Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan sudah mengkhawatirkan. Masyarakat di Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, dan wilayah lainnya mulai mengalami gangguan kesehatan karena terpapar kabut asap dari karhutla tersebut.
ADVERTISEMENT
Bahkan, pada akhir Agustus lalu ada seorang warga Kota Pekanbaru yang meninggal dengan dugaan akibat kabut asap karhutla. Warga berusia 59 tahun bernama Helmy Oemar itu ditemukan dalam kondisi meninggal dunia di daerah Rimbo Panjang. Diduga, kondisi kesehatannya memburuk akibat polusi asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Provinsi Riau.
“Memang di sekitar Rimbo Panjang itu ada kebakaran (lahan) tapi kemungkinan sebagian kecil karena pengaruh riwayat vertigo juga, dan mungkin karena kondisi asap bisa jadi pemicu (meninggal),” kata Shadik Helmy, anak kandung almarhum Helmy Oemar, seperti yang kumparanSAINS kutip dari Antara.
Shadik mengatakan selama ini kondisi ayahnya relatif sehat, tidak ada riwayat jantung. Adapun kondisi udara pada saat kejadian memang sedang berselimut asap atau jerebu karena di Rimbo Panjang sedang terjadi kebakaran lahan gambut.
Dampak kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan terhadap tubuh manusia memang bisa sangat berbahaya. Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Science of The Total Environment pada 15 Mei 2018 menyimpulkan bahwa paparan kabut asap dan partikel halus dihubungkan dengan peningkatan risiko asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), bronkitis, dan pneumonia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, studi ini juga menemukan bahwa paparan kabut asap juga berhubungan dengan kematian dini. Pendek kata, kabut asap memang bisa mematikan.
Health melansir bahwa menghirup kabut asap bisa menyebabkan batuk-batuk, napas pendek, cedera pada tenggorokan serta paru-paru. Dalam kasus ekstrem, menghirup kabut bisa menyebabkan asupan oksigen ke jantung terputus, suatu hal yang bisa berakibat fatal pada seseorang.
Badan Perlindungan Lingkungan AS (Environmental Protection Agency/EPA) juga pernah melaporkan bahwa partikel halus di kabut asap berbahaya. Kabut asap ini bisa memicu timbulnya kondisi asma, sakit jantung, dan PPOK pada seseorang memburuk.
Perlunya penelitian mengenai dampak kesehatan jangka panjang akibat terpapar kabut asap
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan peristiwa yang berulang kali terjadi setiap tahunnya. Masyarakat di beberapa wilayah Sumatera dan Kalimantan seolah sudah langganan menghirup kabut asap dari karhutla saban tahun. Padahal kabut asap ini bisa membahayakan keselamatan mereka.
ADVERTISEMENT
Bila dalam jangka pendek mereka masih merasa baik-baik saja, mungkin dalam jangka panjang dampak kesehatan akibat terpapar kabut asap karhutla itu baru akan tampak pada tubuh mereka. Hal inilah yang perlu diselidiki dan diwaspadai.
Rick Kreutzer, kepala divisi kontrol penyakit dan lingkungan dari Departemen Kesehatan Masyarakat California, mengatakan kepada The Huffington Post bahwa belum banyak yang diketahui mengenai efek kumulatif dari paparan kabut asap setiap tahunnya. Sebab, hanya ada sedikit riset yang mempelajari hal itu.
Kreutzer menambahkan bahwa kebanyakan ahli menganggap konsekuensi kesehatan dari kabut asap akibat kebakaran hutan hanya bersifat jangka pendek saja. Coco Liu, peneliti spesialis kesehatan lingkungan Johns Hopkins University, sepakat dengan apa yang Kreutzer katakan.
Liu pernah melakukan sebuah penelitian yang mempelajari 61 studi lain mengenai hubungan antara kebakaran hutan dengan kesehatan manusia. Dari situ Liu menyimpulkan bahwa asap kebakaran hutan secara signifikan meningkatkan risiko penyakit pernapasan.
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan bahwa kabut asap kebakaran hutan terbukti telah meningkatkan jumlah pasien yang datang ke rumah sakit dengan keluhan penyakit pernapasan. Meski begitu, kebanyakan studi yang Liu pelajari hanya mempelajari dampak jangka pendek dan tidak mempelajari dampaknya pada tubuh manusia dalam periode waktu yang lama.