Apa Salah Kecoak dan Jangkrik?

24 Januari 2017 16:20 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kecoak, salah satu jenis serangga. (Foto: Wikimedia Commons)
Jika ada serangga yang tercampur ke dalam makananmu, apa kamu akan memakannya? Jika tidak, apa alasan kamu enggan memakannya?
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, foto penampakan serangga di sajian makanan restoran Holycow! Steakhouse by Chef Afit di Gading Serpong, Tangerang Selatan, sempat viral di media sosial.
Foto itu bersumber dari seorang pengunjung restoran tersebut yang bernama Vyna Girilawu. Vyna menyampaikan keluhan di akun Facebook-nya terkait penemuan kecoak yang ada di piring makanan yang ia pesan.
Penampakan serangga di makanan Vyna. (Foto: Vyna Girilawu/Facebook)
Pihak Holycow! kemudian menanggapi keluhan Vyna yang telah viral tersebut dengan mengucapkan permohonan maaf dan klarifikasi bahwa serangga yang ada di makanan Vyna itu bukanlah serangga, melainkan sejenis walang sangit.
kumparan menghubungi Prof. Rosichon Ubaidilllah, peneliti serangga di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk menanyakan apakah mengonsumsi serangga, khususnya kecoak dan walang sangit, berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia?
ADVERTISEMENT
Rosichon menjawab, “Ada beberapa manusia yang sangat sensitif terhadap protein kompleks yang dimiliki serangga, khususnya kulitnya (chitin) yang akan berdampak buruk (alergi). Tetapi bagi yang tahan, tidak masalah.”
Alergi akibat mengonsumsi kecoak dan walang sangit itu bisa timbul ketika kedua serangga itu dimakan mentah-mentah maupun dimakan setelah dimasak.
“Dimasak pun bisa menimbulkan alergi. Seperti halnya orang makan udang atau kepiting yang keduanya memilki chitin (protein kompleks),” kata Rosichon.
Dalam istilah berbahasa, kecoak yang dalam bahasa Jawa disebut coro ini juga kerap diasosiasikan sebagai hal yang kecil atau remeh. Hal itu terlihat dari lazimnya ungkapan "rakyat kelas coro", "bandit kelas coro", dan lainnya dalam percakapan masyarakat.
Padahal banyak hewan lain yang lebih kecil dibanding kecoak di dunia ini, misalnya semut dan nyamuk. Tapi kenapa yang dipillih justru kata "coro"?
ADVERTISEMENT
Angkutan umum serupa jangkrik. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Berselang beberapa hari dari viralnya foto walang sangit yang diduga kecoak di sajian makanan Holycow!, media sosial kembali memviralkan jenis serangga lain yang disebutkan oleh Plt Gubernur DKI Jakarta Sumarsono.
Soni, sapaan akrab Sumarsono, mempermasalahkan desain Mass Rapid Transit (MRT) yang pengerjaannya hampir rampung. Sumarsono dan tim merasa tidak sreg dengan desain lokomotif MRT yang dinilainya mirip kepala jangkrik.
Sumarsono plt. Gubernur DKI Jakarta (ilustrasi). (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Ucapan Soni tersebut menyiratkan dia tidak menyukai rupa kepala jangkrik yang menurut pandangannya tampak jelas pada desain MRT. Atau bahkan bisa jadi pendapatnya itu juga menyiratkan bahwa jangkrik adalah hewan yang buruk rupa.
Di sejumlah daerah di Indonesia, terutama Jawa Timur, ucapan “jangkrik” juga kerap dijadikan sebagai ungkapan kekesalan atau umpatan. Kata “jangkrik” seolah berkonotasi dengan hal-hal buruk.
ADVERTISEMENT
Namun lucunya, meski sering dijadikan sebagai kata umpatan, serangga bertubuh kecil ini juga kerap dimanfaatkan oleh banyak orang di beberapa daerah, terutama Jawa, untuk berbagai hal keperluan.
Kumpulan jangkrik. (Foto: Wikimedia Commons)
Sebagian orang menjadikan jangkrik sebagai bahan makanan karena mengandung hormon dan protein tinggi yang bermanfaat bagi kesehatan dan vitalitas tubuh. Sebagian orang lainnya memanfaatkan jangkrik sebagai pangan ternak, dan yang lain memeliharanya sebagai pengusir hama tikus melalui suara nyaring yang dihasilkannya.
Jangkrik yang ada saat ini ternyata merupakan hewan purba yang telah hidup sejak dahulu kala. Dengan ditemukannya fosil jangkrik yang terperangkap pada getah pohon di Kolombia, setidaknya jangkrik telah ada di bumi sejak 48 juta tahun lalu.
Di negeri China, jangkrik telah lama disadari keberadaannya sebagai penghasil suara yang indah.
ADVERTISEMENT
Selama masa pemerintahan Dinasti Tang, 618-906 Masehi, sebagian masyarakat China gemar memelihara jangkrik dewasa dalam wadah yang terbuat dari bambu untuk dinikmati suaranya. Hal itu diketahui karena pada zaman tersebut ditemukan puisi yang bercerita tentang suara jangkrik.
Pada zaman sebelum Dinasti Tang, 500 Sebelum Masehi-618 Masehi, masyarakat China juga telah mengagumi jangkrik. Pada masa itu, ditemukan lukisan jangkrik yang diperkirakan dibuat pada tahun 300 Sebelum Masehi.
Bukankah objek yang dijadikan lukisan biasanya adalah objek yang indah?