pasang tinggi biasa, pada akhirnya Kepada BMKG Dwikorita Karnawati mengonfirmasi bahwa kejadian tersebut adalah tsunami yang diduga disebabkan oleh aktivitas Gunung Anak Krakatau.
“Tsunami terdeteksi cukup jauh sampai ke Bandar Lampung, Cilegon, Banten, Serang, energinya cukup tinggi sehingga paling penting bagi masyarakat tetap tenang. Mohon jangan berada di pantai yang Selat Sunda, baik di Lampung, Banten,” kata Dwikorita dalam konferensi pers yang digelar Minggu (23/12) dini hari.
Koordinator Bidang Vulkanologi Pusat Penelitian Mitigasi Bencana (PPMB) Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurrachman, menuturkan bahwa aktivitas Gunung Anak Krakatau memang tercatat terus menggeliat akhir-akhir ini. Dia menyatakan “lebih dari 400 letusan kecil terjadi dalam beberapa bulan terakhir.”
ADVERTISEMENT
“Letusan besar terjadi pukul 18.00 (Sabtu, 22 Desember) dan terus berlanjut hingga pagi ini (Minggu, 23 Desember) dan terdengar hingga Pulau Sebesi yang berjarak lebih dari 10 kilometer arah timur laut seperti dilaporkan tim patroli,” papar Mirzam dalam pernyataan tertulisnya kepada kumparanSAINS, Minggu (23/12).
Menurutnya, sebuah gunung yang terletak di tengah laut seperti halnya Anak Krakatau atau yang berada di pinggir pantai, sewaktu-waktu sangat berpotensi menghasilkan volcanogenic tsunami, yakni tsunami yang disebabkan aktivitas vulkanik gunung berapi.
Mirzam memaparkan, volcanogenic tsunami bisa terbentuk oleh adanya perubahan volume laut secara tiba-tiba akibat letusan gunung api. Ada 4 mekanisme yang menyebabkan terjadinya volcanogenic tsunami.
Mekanisme pertama adalah kolaps atau runtuhnya kolom air akibat letusan gunung api yang berada di laut. “Mudahnya seperti meletuskan balon pelampung di dalam kolam yang menyebabkan riak air di sekitarnya,” terang Mirzam.
ADVERTISEMENT
Sementara mekanisme kedua adalah pembentukan kaldera akibat letusan besar gunung api di laut menyebabkan perubahan kesetimbangan volume air secara tiba-tiba. “Menekan gayung mandi ke dalam bak mandi kemudian membalikkannya adalah analogi pembentukan kaldera gunung api di laut,” tutur Mirzam mengibaratkannya dengan contoh yang lebih mudah.
Menurut catatan sejarah mekanisme pertama dan kedua pernah terjadi salam letusan Krakatau pada 26-27 Agustus 1883. Tsunami tipe ini seperti tsunami pada umumnya, yakni didahului oleh turunnya muka laut sebelum gelombang tsunami yang tinggi masuk ke daratan.
Mekanisme lainnya, yakni yang ketiga, adalah terkait longsor. Material gunung api yang longsor bisa memicu perubahan volume air di sekitarnya. Tsunami tipe ini pernah terjadi di Gunung Unzen di Jepang pada 1972. “Banyaknya korban jiwa saat itu hingga mencapai 15.000 jiwa disebabkan karena pada saat yang bersamaan sedang terjadi gelombang pasang,” beber Mirzam.
ADVERTISEMENT
Adapun mekanisme keempat adalah terkait aliran piroklastik. Sebagian orang terkadang menyebut alias piroklastik ini sebagai wedus gembel yang turun menuruni lereng dengan kecepatan tinggi saat letusan terjadi. Aliran inilah yang bisa mendorong muka air jika gunung tersebut berada di atau dekat pantai.
Volcanogenic tsunami akibat longsor ataupun aliran piroklastik umumnya akan menghasilkan tinggi gelombang yang lebih kecil dibandingkan dua mekanisme sebelumnya. Namun begitu, kedua mekanisme terakhir ini juga bisa sangat merusak dan berbahaya karena tidak didahului oleh surutnya muka air laut, seperti yang terjadi di Selat Sunda tadi malam.
Mirzam menegaskan, perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan penyebab utama tsunami yang terjadi di Selat Sunda semalam.