LIPSUS Awas Distimia, dr. Jiemi Ardian, SpKJ

dr. Jiemi Ardian: Banyak Orang Depresi Menahun Distimia tapi Tak Sadar

11 Oktober 2019 10:03 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
dr. Jiemi Ardian, SpKJ saat menjadi pembicara di kelas kumparan dengan tema workplace mental health di kantor kumparan. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
dr. Jiemi Ardian, SpKJ saat menjadi pembicara di kelas kumparan dengan tema workplace mental health di kantor kumparan. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Tertawa dan rasa senang biasanya datang satu paket. Namun, untuk Azizah (25), perempuan asal Sidoarjo, kedua hal tersebut tak datang bersamaan. Pernah dulu, dalam satu waktu yang panjang, tawa Azizah tak diiringi rasa senang. Entah tertinggal di mana.
"Walaupun yang lain ketawa, ya kita ketawa biasa saja. Tapi dalam hati itu kayak ada yang kurang, yang kosong," Azizah bercerita kepada kumparan, Senin (7/10).
Belum lagi perasaan sedih yang terus membalut hati Azizah. Dan dia tak tahu apa penyebab perasaan sedihnya itu. Meski begitu, apa yang dialami Azizah itu tak sampai mengganggu pendidikan dan kariernya. Azizah tetap berprestasi dan tetap bisa bekerja secara normal.
Namun, pada suatu waktu perasaan itu berkecamuk dan membuat Azizah seperti diteror kematian. Dia lantas periksa ke dokter. Hasilnya dia sehat wal afiat. Tetapi dia justru semakin gusar. Pulang dari tempat dokter dia malah merasakan perasaan seperti akan mati. “Aku sampai enggak mau naik motor keluar. Takut jatuh, takut ketabrak. Kayak memikirkan satu hal yang enggak terjadi,” Azizah menyebutkan.
Dia pun mencoba alternatif lain dengan mencari informasi di internet. Hasilnya, Azizah terdorong untuk mendatangi seorang psikolog. Niat itu pun terlaksana pada 2016 lalu, tujuh tahun setelah dia tidak bisa merasakan senang sama sekali. Oleh psikolog, Azizah lalu menjalani sejumlah tes, termasuk diberikan 520 soal untuk dijawab. Azizah didiagnosis mengalami distimia.
Distimia adalah gangguan mental hampir serupa dengan depresi. Namun, keduanya adalah soal yang berbeda. Belum lama, dr. Jiemi Ardian, seorang psikiater yang aktif bersuara soal kesehatan mental membuat utas tentang distimia di akun Twitternya.
“Distimia itu kondisi yang mirip depresi, tapi lebih ringan, dan bertahan lebih lama. Dalam buku diagnosis disebutkan minimal berlangsung selama 2 tahun,” cuit Jiemi.
Kondisi depresi yang cenderung ringan membuat keseharian seseorang yang mengalaminya tak terganggu. Persis dengan yang dialami Azizah. “Orang dengan distimia masih bisa tertawa kok. Tapi ketika mereka tertawa, sulit bagi mereka untuk merasakan "rasa senang",” papar psikiater yang sehari-hari praktik di RS Siloam Bogor itu.
Kendati distimia tergolong lebih ringan, puncak penderitaannya bisa berupa upaya bunuh diri. Oleh sebab itu, mendeteksi distimia menjadi hal penting, baik oleh mereka yang mengalami maupun lingkungan sekitar.
kumparan berbincang panjang lebar dengan dr. Jiemi di sela-sela acara Ideafest, Jakarta Convention Center, Sabtu (5/10). Saat itu dia menjadi salah satu pemateri di acara tersebut.
Dokter Jiemi menjelaskan perbedaan antara distimia dan depresi, ciri-ciri orang yang mengidap distimia, bagaimana cara penyembuhannya, dan seperti apa sebaiknya orang-orang lebih peka, peduli terhadap kondisi mental orang di sekitarnya. Berikut kutipan wawancara kumparan dengan dr Jiemi:
Ilustrasi depresi. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Apa yang membedakan distimia dengan depresi pada umumnya?
Perbedaannya ada pada intensitas dan durasi. Depresi itu sebenarnya mirip flunya gangguan jiwa. Jadi anda bisa flu, flu berat tapi ada periodenya di mana akan sembuh. Tapi, akan bisa flu lagi. Kita bisa mencegah flu itu datang, tapi dia mungkin datang, mungkin juga enggak. Enggak ada yang tahu. Pada periode depresi itu ada orang-orang yang didiamin hilang sendiri. Ada yang menetap panjang sama sekali. Sampai akhirnya kondisi berat dan sebagainya. Sama kayak orang flu yang tiba-tiba berat malah infeksi jadi semakin berat kan ya. Intensitasnya kuat.
Distimia itu enggak. Distimia itu kayak masuk angin. Ada gejala-gejala flu tapi dia bedanya enggak hilang-hilang. At least two years. Di dalam dua tahun enggak pernah senang sama sekali. Mau ngapain pun enggak pernah senang.
Sebenarnya yang harus kita bedakan itu ada tiga kondisi, empat mungkin ya. Depresi intensitasnya kan jelas, distimia, yang ketiga burnout kalau terkait pekerjaan, yang keempat adalah stress disorder. Karena kalau stres berlangsung terus menerus, intens, jatuh ke burnout. Burnout itu karakteristiknya mirip cynicism. Kita enggak bisa senang lagi sama kerjaan, enggak punya motivasi lagi. Itu bau-baunya mirip sama distimia, tapi bukan distimia.
Apa pemicunya?
Konspirasi semesta. Saya serius—konspirasi semesta. Depresi, distimia itu konspirasi antara gangguan genetik, stressor lingkungan, dan tidak adanya support psychosocial. Jadi tidak satu kondisi sederhana tapi memang keseluruhan sistem ini terganggu.
Ada penelitian menarik. Distimia itu dicoba dibandingkan efektivitasnya distimia (penanganan) dikasih obat sama distimia dilakukan konseling. Hasilnya lebih bagus distimia yang dikasih obat. Artinya dalam tanda kutip enggak sesederhana tentang stressor. Ada gangguan biologis tubuh yang terjadi sampai dia perlu dikasih obat. Gitu maksudnya. Beda sama burnout dan segala macam.
Distimia ini berbeda perspektifnya dengan stres dan capek kerjaan. Walaupun kalau kita ngomong kayaknya sama jadinya. Tapi sebenarnya beda. Dan yang membedakan gampang kok. Kalau kita masih merasakan happiness, itu bukan distimia. Distimia itu totally enggak bisa merasakan happiness dua tahun bisa bayangin paling tidak. Apapun yang kamu lakukan tidak akan ada bahagia di sana. Kalau orang burnout kalau dia ngambil jeda waktu break atau dia ngapain keluar akan ada kebahagiaan yang timbul keluar.
Kalau depresi orang bisa ngelihat dari jauh ya. Perilaku terganggu, kerjaannya juga jelek. Kalau distimia masih. Walaupun enggak seoptimal orang biasa. Masih bisa kerja, wajar. Tapi inability untuk feel happiness-nya kuat sekali.
Distimia bukan depresi biasa. Foto: Argy Pradypta
Apa tanda-tanda awal distimia?
Persis tanda-tanda depresi. Karakteristiknya sama. Cuma intensitasnya tidak sekuat depresi. Jadi cuma di intensitas sama durasi. Misalnya depresi, mood depresi itu bukan sedih ya. Tapi lebih kayak kosong gitu. Kalau depresi itu sampai membuat seseorang misal enggak mampu melakukan apa-apa. Cuma bisa tidur-tiduran, energinya habis. Kalau distimia, dia merasa lemas, tapi dia masih bisa beraktivitas. Dia ngerasa suicidality misalnya kalau depresif dia kuat banget, strong. Distimia, terpikir tapi terpikir saja.
Bukan berarti dia lebih rendah levelnya. Tapi intensitasnya enggak kuat. Kadang orang bisa melakukan karena impulsif bukan intensnya. Pas lagi ada misalnya impuslnya datang, misalnya minum obat langsung pas kebetulan. Belum tentu tidak berbahaya tapi intensitasnya rendah.
Tapi kalau keberbahayaan sama aja penilaiannya. Untuk makan misalnya, pada depresi perubahannya itu ekstrem. Kalau enggak salah berat badan dari 20 persen penurunan atau peningkatan lebih dari 20 persen dalam satu bulan terakhir misalnya. Distimia berubah tapi enggak sebanyak itu.
Semuanya sama kecuali intensitas dan durasi. Makanya namanya persistent depressive disorder (PDD). Depresi itu ada pola baiknya, membaiknya. Dia enggak ada (distimia). Dia enggak ada polanya. Flat terus di bawah.
Bagaimana dengan emosi lainnya? Apakah juga turut berpengaruh?
Hopelessness dan anger. Kemarahan itu emosi puncak dari sesuatu yang bisa saja menutup. Kita pernah marah karena kecewa kan. Kita pernah marah karena stuck terus enggak bisa ngapa-ngapain. Kita pernah marah karena sedih, bisa saja. Marah itu topeng yang cukup banyak.
Cuma emosi utama yang cukup sering itu hopelessness, helplessness, unmotivated, tidak ada motivasi, tidak ada masa depan. Pandangan suram ke masa depan. Cara pikir seperti depresi. Gampangnya itu depresi tapi bukan.
Apakah orang lain bisa menyadari bahwa seseorang mengalami distimia?
Cuma dia sendiri (yang bisa mengenali). Orang lain bisa melihat tapi samar. Jadinya susah. Kecuali kalau yang sering ngobrol. Itu kan pengalaman intersubjektif ya. Kecuali dia cerita orang lain bisa melihat. Dan ini prevalensinya gede. Ada mungkin di usia remaja. Saya lupa lengkapnya ya, nanti bisa dicari. Di usia remaja, remaja sampai pemuda itu enggak terlalu common. Tapi semakin naik usia semakin tinggi. Ada yang bilang 3 persen (prevalensi orang dengan distimia), 6 persen, ada yang bilang sampai 15 persen. Lima belas persen itu angka besar.
Apakah Anda sering bertemu orang dengan distimia?
Distimia itu banyak cuma orang enggak sadar aja. Distimia itu banyak kalau mau perhatiin teman-teman. Perhatiin temanmu yang depresi siapa. Itu kayaknya distimia.
Karena cukup common begitu ya. Bahkan ini sesuatu yang tidak wajar tapi dibiarkan. Karena kita enggak sadar kalau ini butuh pertolongan. Kita cuma melihat oh dia masih produktif, masih bagus kerjanya lalu kita teruskan. Padahal penderitaan di dalam batinnya berkelanjutan. Jadi ada bias antara gue enggak kenapa-kenapa dan gue kenapa-kenapa sekaligus. Kita enggak bisa menilai itu akhirnya dibiarkan. Pembiaran itu berbahaya.
Apa dampak distimia ke orang itu sendiri?
Pain itu penderitaan maksudnya. Penderitaan itu di persepsi otak kan gitu-gitu aja ya. Dia akan dianggap sebagai nyeri atau stres yang berkepanjangan. Tubuh kita tidak didesain untuk stres jangka panjang. Biasanya, tubuh kita melihat macan, (jadi) stres. Tapi macannya lewat stresnya lewat. Pada distimia, reaksi itu berlangsung terus menerus. Tubuh kita berada pada ketidakseimbangan terus menerus, gampangannya begitu. Kalau dianggap stres kurang tepat memang.
Tubuh kita berada dalam keadaan imbalance terus menerus. Tidak mampu merasakan kebahagiaan terus menerus. Tidak punya motivasi terus menerus. Gimana menyenangkan hidup seperti itu? Itu baru ngomongin perasaan. Fisik juga terganggu. Immune system kita berhubungan dengan perasaan. Berarti immune system tubuh akan turun terus. Immune system turun risiko sebutkan infeksi apapun yang kamu sebutkan, meningkat. Belum bicara penyakit degenerasi. Penyakit ya kayak diabetes melitus, serangan jantung, stroke. Sangat mengganggu bukan hanya perasaan tapi juga fisik kalau dibiarkan.
Apa yang dilakukan supaya orang dengan distimia bisa pulih?
Pengobatan itu, dengan medication ya. Dengan obat obatan hasilnya bagus pada si distimia, bukan berarti konseling nggak bagus. Tapi, kalau itu dilakukan dua duanya itu hasilnya maksimal.
Memang beda dan kolaboratif fungsinya. Kalau kita ngomong biologis, psikologis, sosial, sebenarnya psikiater lebih berperan di biologis. Psikologis ini perannya psikolog.
Kalau ngobatinnya sebetulnya saya tidak bisa bilang sampai sembuh ya, karena itu tiap orang akan sangat berbeda. Tapi, perbaikan gejala itu sangat mungkin didapatkan. Kalau ngomongin sembuh nanti dulu pelan-pelan, jadi kalau nulis sembuh hati-hati. Perbaikan gejala itu sangat mungkin dilakukan. Yang disebut perbaikan gejala adalah perbaikan 50 persen dari gejala. Itu minimal ya.
Berapa lama durasi pemulihan distimia?
Pengobatannya tetap lama. Prinsipnya ini kan neurochemical imbalance ya, ada ketidakseimbangan neurokimiawi di otak. Problemnya adalah kita tahu dari SD otak dan saraf adalah organ yang paling lambat beradaptasi.
Jadi kalau ada kerusakan di sana tumbuhnya lebih lama dan lain sebagainya. Fungsi dari obat-obatan adalah memperbaiki ketidakseimbangan ini, yang pasti juga butuh waktu lama. Jadi orang merasa baiknya cepat, tapi obatnya perlu di-sustain, ditahan. Sampai berapa lama? Tuhan yang tahu.
Ilustrasi konsultasi dengan psikolog. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Semakin lama pengobatan, apakah berdampak pada kesehatan otak atau memperbesar risiko gangguan jiwa yang lain?
Gangguan lain iya. Alcoholism dan drug addiction itu kan sebenarnya gangguan jiwa ya. Sekitar 3/4 dari distimia itu punya penyakit penyerta lain. Ya drug addict, ya alcoholism. Enggak cuma itu. Ada anxiety (kegelisahan) atau penyakit penyakit kronis jangka panjang.
Orang yang menderita kan terkadang mencari pengobatan sendiri termasuk minum, termasuk makai drugs, itukan mereka sedang mencari sesuatu agar perasaannya lebih baik menurut mereka. Yang akhirnya malah menjebak diri sendiri. Karena mereka kan tidak tahu, painful.
Lalu, kapan seseorang perlu menemui profesional, seperti psikolog?
Ada empat tandanya. Distress, disability, danger, dan deviance.
Distress itu penderitaan, tapi dalam jangka waktu yang terus-menerus panjang. Intinya, sebagian besar harimu menderita, gitu lah ya.
Dua, disability, ketidakmampuan. Tidak mampu mandi, tidak mampu makan, tidak mampu beraktivitas seperti biasa.
Yang ketiga, danger. Danger ini pikiran berbahaya baik ke orang lain maupun diri sendiri.
Yang terakhir deviance. Deviance ini biasanya dikeluhkan oleh teman atau keluarga. 'Kamu kok akhir-akhir ini tidurnya panjang, kamu kok akhir-akhir ini jadi moody, sensitif, misalnya?' Kalau ada tanda-tanda ini, menurut saya danger, terutama, enggak bisa nego itu sudah. Harus cari pertolongan. Tidak harus selalu dengan obat, perlu dicatat, tapi beberapa kondisi mungkin mengharuskan dengan obat.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten