Kenapa Banyak Orang Percaya bahwa Vaksin Berbahaya?

27 Februari 2019 19:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Vaksin Rabies  Foto: ANTARA FOTO/Septianda Perdana
zoom-in-whitePerbesar
Vaksin Rabies Foto: ANTARA FOTO/Septianda Perdana
ADVERTISEMENT
Vaksin terbukti ampuh melindungi dari banyak penyakit. Salah satunya adalah penyakit cacar yang dahulu merupakan momok mengerikan penyebab kematian.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, vaksin masih ditentang banyak orang. Mulai dari Indonesia hingga Amerika Serikat, banyak orang tua yang menolak memberi anak mereka vaksin.
Kenapa bisa demikian? Berikut tim kumparanSAINS rangkum beberapa alasan kenapa ada yang menolak vaksin sebagaimana dikutip dari berbagai sumber.
1. Media sosial
Kelompok-kelompok anti vaksin sebenarnya telah ada jauh sebelum munculnya media sosial. Tapi media sosial telah mempermudah penyebaran klaim-klaim tidak benar mengenai vaksin.
"Banyak media sosial daring yang tidak memiliki kontrol kualitas oleh jurnalis dan editor yang membentuk konten media massa tradisional," papar peneliti Marina Joubert di The Conversation.
"Karena itu, konten yang dibuat oleh ahli maupun penipu, lalu opini dan fakta jadi tidak bisa dibedakan. Hal ini mempersulit untuk bisa menilai apakah informasi di media sosial itu kredibel atau tidak," tambah dia.
Ilustrasi media sosial. Foto: PhotoMIX-Company via Pixabay
Selain itu, banyak grup di Facebook yang turut mendorong suatu sudut pandang tertentu. Padahal sudut pandang itu tidak didukung bukti ilmiah yang kuat.
ADVERTISEMENT
2. Kesalahan institusi medis terdahulu
Rasa tidak percaya vaksin di AS diperparah oleh rasa tidak percaya terhadap pemerintah. Pasalnya, menurut laporan Newsweek, antara 1932 ke 1972 ratusan orang kulit hitam Amerika diminta menjalani eksperimen.
Para peserta dalam eksperimen bernama Eksperimen Tuskegee itu adalah penderita sipilis. Dalam eksperimen itu, penyakit mereka tak dirawat, padahal pada tahun 1940-an penisilin telah dibuktikan bisa mengobati penyakit itu dengan efektif.
Akibatnya muncul infeksi baru, kematian, dan juga anak-anak yang lahir dengan penyakit sipilis bawaan. Hal ini menyebabkan adanya rasa tidak percaya pada komunitas orang kulit berwarna kepada institusi medis di AS.
Ilustrasi Rumah Sakit Foto: UNSPLASH
Lalu sebuah riset yang terbit di jurnal Information, Communication & Society pada 2017 juga mengungkapkan bahwa daya tarik dari situs anti vaksin berasal dari rasa sakit atas penyakit masa kecil serta kematian orang terdekat yang orang-orang alami. Hal ini ditambah dengan kurangnya penjelasan medis yang mereka terima atas penyakit serta kematian tersebut.
ADVERTISEMENT
"Dalam hal ini, pendapat anti vaksin 'mengisi' kekosongan tersebut dengan menenangkan para orang tua yang merasa ditinggalkan atau diacuhkan oleh komunitas medis," jelas para peneliti di riset itu.
Di samping itu, banyak orang yang menganggap bahwa para perusahaan farmasi banyak mengeluarkan vaksin untuk mencari uang. Dan ketika perusahaan-perusahaan tersebut tidak bisa memberi informasi atas keamanan obat buatannya, hal ini menambah rasa tidak percaya itu.
3. Berita tidak benar
Pada 2015 pernah tersebar berita yang mengklaim punya bukti-bukti beracunnya vaksin. Berita itu berasal dari situs Vaccines(dot)news dan berjudul “CDC admits 98 million Americans were given cancer virus via the polio shot.”
Aslinya kisah di berita itu merupakan hasil ekstrapolasi parah dari kejadian ada orang AS yang mendapat vaksin polio mengandung SV40. SV40 adalah virus yang ada di sel ginjal monyet, sedangkan sel itu dipakai untuk membuat vaksin.
Hoax (Ilustrasi) Foto: Shutter Stock
SV40 belum terbukti menyebabkan kanker, dan sejak 1963 tidak ada lagi vaksin yang menggunakannya. Meski begitu masih banyak orang mempercayai berita palsu itu dan menganggap vaksin menyebabkan kanker.
ADVERTISEMENT
4. Vaksin dan autisme
Ada sebuah riset telah berkontribusi sangat luar biasa bagi kepercayaan anti vaksin. Pada 1998, ahli gastroenterologi Inggris Andrew Wakefield mempublikasikan riset di jurnal The Lancet yang menghubungkan vaksin campak, gondok, dan rubella dengan autisme serta penyakit usus.
Tapi kemudian diungkap bahwa riset Wakefield hanya melakukan uji sampel pada 12 anak dan banyak memiliki ketidaktepatan. Selain itu, riset ini juga dibiayai oleh orang tua yang sedang menuntut perusahaan-perusahaan vaksin.
Vaksin tidak menyebabkan autisme. Foto: Shutterstock
Perlu waktu bertahun-tahun sebelum The Lancet akhirnya menarik riset itu dan lisensi medis Wakefield dicabut. Tapi dampaknya masih terasa sampai sekarang.
Padahal telah ada riset lanjutan yang mempelajari sampel yang lebih besar dan tidak menemukan adanya hubungan antara vaksin dengan autisme.
ADVERTISEMENT
5. Asimilasi yang bias
Asimilasi yang bias adalah fenomena ketika informasi baru dilihat melalui kacamata yang telah kita percayai. Hal ini membuat sulitnya kita menyerap informasi yang mungkin secara radikal mengubah apa yang telah kita percayai sebelumnya.
Bahkan informasi akurat yang berlawanan dengan asumsi bisa membuat orang semakin kuat memegang asumsi tersebut. Hal ini dibuktikan dalam sebuah riset oleh American Academy of Pediatrics pada 2014 lalu.
Mereka mempelajari 1.700 orang tua yang skeptis memandang vaksin. Para orang tua diberikan hasil riset yang membantah adanya hubungan antara autisme dengan vaksin MMR untuk melawan gondok, campak, dan rubella.
Petugas menunjukan Vaksin Campak dan Rubella (MR) sebelum melakukan imuniasasi kepada anak. Foto: ANTARA FOTO/Ampelsa
Hasilnya, meski para orang tua melaporkan bahwa persepsi salah mereka mengenai vaksin berkurang, mereka malah semakin kukuh untuk tidak memberikan vaksin pada anak mereka.
ADVERTISEMENT
Riset lainnya di tahun yang sama juga menunjukkan hasil serupa. Orang yang sejak awal tidak setuju dengan vaksin, semakin memilih untuk tidak mendapatkan vaksin flu setelah diberikan fakta atas hal tersebut.
Riset-riset ini memberikan pesan bahwa usaha pro vaksin sebaiknya fokus kepada hal positif mendapatkan vaksin, dibanding melawan misinformasi mengenai vaksin itu sendiri.
6. Vaksin masih belum sempurna
Ada beberapa vaksin yang memiliki efek samping ringan, seperti demam ringan atau radang pada daerah suntikan. Bahkan dalam kasus sangat langka, pernah terjadi reaksi alergi akibatnya.
Selain itu, vaksin juga tidak memberikan imunitas 100 persen seumur hidup pada suatu penyakit. Misalnya, vaksin flu yang punya cara kerja berbeda, tergantung jenis virus flu yang ia lawan.
Ilustrasi vaksin Foto: AFP/GEORGES GOBET
Vaksin flu juga tidak selalu melindungi seseorang dari flu. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) atau Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, vaksin flu mengurangi risiko sakit antara 40 hingga 60 persen pada populasi.
ADVERTISEMENT
Artinya, ada orang yang telah mendapat vaksin tetap bisa sakit. Tapi bagaimanapun, vaksin flu telah berhasil mencegah 5,3 juta kasus flu pada 2016-2017 lalu.