Indonesia Prihatin Banyak Negara Legalkan Ganja

20 Maret 2019 12:44 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Tanaman Ganja Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Tanaman Ganja Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Indonesia prihatin atas bertambahnya jumlah negara yang melegalisasi pemakaian ganja untuk tujuan non-medis dan rekreasi. Padahal penggunaan ganja bagi kepentingan rekreasional merupakan pelanggaran konvensi internasional.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diketahui, saat ini setidaknya ada 31 negara, termasuk Thailand, yang menyatakan bahwa ganja legal untuk kepentingan medis. Beberapa negara seperti Belanda, Kanada, dan Uruguay bahkan melegalkan ganja sepenuhnya, baik dengan atau tanpa alasan medis (rekreasional).
Keprihatinan atas pelegalan ganja untuk kepentingan rekreasional disampaikan Delegasi Indonesia pada Pertemuan Sesi ke-62 Forum Komisi Obat-Obatan Narkotika (Commission on Narcotic Drugs/CND) di Markas PBB Wina, Austria, pekan ini. Rasa keprihatinan ini merupakan bentuk tanggapan perwakilan Indonesia terhadap laporan International Narcotics Control Board (INCB) tahun 2018 yang mengkaji risiko dan manfaat ganja bagi kepentingan medis, sains, dan penggunaan rekreasional.
Pada kesempatan tersebut Indonesia menyayangkan laporan tahunan INCB tetap mencantumkan rekomendasi yang mendorong penghapusan hukuman mati terhadap kasus narkoba yang masih dianut oleh banyak negara. Indonesia mengingatkan INCB dan seluruh delegasi pada pertemuan bahwa isu hukuman mati berada di luar mandat INCB.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, Indonesia meminta agar INCB dapat menjalankan tugas sesuai mandat yang diberikan, yakni melakukan pengawasan terhadap kepatuhan negara-negara dalam mengimplementasikan Konvensi 1961, 1971, dan 1988.
Pohon ganja muda. Foto: Rahmat/Antara
Pada kesempatan terpisah, Duta Besar/Wakil Tetap RI di Wina, Darmansjah Djumala, menjelaskan isu hukuman mati banyak diangkat dalam pembahasan isu narkoba karena hukuman mati oleh sebagian negara dipandang melanggar HAM dan tidak efektif menyelesaikan masalah penyalahgunaan narkoba.
“Negara yang masih menerapkan hukuman mati untuk kasus-kasus kejahatan narkoba, termasuk Indonesia, berpandangan bahwa meskipun pendekatan HAM dalam mengatasi masalah narkoba merupakan hal penting, namun penerapan hukuman terhadap kejahatan terkait narkoba merupakan kedaulatan masing-masing negara,” ujar Djumala dalam keterangan pers yang dikutip Antara.
Penghapusan hukuman mati belum menjadi kesepakatan universal. Hingga saat ini tidak ada hukum internasional untuk menghapuskan hukuman mati. Sementara, pasal 6 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) mengatur bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan atas kejahatan yang sangat serius (most serious crime). “Untuk Indonesia, kejahatan narkoba (dalam hal ini para pengedar) masuk kategori kejahatan yang sangat serius,” tegas Djumala.
Duta Besar/Wakil Tetap RI di Wina, Darmansjah Djumala, di Forum CND Foto: KBRI Wina via Antara
Forum CND sendiri merupakan pertemuan tahunan negara-negara pihak dan peninjau serta organisasi internasional membahas berbagai isu yang menjadi perhatian dan kepentingan bersama dalam pengawasan peredaran narkoba, serta ajang bagi negara untuk meningkatkan kerja sama dalam memberantas penyalahgunaan narkoba.
ADVERTISEMENT
Sesi Reguler ke-62 CND diselenggarakan pada tanggal 18 hingga 22 Maret mendatang, diawali dengan Pertemuan Tingkat Menteri tanggal 14 dan 15 Maret lalu. Pertemuan Tingkat Menteri dihadiri Presiden Bolivia dan Perdana Menteri Mauritius, 35 menteri kabinet, 64 pejabat setingkat menteri, serta lebih dari 500 delegasi mewakili negara anggota dan peninjau CND serta organisasi internasional dan NGO.
Delegasi RI dipimpin Kepala BNN Irjen Heru Winarko dan didampingi Dubes/Watapri Wina selaku wakil ketua delegasi, serta beranggotakan perwakilan dari BNN, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan, Polri, BPOM, dan KBRI/PTRI Wina.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Heru Winarko pada pemusnahan barang bukti narkotika di Kantor BNN, Cawang, Selasa (12/3). Foto: Andesta Herli Wijaya/kumparan
Prihatin Pelegalan Ganja Rekreasional, Bagaimana dengan Ganja Medis?
Sampai saat ini pemerintah Indonesia masih secara tegas melarang penggunaan ganja untuk medis maupun non-medis. Ganja masih masuk kategori narkotika yang tidak bisa dipakai untuk keperluan medis, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 35 Tahun 2009.
ADVERTISEMENT
Kasus Fidelis Ari Sudarwoto, seorang pegawai negeri sipil di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, yang mendekam di sel tahanan sejak 19 Februari hingga 16 November 2017 akibat menanam ganja adalah contoh penerapan aturan tersebut secara hitam-putih.
Fidelis menanam ganja di rumahnya untuk ia berikan kepada istrinya, Yeni Riawati, yang menderita Syringomyeila, penyakit langka yang menyerang sumsum tulang belakang dan menimbulkan rasa sakit yang tak terkira.
Sejak diberikan ganja, Yeni merasakan sakit yang ia derita berkurang dan perkembangan kondisi fisiknya semakin membaik. Akan tetapi semenjak Fidelis ditahan oleh pihak kepolisian dan Yeni tak lagi diberi ganja sebagai pereda sakitnya, kondisi Yeni jadi semakin memburuk dan akhirnya meninggal.
Satu-satunya negara di Asia Tenggara yang sudah melegalkan ganja untuk kepentingan medis adalah Thailand. Pelegalan ini dilakukan oleh parlemen Thailand dengan pertimbangan dari berbagai hasil penelitian bahwa ganda dan zat-zat turunannya bisa bermanfaat sebagai obat untuk berbagai macam penyakit.
ADVERTISEMENT
Hasil sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Neurology, misalnya, mengatakan bahwa ganja memiliki efek untuk meredakan rasa sakit. Studi yang dilakukan oleh Dr. Haggai Sharon dari Sagol Brain Institute, Tel Aviv Medical Center, ini menunjukkan kandungan Tetrahydrocannabinol (THC) pada ganjalah yang berperan untuk meredakan rasa sakit.
Hasil studi lain yang dipublikasikan di jurnal The Lancet Neurology pada Desember 2015 juga menunjukkan bahwa cannabidiol, zat aktif yang ada di dalam ganja, dapat digunakan untuk mengurangi kejang pada penderita epilepsi. Studi tersebut dilakukan pada 214 pasien di 11 pusat perawatan epilepsi di Amerika Serikat.
Selain itu, American Cancer Society telah menegaskan bahwa ganja dapat membantu untuk mengurangi rasa mual serta muntah bagi orang yang menjalani kemoterapi.
Ganja bisa digunakan untuk keperluan medis Foto: Thinkstock
Tak cuma itu, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sendiri telah mengusulkan diadakannya penggolongan ulang terhadap ganja di dalam hukum internasional. Usulan ini diajukan berdasarkan pertimbangan atas sejumlah bukti ilmiah yang mendukung keyakinan bahwa ganja memiliki manfaat medis.
ADVERTISEMENT
Usulan ini muncul setelah Komiter Ahli Ketergantungan Obat WHO atau WHO Expert Committee on Drug Dependence (ECDD) melakukan pertemuan di Jenewa, Swiss, pada 12-16 November 2018. Pertemuan dilakukan untuk menyimpulkan tinjauan mereka soal ganja dan zat-zat terkait ganja.
Rekomendasi terbaru soal ganja dari Komite WHO ini mungkin nantinya bisa dasar perubahan aturan terkait ganja di Indonesia dan negara-negara lainnya. Michael Krawitz, penasihat kebijakan global di organisasi advokasi nirlaba For Alternative Approaches to Addiction, Think & Do Tank (FAAAT), menyambut baik rekomendasi tersebut.
“Penempatan ganja dalam perjanjian 1961, tanpa adanya bukti ilmiah, adalah ketidakadilan yang mengerikan. WHO telah melangkah jauh untuk meluruskan catatan ini,” kata Krawitz, sebagaimana di lansir The BMJ.
ADVERTISEMENT